Pekan lalu, ribuan warga Jakarta dan Bekasi mengungsi akibat banjir yang merendam rumah mereka hingga tiga meter. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi hasil dari keserakahan manusia yang mengorbankan lingkungan demi keuntungan jangka pendek.
Diberitakan, sejak 2010, hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung seluas 15.000 hektare ditetapkan sebagai hutan lindung dan area resapan air. Namun, data Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa hingga 2022, 8.000 hektare lahan tersebut telah beralih fungsi menjadi area pertanian dan permukiman, dengan ekspansi ilegal mencapai 1.500 hektare. Badan sungai bahkan dijadikan lokasi resor dan tempat wisata tanpa izin.
Dampak banjir juga meluas ke dunia pendidikan. Sebanyak 114 sekolah di Bekasi terendam air, mulai dari SD hingga SMA. Ribuan siswa terpaksa menghentikan aktivitas belajar, sementara pemerintah daerah berjanji memperbaiki fasilitas sesuai tingkat kerusakan. Namun, janji semata tak cukup jika akar masalah tak dibereskan.
Di Jakarta, proyek sodetan Ciliwung yang digadang-gadang sebagai solusi malah dipertanyakan efektivitasnya. Warga Kebon Pala masih mengalami banjir setinggi dua meter. Ini menimbulkan keraguan soal kegunaan proyek senilai miliaran rupiah itu.
BACA JUGA:
Setelah air surut, dampak lain muncul: tumpukan sampah menggunung di Cililitan Kecil, Jakarta Timur. Warga bergotong-royong membersihkan lumpur dan sampah, sementara petugas PPSU kewalahan menangani volume limbah yang terus bertambah.
Seperti lirik lagu Ebiet G. Ade dalam Berita untuk Kawan, "Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa." Pertanyaannya, apakah bencana ini memang sekadar ujian alam, atau justru konsekuensi dari keangkuhan kita dalam mengelola lingkungan?
Banjir di Jabodetabek bukan sekadar fenomena alam. Ini adalah konsekuensi dari pengelolaan lingkungan yang buruk dan pengabaian aturan. Jika pola ini terus dibiarkan, bencana akan menjadi siklus tahunan yang semakin parah. Hal klise yang terus menerus diulang setiap musim banjir tiba. Solusinya juga sebenarnya sama. Masyarakat dan pemerintah harus bertindak lebih tegas: hentikan perusakan lingkungan, perkuat regulasi, dan jangan biarkan keserakahan menggulung kota kita lagi.
Langkah Menko Pangan Zulkifli Hasan dan Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi menutup empat tempat wisata ilegal di kawasan Puncak, termasuk Hibisc Fantasy yang berdiri di atas 21 hektare lahan hutan teh Gunung Mas harus diapresiasi. Bangunan tersebut memiliki izin hanya untuk 4.800 meter persegi, tetapi ekspansinya berlipat ganda.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, berjanji menuntut pidana pemilik bangunan ilegal yang berkontribusi terhadap bencana ini. Juga kita apresiasi. Namun, langkah hukum saja tak cukup jika penegakan aturan masih lemah. Alih fungsi lahan tetap marak, dan pembangunan ilegal terus dibiarkan terjadi.
Pejabat harus segera melakukan langkah konkret dan contoh. Jangan berbuat konyol sehingga menjadi bulan-bulanan netizen. Seperti Wagub DKI, Rano Karno yang didorong naik perahu karet padahal banjir tidak lebih dari lutut. Harusnya seperti Presiden Prabowo yang turun tanpa perahu karet.