Artikel "Kita adalah Data Pribadi yang Diperjualbelikan" telah membawa pemahaman bahwa secara tak sadar kita telah dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak. Mustahil menghindari kesialan ini di tengah keterikatan pada aktivitas digital. Lewat artikel ini kita lihat siapa yang menguasai data dan kenapa menguasai data pribadi jadi penting. Ini adalah lanjutan Tulisan Seri khas VOI, "Tiada Privasi untuk Data Pribadi".
Perang asimetris antara Amerika Serikat (AS) dan China soal data pribadi tiba-tiba jadi begitu terbuka. Presiden AS Donald Trump terang-terangan melarang aplikasi berbagi video buatan China, TikTok. Trump khawatir aplikasi besutan ByteDance jadi alat China mengumpulkan data pribadi warga AS untuk disuplai ke Partai Komunis China.
Kali ini, kekhawatiran Trump tak tampak seperti paranoid belaka. Jepang, India, hingga Australia melakukan langkah yang sama. Ramai-ramai mereka memblokir TikTok. Dan bagi AS, kekhawatiran itu makin beralasan. Terhitung, hanya dalam satu bulan, jumlah pengguna aktif TikTok di AS mencapai 80 juta orang.
TikTok merespons resistensi ini. Pekan ini TikTok menyampaikan pengumuman pada para pengguna dan regulator bahwa mereka siap memberlakukan transparansi tingkat tinggi, termasuk akan memberi izin bagi pihak yang ingin melakukan pemeriksaan terhadap algoritma mereka.
"Kami tidak politis. Kami tidak menerima iklan politik dan tidak punya agenda. Tujuan kami adalah terus menjadi platform yang hidup dan dinamis untuk dinikmati semua orang. TikTok telah menjadi target terbaru (politisasi). Tapi kami bukan musuh," kata CEO TikTok Kevin Mayer, dikutip dari BBC, Rabu, 5 Agustus.
Pakar keamanan siber, Alfons Tanujaya memberi pandangan soal situasi ini. Barangkali benar TikTok mengumpulkan data pribadi kita. Namun, secara teknis, TikTok tidak mengumpulkan lebih banyak data pribadi kita daripada perusahaan teknologi raksasa asal AS, Google. Dan soal setoran ke Partai Komunis China, hal itu tentu memerlukan banyak pembuktian yang sahih.
"Kita harus akui bahwa secara defacto, yang menguasai aplikasi itu AS. Dan kalau saya melihat TikTok tidak mengambil data lebih dari aplikasi lain. Misalnya Googlemaps ... Google itu, kamu dengan pakai HP Android saja sudah di bawah kontrol Google, kata Alfons kepada VOI, Senin, 5 Agustus.
Yang diambil Google
Lalu, apa saja yang bisa dikumpulkan Google dari aktivitas digital kita sehari-hari? Bocoran dari jawaban ini adalah Google mungkin telah mengumpulkan lebih banyak data pribadi kita dalam kadar yang mungkin tak pernah kita sadari.
algoritma Google mencatat setiap pencarian yang kita lakukan, memantau video YouTube yang kita tonton, hingga merekam pergerakan kita. Setiap lokasi bepergian yang kita lakukan, Google akan mengetahui dan merekamnya, memunculkan pola rute mana yang paling sering kita lalui, berapa lama kita tinggal di suatu tempat, bahkan ketika kita tak pernah membuka aplikasi tersebut.
Ini kenyataan yang perlu kita hadapi, meski menurut CNET, Google telah memperbaiki caranya menyimpan dan mengelola data penggunanya. Akun Google yang terdaftar per Juni 2020 konon bisa secara otomatis menghapus data pribadi penggunanya. Itu pun hanya setelah 18 bulan digunakan. Sementara, pengguna akun Google sebelum Juni, yang jumlahnya mencapai 1,5 miliar pengguna Gmail atau 2,5 miliar pengguna Android, datanya akan tertanam selamanya di server Google, kecuali jika pengguna hendak menghapusnya.
Terdapat banyak data yang bisa Google peroleh. Di antaranya, nama kita, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat surel, kata sandi akun-akun digital, hingga nomor telepon. Google bahkan dapat melakukan identifikasi wajah kita. Beberapa di antaranya terdaftar sebagai informasi publik.
Apa saja yang Google bagikan kepada publik tentang kita dapat dicek dengan mengunjungi laman akun Google si pengguna. Jika sudah sampai di sana, temukan menu bar dan pilih "Personal Info". Pada laman itu kita bisa mengubah atau menghapus nama, foto profil, tanggal lahir, gender, kata sandi, alamat surel lain yang kita miliki dan nomor ponsel. Lalu, jika hendak melihat informasi apa saja yang dibagikan ke publik, klik "Go to About me".
Google juga dapat mencatat data aktivitas daring, seperti saat kita berselancar di mesin pencari maupun ketika sedang menonton video YouTube. Apabila kita sadar akan keamanan datanya tapi tetap menginginkan layanan Google mempersonalisasi hasil dari layanannya seperti pada mesin pencarian, disarankan untuk mengatur data supaya dihapus secara otomatis setelah tiga bulan.
