Bagikan:

JAKARTA - Serangan ransomware masih menjadi ancaman serius bagi organisasi di seluruh kawasan Asia. Meskipun banyak organisasi yang mengatakan tidak mau membayar tebusan, tapi data justru menunjukkan hal sebaliknya. 

Sebuah studi terbaru Cloudflare yang berjudul “Navigating the New Security Landscape: Asia Pacific Cybersecurity Readiness Survey” mengungkapkan bahwa 62 persen organisasi yang menjadi korban ransomware akhirnya menyerah dan membayar tebusan kepada penjahat siber. 

Angka ini cukup mengejutkan, mengingat 70 persen di antara organisasi tersebut secara terbuka dan terang-terangan menyatakan bahwa mereka tidak akan memenuhi tuntutan para pelaku.

Asia Tenggara Lebih Rentan

Lebih lanjut, atudi ini juga menggarisbawahi perbedaan yang signifikan antara negara-negara di Asia. Organisasi di India (69 persen), Hong Kong (67 persen), Malaysia (50 persen), dan Indonesia (50 persen) cenderung lebih sering membayar tebusan dibandingkan dengan negara lain di kawasan tersebut. 

Sebaliknya, Korea Selatan (19 persen), Jepang (19 persen), dan New Zealand (22 persen) justru menunjukkan tingkat ketahanan yang lebih tinggi terhadap serangan ransomware.

Salah satu temuan penting dalam studi ini adalah penggunaan di mana sebanyak 47 persen serangan ransomware berhasil memanfaatkan kelemahan pada Remote Desktop Protocol (RDP) atau server VPN untuk menyusup ke sistem target. 

Menanggapi situasi ini, Grant Bourzikas, Chief Security Officer di Cloudflare, menyatakan bahwa pemimpin keamanan siber saat ini menghadapi tantangan yang semakin kompleks. 

Selain harus menghadapi peningkatan serangan siber, mereka juga dihadapkan pada regulasi yang semakin ketat dan keterbatasan sumber daya.

"Untuk melindungi organisasi mereka, para pemimpin keamanan siber harus terus meningkatkan kemampuan, mengalokasikan anggaran yang cukup, dan mengadopsi solusi keamanan yang tepat," ujar Bourzikas.