Pemerintah punya ambisi besar. Nama itu: Danantara. Badan pengelola investasi negara yang diharapkan menjadi raksasa baru seperti Temasek di Singapura. Undang-Undang BUMN yang baru disahkan DPR RI awal Februari 2025 resmi melahirkan badan ini.
Danantara adalah singkatan dari Daya Anagata Nusantara. Badan ini dibentuk dengan tujuan mengoptimalkan pengelolaan aset negara dan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Presiden Prabowo Subianto berharap Danantara mampu menjadi kendaraan utama dalam membangun ketahanan ekonomi Indonesia melalui investasi strategis di berbagai sektor, termasuk infrastruktur, energi, dan teknologi.
Modalnya tidak main-main: lebih dari Rp1.000 triliun. Ya, lebih dari satu kuadriliun rupiah! Modal ini diambil dari penyertaan modal negara (PMN), aset BUMN yang dikelola ulang, dan sumber investasi lainnya. Juga termasuk dana hasil efisiensi. Jika dikelola dengan baik, Danantara bisa jadi mesin pertumbuhan ekonomi. Tapi jika salah urus, ini bisa menjadi sejarah kelam, mirip skandal 1Malaysia Development Berhad atau 1MDB di Malaysia yang mengguncang dunia dan membuat mantan Perdana Menteri Malaysia Naijib Razak masuk penjara.
Sejak lahir, Danantara sudah menuai kontroversi. Salah satunya soal kewenangannya yang tumpang tindih dengan Kementerian BUMN. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) bahkan menyebut ini bisa jadi bumerang. Siapa yang benar-benar mengontrol Danantara? Apakah Kementerian BUMN masih punya kuasa, atau Danantara berdiri sendiri seperti kerajaan dalam negara?
Celakanya, revisi UU BUMN juga membawa perubahan besar: kerugian BUMN bukan lagi dianggap sebagai kerugian negara. Artinya, jika ada perusahaan BUMN yang bangkrut atau uangnya menguap, tanggung jawabnya hanya di internal BUMN itu sendiri. Tidak bisa dikategorikan sebagai kerugian negara. Ini ibarat mencabut gigi taring KPK atau penegak hukum dalam mengawasi keuangan negara di BUMN.
Sejarah mencatat bahwa badan investasi negara bisa menjadi jebakan berbahaya jika tidak diawasi ketat. Malaysia pernah mengalami ini lewat skandal 1MDB yang menyeret mantan Perdana Menterinya, Najib Razak. Modusnya mirip: dana besar, investasi tanpa pengawasan ketat, lalu terjadi kebocoran keuangan yang luar biasa.
BACA JUGA:
Apakah Danantara bisa mengalami hal serupa? Melihat besarnya uang yang dikelola, transparansi harus menjadi syarat utama. Masalahnya, revisi UU BUMN justru membuka celah abu-abu dalam pengawasan. Ini yang membuat publik cemas.
Satu hal yang juga memicu polemik adalah usulan Presiden Prabowo Subianto untuk menunjuk tiga mantan presiden sebagai pengawas Danantara: Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo. Sebuah langkah yang menarik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar.
Apakah ini langkah brilian untuk memastikan pengawasan independen? Atau justru upaya membangun konsensus politik agar Danantara berjalan tanpa kritik keras dari elite-elite lama?
Di satu sisi, ini bisa menambah kepercayaan publik. Di sisi lain, sulit untuk mengabaikan aroma politis yang menyelimutinya.
Danantara adalah mimpi besar. Jika dikelola dengan baik, bisa menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Namun, jika kontrolnya lemah, ini bisa jadi bom waktu yang kelak meledak dan merugikan banyak orang.
Jalan satu-satunya adalah memastikan pengawasan yang ketat, transparansi penuh, dan keterlibatan publik dalam setiap kebijakan yang diambil. Jika tidak, kita mungkin sedang menyaksikan lahirnya skandal terbesar dalam sejarah Indonesia.
Dan itu bukan mimpi, melainkan malapetaka.