Bagikan:

Pemerintah berhasil melampaui target pembangunan satu juta rumah. Namun, langkah itu belum cukup. Sejumlah langkah menyempurnakan penyediaan rumah murah telah kita bahas dalam "Satu Masalah Pengganggu Sejuta Rumah"Kali ini kita bahas skema pembelian rumah syariah yang marak digunakan sebagai modus penipuan. Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Kapan Mapan Papan?".

Mimpi Dwi Arianto untuk memiliki rumah kandas. Uang yang ia kumpulkan ludes jadi angin. Bukan karena program pemerintah atau hal-hal lain yang disebabkan ketidakbecusan penyelenggara negara. Pria 33 tahun tertipu oleh praktik kriminal perumahan bodong berembel-embel syariah.

Dalam kasus yang diungkap 2019 lalu, PT Wepro Citra Sentosa sebagai pengembang perumahan yang berkantor di wilayah Bintaro, Tangerang, Selatan diketahui telah menipu setidaknya 3.680 orang yang tersebar di berbagai wilayah lain. Unggahan iklan Facebook jadi pukat yang digunakan para pelaku untuk menjerat udang-udang bungkuk macam Dwi Arianto dan ribuan korban lain.

"Awalnya itu lagi lihat Facebook sekitar 2017, dan ada promo perumahan yang ditawarkan oleh pengembang itu, dicantumkan juga nomor kontak yang bisa dihubungi," kata Dwi Arianto, ditulis CNN Indonesia, Jumat, 20 Desember 2019.

Harga murah jauh di bawah pasaran membuat Dwi tertarik bukan main. Ia pun mendatangi kantor PT Wepro Citra Sentosa setelah menghubungi nomor telepon yang tertera dalam iklan. Di sana, Dwi menemui seorang staf pemasaran pengelola perumahan. Ia dijanjikan rumah bertipe 22/36 di Perumahan Amanah City yang konon akan dibangun di kawasan Lebak, Banten.

"Dijelaskan, (proses pembelian rumah) tanpa riba, tanpa BI checking. Tinggal datang membawa KTP, Kartu Keluarga, dan booking fee. Nanti akan langsung ditempatkan di cluster yang diinginkan," tutur Dwi menarasikan penjelasan pihak PT Wepro Citra Sentosa yang ia temui.

Dwi yang sehari-hari mencari uang sebagai pengemudi ojek online pun memulai cicilan. Total, angsuran rumah hingga bulan kedelapan selalu dipenuhi. Ia tak merinci lebih banyak. Yang jelas, secara total, uang Dwi yang kandas mencapai angka Rp32 juta. Proses hukum berjalan.

Polisi telah menangkap M Ariyanto, Komisaris Utama PT Wepro Citra Sentosa dan istrinya Sofiatun. Selain itu, Direktur Utama PT Wepro Citra Sentosa Iswanto juga digelandang. Dalam kasus ini, Direktur PT Global Muslim Property alias Madinah Property Indonesia Cepi Burhanudin ikut terseret. Dari sindikat ini polisi mentaksir kerugian hingga Rp40 miliar.

Ilustrasi (Ilham Amin/VOI)

Penipuan lain dialami Wahyu pada pertengahan 2017 lalu. Kala itu, di kota --yang enggan Wahyu sebut-- tempatnya tinggal di wilayah Jawa Tengah tengah digencarkan pembangunan perumahan kawasan pinggiran. "Saya ambil di salah satu perumahan dekat bandara. Posisi perumahan masih berupa pondasi tapi sudah ada show unit-nya," kata Wahyu dalam pesan singkat, Jumat, 31 Januari.

Sebagai calon pembeli, Wahyu sudah dua kali mendatangi lokasi perumahan untuk melakukan konsultasi dan memilih lokasi yang akan diambilnya. Saat ketiga kalinya dia mendatangi lokasi tersebut, dia akhirnya memutuskan untuk membeli rumah dan melaksanakan akad kredit. Setelah membayar uang panjar, Wahyu mulai mengangsur.

"Pada saat akad (kredit) ada rombongan satu mobil berisi tiga orang yang kata mereka (developer) merupakan pihak bank. Setelah dijelaskan beberapa pasal, lalu tanda tangan beberapa dokumen, uang DP saya serahkan, dan saya menerima surat serta kuitansi bukti telah melakukan pembayaran berlogo salah satu bank syariah," ungkap dia.

Namun, di bulan ketiga, Wahyu mendengar kabar bahwa show unit di perumahan tersebut dibongkar. Para pengembang lari meninggalkan segala permasalahan, mulai dari distributor bahan bangunan, pekerja, hingga konsumen, pastinya. Kasus ini pun dilaporkan ke polisi.

