Bagikan:

JAKARTA - Sejak tahun 2009, pemerintah Indonesia telah mengalokasikan 20 persen APBN nya untuk anggaran pendidikan (mandatory spending), sebagai perwujudan Pasal 31 UUD 1945. Ketentuan tersebut didasarkan pada PP Nomor 48 Tahun 2008, yang kemudian diperkuat dengan UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Pengalokasian anggaran yang besar ini, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan belanja publik untuk pendidikan terbesar di Asia. Kendati demikian Skor PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia sejak tahun 2001 belum mengalami peningkatan yang signifikan.

Menjadi pertanyaaan dana pendidikan yang begitu besar digelontorkan, namun belum menandakan efek perbaikan, mutu pendidikan masih dicap buruk. Anggaran pendidikan pada 2024 sebesar 20 persen itu senilai 665 Triliun.

Menurut pakar pendidikan, Indra Charismiadji, dana yang masuk ke sektor pendidikan diperkirakan diperkirakan mencapai 1000 triliun, dari APBN yang mencapai 665 triliun dan ditambah dengan sumbangan masyarakat seperti UKT dan IPI (Iuran Peengembangan Institusi). Hal itu harusnya cukup memadai untuk meningkatkan pendidikan yang berkualitas.

Namun demikian dana yang besar untuk sektor pendidikan belum mendongkrak kenaikan mutu pendidikan di Indonesia. Secara kenyataan mutu pendidikan masih dinilai buruk di dunia. Indra pun menyarankan, harus diteliti kemana larinya dana-dana itu, jangan ada dana yang lari dan dipergunakan untuk hal lain diluar pendidikan.

Menurut Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Suharti, saat paparan di Panja Komisi X DPR, dari 20 persen anggaran APBD yang besarnya 665 Triliun untuk fungsi pendidikan. Kemendikbud Ristek ternyata hanya mengelola 15 persen dari anggaran itu atau sebesar 98 Triliun saja.

Porsi terbesar anggaran justru digunakan untuk transfer ke daerah sebesar 52 persen sebesar Rp346 triliun. Untuk dana desa, termasuk dana Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebesar 11 persen, diantaranya untuk Gaji pegawai dan tunjangan. Juga untuk alokasi Kementerian Agama dan Kementerian/ lembaga lain. Juga untuk pengeluaran pembiayaan sebesar 12 persen sebagai dana abadi, anggaran pada belanja non kementerian lembaga, sebesar 7 persen yang pengelolaanya oleh kementerian Keuangan.

Disebutkan oleh Suharti, kementerian dan lembaga yang ikut menggunakan anggaran fungsi pendidikan ini ada sekitar 22 kementerian dan lembaga, di luar Kementerian Agama. Mulai dari Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan hingga Kementerian Perhubungan. Sementara yang memiliki perencanaan dan kewenangan anggaran itu adalah Kementerian Keuangan dan BPN/Bappeda.

Sehingga menurut Anggota Komisi X DPR, Nurul Huda, pihaknya lama telah menyuarakan soal penganggaran pendidikan ini. Mandatoring spending yang 20 persen dana pendidikan yang sebesar Rp 665 triliun, ternyata yang di bawah pengelolaan Kemendikbud hanya Rp85 triliun, dari jumlah itu yang diperuntukan BOP (Bantuan Operasional Penyelenggaraan) perguruan tinggi hanya Rp 35 triliun. Menurut Huda kalau Rp 665 triliun dana untuk pendidikan, idealnya yang dikelola kemendikbud sekitar Rp 250 triliun. "Kita tahu kita dalam keterbatasan fiskal, tapi kita meminta pemerintah, prioritaskan dari dana itu untuk Kemendikbud triliun, tapi harus dipastikan skema pembiayaan dan indek nya benar -benar untuk pendidikan, paling tidak agar isu yang prioritas bisa dituntaskan," ujarnya.

Karena alasan keterbatasan fiskal ini dan kenyataan tak besar-besar amat dana yang dialokasikan Kemdikbud ini. Huda menilai tumbuh di kalangan pejabat Kemendikbud paradigma dan pandangan yang kini menghasilkan kekisruhan yang sekarang ramai, yakni polemik tentang UKT (Uang Kuliah Tunggal).

Menurut Huda dan juga Ubaid Matraji dari koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepakat pangkal permasalahan UKT selain adanya Permen 2/2024, Di mana di belakangnya bercokol UU 12/ 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Menurut Ubaid, sejak pemberlakuan UU ini, PTN (Perguruan Tinggi Negeri) didorong untuk menjadi PTN BH - PTN BH, sebagai alternatif mencari pendanaan kampus. PTN yang semula mendapatkan pendanaan 80-90 persen dari pemerintahnya didorong harus mandiri mencari pendanaan sendiri dengan berubah menjadi PTN BH.