Jika tidak, jangan ragu untuk menghapus semua data dan mengatur Google untuk berhenti melacak. Memang, untuk sebagian besar hal sehari-hari yang kita lakukan dengan Google tak akan tampak perbedaannya. Namun, bila digunakan secara berkala, maka Google bisa mengetahui segala kebiasaan kita. algoritma Google bahkan dapat mengetahui hal apa yang sedang kita inginkan, seperti tujuan liburan hingga klub sepak bola kesukaan kita.
Dan ketepatan Google mengetahui keberadaan kita bisa sangat mengerikan, bahkan ketika kita tak melakukan apa pun pada ponsel kita. Jika Anda masuk ke Google Maps di perangkat seluler, mata Google mengawasi setiap gerakan Anda.
Andai pun kita telah mengatur Google untuk tidak melacak aktivitas daring atau luring kita, bukan berarti akses Google kepada data pribadi kita telah terputus sepenuhnya. Google nyatanya tetap bisa melacak lokasi fisik kita bahkan jika kita mematikan layanan lokasi. Google tetap bisa mengakses data kita, informasi yang mereka kumpulkan dari jaringan Wi-Fi dan sinyal nirkabel lain yang terhubung ke perangkat kita. Bahkan Google tak perlu menunggu kita login terlebih dulu untuk bisa melacak kita.
Menguasai data adalah menguasai uang
Hari ini, di tengah ketergantungan tinggi pada aktivitas digital manusia, data pribadi jadi komoditas paling berharga di muka bumi, bahkan mengalahkan minyak. Hal itu terbukti dari catatan terakhir bursa saham terbesar dunia, Wall Street. Pada Juli lalu, perusahaan teknologi AS, Apple resmi menyalip posisi perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco sebagai perusahaan paling bernilai di dunia.
Mengutip Reuters, saham Apple dalam laporan itu berakhir di level 425,04 dolar AS dengan kapitalisasi pasar mencapai 1,82 triliun dolar AS dalam perdagangan di Wall Street. Ini jadi lompatan besar bagi Apple sejak 13 Maret 2020. Sementara, Aramco yang telah jadi perusahaan paling bernilai sejak go public tahun lalu mencatatkan kapitalisasi pasar 1,76 triliun dolar AS.
"Pergeseran dunia yang makin digital menyebabkan value data makin tinggi. Data jadi komoditas paling berharga di muka bumi hari ini. Dulu, emas hitam, minyak bumi. Sekarang, big ten (di Wall Street) itu rata-rata perusahan IT. Perusahaan minyak tergeser. Jadi, defacto, data adalah komoditi paling berharga," kata pakar keamanan siber, Alfons Tanujaya.
Dan jika berbicara masa depan, setidaknya dalam kurun waktu bulanan, akselerasi perusahaan teknologi diprediksi makin menggila. Akselerasi itu otomatis akan meningkatkan harga dari data pribadi. Pandemi COVID-19 mendorong penetrasi luar biasa di sektor-sektor bisnis digital, terutama ecommerce.
"Tanpa COVID-19 saja, data jadi komoditas paling berharga. Dengan COVID 19, (nilai data) mengakselerasi luar biasa. Penetrasi ecommerce lebih dahsyat. Orang WFH. Hal itu menjadikan data yang menopang bisnis ecommerce jadi komoditas paling berharga lagi," kata Alfons.
Hal ini juga dibuktikan dengan catatan yang ditorehkan Amazon di Wall Street. Perusahaan penyedia pasar eceran daring sekaligus penyedia layanan cloud computing itu berhasil menggelembung lebih dari 90 miliar dolar AS. Tambahan nilai kapitalisasi sebesar 5 miliar dolar AS itu ditorehkan perusahaan Jeff Bezos pada Kamis, 30 April.
Pengamat pasar modal, Hans Kwee memaparkan pandangan mengenai data sebagai uang. Menurutnya, perusahaan teknologi seperti Apple dan Amazon memiliki basis data yang begitu besar. Dalam ranah pasar bisnis, penguasaan data pribadi jadi penting.
"Data ini pada praktiknya yang dilakukan Facebook, Google, Twitter, itu kan memetakan data pribadi orang. Ini hobinya apa. Setelah data itu ada, itu jadi mahal. Karena kita bisa berjualan dengan efektif," kata Hans, dihubungi VOI, Rabu, 8 Agustus.
"Jadi kan kalau secara ekonomi saya kan mau jualan barang. Saya punya produk namanya handphone. Nah, kalau saya beriklan, semua orang lihat, itu tidak bermanfaat karena yang saya segmen bukan orang. Maka data pribadi itu yang mengefektifkan penjualan," tambah dia.
Alfons Tanujaya melengkapi. Menurutnya, data memiliki posisi sentral sebagai komoditas. Namun, hal yang perlu dicatat adalah skema monetisasinya. Pengelola data umumnya dilarang menjual data mentah --nama, identitas pribadi, nomor telepon, dan lain sebagainya.
Monetisasi, kata Alfons hanya dapat dilakukan dengan mengelola data itu terlebih dahulu. Maka, ketika zaman makin maju dan menghindari aktivitas digital makin mustahil, ditambah fakta nyata sentralnya peran data dalam mendatangkan keuntungan, maka regulasi jadi penting.
Ikuti Tulisan Seri edisi ini: Tiada Privasi untuk Data Pribadi