JAKARTA – Australia menyatakan kekhawatirannya atas meningkatnya ancaman siber yang menyasar infrastruktur kritis negara tersebut. Muncul laporan terbaru yang menunjukkan bahwa satu dari sepuluh insiden siber tahun lalu melibatkan sektor vital seperti listrik, gas, air, pendidikan, dan transportasi.
Direktorat Sinyal Australia (Australian Signals Directorate) dalam laporannya pada Rabu 20 November mengungkapkan bahwa lebih dari 11% insiden siber di negara itu tahun lalu terkait dengan infrastruktur kritis. Dari jumlah tersebut, 25% merupakan insiden phishing, 21% adalah eksploitasi antarmuka publik, dan 15% menggunakan metode serangan brute force.
“Kami melihat peningkatan fokus yang mengkhawatirkan dari para penjahat siber dan aktor negara terhadap infrastruktur kritis kami,” kata Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles, dalam wawancara dengan Australian Broadcasting Corporation.
BACA JUGA:
Australia juga mengidentifikasi bahwa insiden-insiden siber tersebut terkait dengan aktivitas dari China, Rusia, dan Iran, yang menggunakan teknik yang semakin canggih.
Laporan tersebut mencatat bahwa teknik siber China berkembang dengan target dan perilaku yang konsisten dengan “persiapan untuk efek destruktif”, bukan sekadar operasi mata-mata siber tradisional. Beijing, bagaimanapun, telah berulang kali membantah tuduhan dari pemerintah Australia dan Amerika Serikat mengenai keterlibatan mereka dalam peretasan sistem komputer asing.
Australia telah bekerja sama dengan mitra internasional untuk memantau dan menanggapi ancaman ini, sambil meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan dampak pada infrastruktur kritis yang dapat mengganggu kehidupan masyarakat luas.