"Pertanyaannya, bagi PTN yang tidak memiliki aset untuk dikelola dan diusahakan bagaimana? tanya Ubaid di Sapa Indonesia Pagi. Menurut Ubaid PTN yang tidak memiliki modal bisnis, lalu akan mengandalkan binis UKT, "Bisnis yang tidak akan merugikan kampus, selalu untung adalah bisnis melalui skema UKT ini" ujarnya.

Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf juga meyakini pangkal dari kisruh UKT itu, karena adanya Permen 2/2024 yang secara mendadak diberlakukan bagi mahasiswa yang baru kuliah. Kenaikannya yang dinilai tidak masuk akal, naik hingga 200- 300 persen.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi/DOK ANTARA
 

UKT ada memang setelah keluarnya Permen 2/2024 yang seperti memberikan kebebasan pada PTN untuk melakukan pengelolaan UKT yang batasnya hanya didasari batas bawah. Sehingga kemudian berkembang pengelompokan mahasiswa yang dalam kelompok atau golongan, yang semula sampai sampai 9, ditambah lagi sampai 12. Penentuan besaran UKT berdasarkan gaji orang tua mahasiswa. "Jadi kalau pendapatan atau gaji orang tua sekira Rp15 juta maka ditaksir ia mampu menyumbang Rp1,5 juta dikali 6 dalam semester, dia harus membayar 9 juta tiap semester." Ini yang dianggap memberatkan, orang kan punya kebutuhan lain-lain, bayar listrik, tagihan-tagihan lain, kalau punya 1 anak, jika anak lebih dari 1 bagaimana?" ungkap Dede saat berbincang di MetroTV.

Karena itu sejumlah BEM Seluruh Indonesia berteriak dan mengadu ke Komisi X DPR memprotes kebijakan UKT itu. Sejumlah kampus hingga berhari hari melakukan demo. Bakan universitas seperti Unsoed melakukan aksi berhari hari, hingga pihak Rektorat akhirnya mengubah keputusan soal dengan UKT yang lebih rendah,

Sehingga Dede dan anggota Komisi X DPR lainnya, berharap permen itu direvisi dengan memberikan batas atas, agar kenaikannya tidak irasional, mahasiswa juga membandingkan kakak kelasnya yang naik hanya sekitar 30 persen. "Kok ini kita bisa ratusan persen. "katanya.

Yang ditakutkan kata Dede, efeknya jangka panjang bagi mahasiswa saat sudah kerja jadi dokter, jadi insinyur, jadi pengacara akan berorientasi pada modal yang dikeluarkan. Saat kerja berfikir balik modal karena kuliah mahal. Padahal kita ingin mengejar generasi emas.

Bukan Kenaikan Hanya Pergeseran

Sementara Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri, Ganefri, mengatakan bahwa soal UKT, pada dasarnya tidak ada kenaikan UKT yang signifikan. Menurutnya yang akan kenaikan yang signifikan cuma di Unsoed "Tapi sudah dikembalikan ke semula," katanya. Pihak rektorat Unsoed telah mencabut keputusan rektor tentang kenaikan UKT dan telang mengganti peraturan baru yang diklaim telah sesuai tuntutan mahasiswa.

Ganefri menuturkan rata- rata biaya kuliah untuk mahasiswa dibutuhkan biaya 18 - 20 juta. Sedang anak- anak membayar 3-4 juta, sisanya disubsidi oleh kampus atau oleh negara, subsidi dalam bentuk gaji pegawai dan bantuan operasional buat PT, "Kalau tidak didukung dengan bantuan untuk prasarana yang memadai, untuk praktikum, lab dan perawatan sebagainya, kami tidak dapat melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan baik, sehingga kita tidak mendapatkan pendidikan dengan berkualitas," ujarnya

Menurut Ganefri, Dirjen dikti akan bertemu para rektor dari Majelis rektor untuk evaluasi penerapan UKT. Sejauh ini diberitakan kenaikan sampai beberapa ratus persen. " Itu kami tidak dapat menemukan kecuali yang di Unsoed itu." ujarnya.

Ia mengaku sudah cek ke beberapa rektor tidak ada yang dinaikan sampai sebesar itu, bahkan mereka mengaku masih sama dengan pemberlakuan UKT tahun lalu. Yang ada hanya pergeseran -pergeseran baru, misal tahun ini dibuka kedokteran, sekarang punya kedokteran sehingga disesuaikan. Itu pun sudah kita tetapkan paling hanya 20 persen untuk kategori 1 dan 2. Majelis rektor juga memastikan jangan sampai anak dengan memiliki kemampuan akademi baik tidak bisa masuk, itu kita pantau," ujarnya.