Sistem Penyimpanan Data <i>Black Box</i> yang Belum Terjamah Teknologi Modern
Bagian FDR dari Black Box Sriwijaya Air SJ-182 (Diah Ayu/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Black Box atau kotak hitam merupakan benda yang sangat dicari-cari saat pesawat terbang mengalami kecelakaan. Fungsinya untuk menyimpan data percakapan dan komunikasi terakhir antara pilot dengan kru maupun menara pengawas.  

Selain itu, black box juga bisa menyimpan berbagai informasi dari banyak sensor di pesawat terkait masalah yang bisa jadi penyebab kecelakaan. Nantinya, informasi yang terekam akan dijadikan petunjuk oleh pihak berwenang untuk mengungkap misteri penyebab kecelakaan.

Mengingat fungsinya yang sangat vital, alat ini justru masih menggunakan teknologi lawas dan masih mekanikal. Kendati model terbaru black box sudah menggunakan memori jenis solid-state sebagai media penyimpanannya, namun perlu waktu cukup lama bagi tim penyelamat mengekstraksi kotak hitam dari lokasi kecelakaan. 

Apalagi Black Box terdiri dari dua bagian terpisah, yaitu Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (VCR). Kedua komponen penting ini memiliki standar keamanan tingkat tinggi yang tahan api, ledakan, dan mampu menahan tekanan hingga di kedalaman 6.000 meter di bawah permukaan laut.

Pertanyaannya, mengapa komponen penting seperti Black Box tidak terkoneksi dengan internet? Jawabannya karena perangkat ini membutuhkan kuota dan bandwith super besar untuk mengirim setiap data dan informasi penerbangan. 

Sebut saja bagaimana komponen FDR bertugas untuk menyimpan parameter penerbangan selama 25 jam terakhir, sebelum akhirnya diperbaharui dengan data rekaman baru. Informasi yang tersimpan itu meliputi meliputi kecepatan, ketinggian, waktu, hingga arah pesawat.

Sedangkan VCR menyimpan percakapan antara pilot kepada krunya atau menara pengawas. Periode rekamannya selama dua jam, dan setelahnya ia akan terus merekam ulang dengan sendirinya dan menimpa data sebelumnya.

Artinya jika Black Box terkoneksi dengan internet secara terus menerus, bisa dihitung seberapa besar ukuran file yang akan diunggah. Belum lagi kecepatan akses data di tiap negara atau daerah juga berbeda-beda sehingga cara tersebut masih sulit diimplementasikan.

Melansir laman Science How Stuff Works, Black Box akan menyimpan rekaman dan data secara real-time. Namun untuk mengkoneksikan perangkat ini ke jaringan internet tidaklah mudah. 

Ada cost yang lebih besar, selain menambahkan instrumen maupun komponen lainnya ke seluruh maskapai penerbangan. Perlu diketahui, bandwidth data menggunakan satelit juga sangat mahal. Biayanya sekitar 1 per kilobyte dolar AS, artinya data yang diunggah akan meningkat seiring waktu berjalan.

Black Box model terbaru bisa merekam dan menyimpan data informasi hingga 25 jam data dalam satu putaran secara terus-menerus. Mereka memantau setidaknya 88 parameter seperti pengaturan kontrol kokpit, informasi tentang mesin, waktu, dan lain-lain. Perekam suara juga terus merekam suara di kokpit.

Selain kendala biaya maupun instrumen digital masih mahal. Nyatanya tidak menjaminan streaming data armada penerbangan ke cloud secara digital, terutama saat detik-detik kritis menjelang insiden.

Mengingat transmisi wireless sangat rentan gangguan. Besar kemungkinan data yang terkirim akan terputus atau corrupt, sehingga menyulitkan proses evaluasi kecelakaan terjadi. 

Inovasi Black Box

Ide pengembangan terhadap perangkat Black Box masih berlangsung, mengingat peran penting kotak hitam dalam dunia aviasi. Ada sejumlah perusahaan yang mulai menghadirkan teknologi penyimpanan data untuk Black Box. 

Salah satunya, FLYHT Aerospace Solutions yang berbasis di Canada. Mereka menyediakan layanan streaming kotak hitam. Perangkat buatan FLYHT Aerospace bahkan sudah terpasang di 400 pesawat. 

First Air Canada, jadi satu-satunya maskapai penerbangan yang menggunakan sistem FLYHT tersebut. Berbeda dengan sistem black box pada umumnya yang akan mencatat data penerbangan sejak masih di darat. 

Perangkat FLYHT baru akan aktif jika terjadi kejadian abnormal. Nantinya dengan instrumen ini akan cepat mengirimkan data ke server maskapai untuk analisis dan menerapkan tindakan korektif.

"Jika ada yang salah, kami dapat memberikan wawasan lebih cepat tentang apa yang terjadi. Kami bisa mulai mengumpulkan teka-teki bersama-sama lebih cepat, jadi (perusahaan penerbangan) dapat mengesampingkan sejumlah konspirasi yang ada di luar sana," ungkap salah satu karyawan FLYHT, Graham Ingham.

Perangkat streaming ini mirip dengan perangkat kotak hitam yang telah digunakan di pesawat selama beberapa dekade. Terdiri dari CVR dan FDR.

FLYHT menawarkan layanan dengan biaya sekitar 100 ribu dolar AS atau sekitar Rp1,5 miliar per pesawat, termasuk perangkat keras dan instalasi. Bandwidth satelit juga tidak tersedia secara murah sekitar 1 dolar AS per kilobit.

Adapula Honeywell Aerospace di Arizona, AS, yang bekerja sama dengan manufaktur penerbangan Curtiss-Wright Corp. Mereka mencoba melakukan streaming data penerbangan yang direkam oleh black box ke cloud melalui konektivitas internet di pesawat.

Bekerja sama juga dengan operator satelit Inmarsat untuk memastikan teknologi black box berbasis cloud ini dapat diandalkan, serta dapat digunakan maskapai penerbangan komersial, transportasi kargo, dan pesawat jet bisnis.

"Kami melihatnya dengan banyak cara berbeda," ujar Vice President dan General Manager, Software and Services Honeywell Aerospace John Peterson.

Peterson mengatakan, salah satu opsinya adalah menetapkan data frame dan frame rate yang masuk akal dari peristiwa tertentu, kemudian mempercepatnya. Hal ini seperti menarik seluruh bagian data setiap lima menit sampai 15 menit sekali, kemudian jika tiba-tiba sebuah peristiwa terjadi, streaming akan menarik data setiap 100 milidetik.

"Cara lainnya mengambil subset dari data dan menganggapnya sebagai streaming berkelanjutan. Seperti halnya dengan data, ada banyak cara berbeda untuk melakukannya, biaya terkait, dan aspek mana yang paling berharga," kata Peterson.