Penipuan ini jadi pukulan bagi Wahyu. Ia tak percaya, perumahan yang terlihat meyakinkan nyatanya hanya sebuah modus penipuan. Uang Rp19,8 juta miliknya pun kandas. "Saya tidak curiga karena memang (saat ke sana) banyak tukang yang kerja di lokasi. Jadi saya pikir ya ini aman lah, kayak developer sewajarnya," ungkapnya.

Rumah syariah

Dua kasus di atas menggambarkan kerawanan dalam proses pembelian rumah berskema syariah. Kerawanan yang diamini Junaidi Abdillah, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI). Menurut Junaidi, embel-embel syariah kerap dimanfaatkan para kriminil untuk menarik minat masyarakat Indonesia yang didominasi warga muslim.

"Sebenarnya begini, ini kan modus. Memang, modus. Jadi memang menghimpun dana masyarakat dengan harga murah, ini kemudian atas nama syariah," kata Junaidi kepada VOI beberapa waktu lalu.

Meski begitu, tak berarti setiap skema syariah palsu. Pembelian rumah syariah biasanya memanfaatkan jalur Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang disediakan oleh bank-bank syariah dengan prinsip jual-beli (murabahah). Dalam praktiknya, bank syariah seakan-akan membeli rumah yang diinginkan konsumen dan menjualnya kepada konsumen tersebut dengan cicilan. Selain itu, ciri skema syariah lain adalah peniadaan bunga dalam transaksi.

Simulasi: Pak Amir mengajukan rencana pembelian rumah seharga Rp500 juta kepada Bank Baik. Nantinya, Bank Baik yang membelikan rumah itu, dengan catatan Bank Baik berhak mengambil keuntungan --angka tergantung margin-- sebesar Rp100 juta. Artinya, Pak Amir harus mencicil pembayaran rumah kepada Bank Baik dengan tenor berjumlah total Rp600 juta. Catatan penting dalam skema KPR syariah, kesepakatan antara bank dan pembeli rumah dilakukan di awal.

Maka, skema syariah sejatinya dapat jadi alternatif bagi para pembeli rumah. Dengan catatan, setiap pembeli harus mencermati secara seksama bagaimana skema transaksi berjalan. "Nah, syariah ini kan untuk umat muslim. Siapa pun lebih tertarik, ya kan. Nah, ini harus diteliti beneran. Syariahnya seperti apa ... Ya, tapi gini, rata-rata, kalau dalam kasus yang berkembang, itu modus. Syariahnya tidak salah, tapi modusnya yang penipuan mengatasnamakan syariah," kata Junaidi.

Identifikasi perumahan bodong

Menurut Junaidi, ada cara mudah yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi mana pengembang bodong dan asli, yakni dengan memastikan pengembang dapat menunjukkan legalitas setidaknya berupa Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Cara ini bisa digunakan sebagai langkah awal identifikasi.

Kemudian, untuk memastikan berjalan atau tidaknya laju proyek, Junaidi menyarankan setiap pembeli mengecek surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta beberapa izin teknis lainnya. "Kalau developer yang abal-abal, tidak dilakukan semua, sehingga tidak ada," tutur Junaidi.

"Jadi, mereka ini bukan developer, tapi memang penipu," kata Junaidi sambil menambahkan bahwa pengembang asli tentunya akan terdaftar di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Perumahan Bumi Srijaya Baru di Tambun Bekasi (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Terakhir, untuk mengecek asli atau tidaknya sebuah developer, kata Junaidi bisa dilakukan dengan mengecek Perjanjian Kerjasama dengan Perbankan (PKS). "Jadi, setiap mau beli rumah, yang ditanyakan adalah soal legalitasnya tadi. Kemudian, PKS-nya dengan bank mana. Karena kalau sudah masuk PKS pasti ada data detail, jadi itu yang ditanya," tuturnya.

Terakhir, Junaidi juga mengingatkan agar masyarakat tak mudah tergiur dengan harga murah yang jauh di bawah standar. Harga kelewat murah adalah indikasi utama dari penipuan. "Misalnya, harga rumah Rp300 juta, dijualnya Rp150 juta. Ya, rasanya tidak mungkin," kata Junaidi.

"Atau rumah subsidi yang harganya sekarang Rp160 juta, dijual Rp100 juta. Itu tidak mungkin. Kan semua pengembang punya perhitungan, baik dari sisi pembelian lahan. Rasanya, kalau murah sekali itu bisa jadi pertanyaan, kenapa bisa semurah itu."

 Artikel Selanjutnya: "Menyoal Stigma 'Kita adalah di Mana Rumah Kita Berdiri'