Bagikan:

Mantan Presiden Jokowi akhirnya buka suara. Ia akan menunjukkan ijazah aslinya di pengadilan. Tapi publik terlanjur gaduh. Di ruang digital yang bising, narasi sudah jadi vonis. Bukan logika, melainkan persepsi yang memimpin.

Ini bukan pertama kalinya isu ini muncul. Tapi medio 2025 menjadi babak paling gaduh. Tim Pembela Ulama dan Aktivis  (TPUA), kelompok yang menggugat keaslian ijazah Jokowi, kembali menyerang. Kali ini lebih rapi. Lebih percaya diri. Mereka mendatangi Jokowi dan UGM. Membawa klaim, tuntutan, dan nada ultimatum.

Jokowi bereaksi keras. "Tidak ada kewajiban saya menunjukkan ijazah ke mereka," katanya. Pernyataan itu langsung memantik api. Diterjemahkan sebagai: ‘Jokowi menghindar.’ Padahal, tidak. Ia memilih jalur hukum. Ia tak tinggal diam. Ia siapkan perlawanan balik: gugatan balik atas dugaan pencemaran nama baik dan pembunuhan karakter.

Tapi internet punya logikanya sendiri. Di sosial media (Sosmed) seperti TikTok, YouTube, IG, dan  X, persepsi beranak pinak. Dari analisis jenis huruf di ijazah, format foto, sampai konspirasi skripsi yang tak terdaftar. Semuanya viral. Semuanya punya penonton.

UGM sudah angkat suara. Tegas. Jelas. Lewat pernyataan resmi di laman kampus, Rektor, Dekan, dan pihak fakultas menegaskan ijazah Jokowi asli. "Tidak hilang, tidak palsu," kata mereka. Tapi publik terlanjur tenggelam dalam sensasi. Fakta kalah cepat dibanding fitnah.

Forum Penyelamat Eksistensi Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Formasi Kagama)—organisasi alumni UGM—bahkan ikut bersuara. Mereka meminta semua pihak hentikan polemik. Tapi suara waras seperti ini tenggelam di tengah gelombang clickbait.

Ganjar Pranowo, kader PDIP semasa menjabat sebagai Ketum Kagama pernah memberikan kartu alumni UGM kepada Jokowi. Tapi kini, suara dari PDIP sendiri menggugat. Politisi senior PDIP, Panda Nababan menantang Jokowi tunjukkan ijazah asli. Serangan datang dari luar dan dalam.

Kita hidup di era post-truth. Di mana emosi lebih dipercaya daripada data. Di mana screenshot lebih sahih daripada dokumen resmi. Ijazah bukan lagi bukti pendidikan, melainkan alat politik.

Masyarakat digital bukan lagi pembaca. Mereka hakim. Mereka menyusun dakwaan, menyimpulkan, dan menghukum—dalam hitungan detik. Tak perlu sidang. Tak perlu bukti. Cukup video TikTok atau IG atau X berdurasi satu menit.

Jokowi kini bukan hanya sedang menghadapi gugatan hukum. Ia sedang menghadapi satu bentuk kekuasaan baru: kekuasaan persepsi.

Ini lebih dari sekadar hoaks. Ini adalah upaya sistematis membongkar legitimasi. Mantan Menkopolhukam, Mahfud MD menilai UGM tak perlu terlalu jauh menanggapi isu ijazah palsu Jokowi karena kampus adalah penerbit ijazah, bukan pemalsunya.

Di sinilah titik bahayanya. Ketika institusi akademik dilemahkan, ketika data dicurigai, ketika setiap klarifikasi dibaca sebagai manipulasi. Negara kehilangan pijakan epistemologisnya.

Tak heran, pengacara Jokowi menyebut ini sebagai pembunuhan karakter. Bukan sekadar fitnah. Tapi desain besar untuk menggerogoti wibawa mantan kepala negara dua periode lewat logika digital.

"Kalau asli, kenapa tidak langsung diperlihatkan?" Itu pertanyaan awam yang terus berulang. Tapi bukankah negara ini punya prosedur? Bukankah ada mekanisme hukum?

Tim hukum Jokowi menyatakan ijazah asli hanya akan ditunjukkan di pengadilan. Karena bukan tugas mereka membuktikan kebenaran pada opini liar. Karena jika hari ini dituruti, besok akan muncul tuntutan baru: scan skripsi, buku induk, atau bahkan cap jari.

Ini bukan soal Jokowi saja. Ini soal demokrasi. Soal bagaimana logika kecurigaan merusak kredibilitas akademik, merusak kepercayaan publik, dan menciptakan pola baru: hukum digantikan viralitas.

Kita lupa bahwa ijazah adalah produk institusi, bukan individu. Yang diverifikasi bukan sekadar selembar kertas, tapi sistem pendidikan. Kalau UGM, salah satu kampus terbaik di Indonesia saja dianggap bohong, lantas kampus mana yang bisa dipercaya?

Juga mesti diingat, Jokowi terjun ke politik di awali dari Wali Kota Solo. Rasanya, jika memang menggunakan ijazah palsu dari awal sudah terdeteksi. Karena sudah banyak contoh politisi yang terjerat kasus ijazah palsu di awal terpilih.

Jokowi akan menunjukkan ijazah di pengadilan. Tapi satu hal yang pasti: publik tak lagi menunggu dokumen. Publik lebih percaya pada narasi yang sesuai selera.

Kita sedang menyaksikan satu generasi yang lebih percaya pada font Times New Roman palsu daripada integritas seorang presiden yang sudah dua kali dipilih secara sah.

Sungguh, ini bukan tentang ijazah. Ini tentang bangsa yang kehilangan kemampuan membedakan antara suara keras dan suara benar.