<i>Interview</i>: Mengulik Perjalanan Satria The Monster hingga Penggarapan <i>Hari Bersamanya</i>
Satria The Monster (Dok. Satria The Monster)

Bagikan:

JAKARTA – Satria The Monster kembali hadir dengan membawakan ulang lagu milik Sheila On 7 yang bertajuk Hari Bersamanya pada 22 Maret lalu. Lagu ini diproduseri Denny Chasmala tanpa campur tangan dari para personel Sheila On 7 sama sekali.

Band yang dihuni Satria (vokal dan gitar), Iwan (bass) dan Dimas (drum) ini mengatakan, mereka hampir selalu membawakan lagu Hari Bersamanya ketika tampil di berbagai panggung. Maka dari itu, kini unit rock asal Makassar itu merekam lagu tersebut secara resmi agar tak menjadi masalah ketika ingin menyanyikannya di kemudian hari.

Selain itu, kabarnya mereka segera melanjutkan untuk menggarap karya berupa single dan album dalam waktu dekat.

Untuk meninjau lebih lanjut soal proses penggarapan single tersebut, rencana selanjutnya Satria The Monster, dan perjalanan karier mereka, simak wawancaranya berikut ini.

Bagaimana proses penciptaan lagu Hari Bersamanya?

Satria: Ini cepat banget sih. Jadi waktu saat kita datang ke studio, semuanya itu sudah disediakan Denny Chasmala. Mulai dari aransemen segala macam lah. Jadinya kita cuma tambahkan beberapa ide saja. Ya kurang lebih cuma sekitar tiga hari semuanya jadi. Dan itu merupakan proses tersingkat selama perjalanan karier kita.

Berarti bisa dibilang Denny Chasmala memanjakan kalian ya?

Iwan: Ya, iya sih. Kayak dikasih siomay dirumahnya. Tapi, ya dimanjakan iya. Tetap memberi kita ruang untuk mengisi di beberapa part. Dan tentunya membebaskan kita juga sih.

Apa yang kalian rasakan ketika diproduseri Denny Chasmala?

Satria: Pastinya banyak banget ilmu-ilmu yang kita dapatkan. Kayak cara membuat lagu yang benar itu seperti apa, cara aransemen bagaimana, membuat lirik yang bagus bagaimana. Akhirnya ya sudah kita pelajari secara diam-diam saja. Kita mengamati dia jadinya. Karena dia suka sharing juga orangnya. Misal, selesai take gitar kita ngobrolin perjalanannya Om Denchas.

Lagu ini bakal masuk ke album atau EP (album mini) kalian selanjutnya kah?

Satria: Oh enggak. Bakal terpisah.

Dimas: Jadi ini cuma single untuk kita bisa membawakan lagu itu secara sah aja.

Beban enggak sih meng-cover salah satu band yang memiliki gitaris jago di musik blues?

Dimas: Beban sih pasti ada, apalagi kita merilis lagu yang hits pada zamannya kan. Cuma karena kita senang banget sama ini lagu, hampir setiap kita tampil selalu selipkan lagu-lagu Sheila On 7, akhirnya kita buat yang lebih serius saja. Daripada kita bawakan pas live lagi enggak jelas gitu kan. Ya, jadinya kalau suatu saat kita mau membawakan lagu ini jadi lebih enak.

Setelah lagu ini, apa rencana kalian selanjutnya?

Iwan: Diusahakan untuk tahun ini sih album ya. Terus, Insyaallah bakal ada tur-tur ke depannya. Dan yang paling terdekat sih kita segera merekam lagu selanjutnya.

Menarik mundur soal perjalanan karier kalian, apa keputusan kalian saat itu ketika hijrah dari Makassar ke Jakarta pada 2008?

Satria: Jadi awalnya yang berangkat ke Jakarta itu gua, ibu, dan bapak. Itu karena gua dapat ajakan ketemu dengan Gilang Ramadhan. Jadi gua tuh dulu drumer. Terus, waktu itu Gilang Ramadhan mau buat sekolah musik. Nah, gua waktu itu ditawarkan untuk jadi ikon di sekolah musik itu. Dari situ mulai merantau kan. Enggak lama kemudian gua mendapatkan rekor muri sebagai drumer jazz termuda waktu main di Mall Of Indonesia. Setelah itu, akhirnya gua manggil abang-abang gua buat dateng ke Jakarta. Karena memiliki hasrat untuk main band. Awalnya itu, Satria The Monster formasinya gua drum, bass di Dimas, dan Iwan gitar. Jadi sehabis itu main-main aja kayak lagu The Police. Beberapa lama kemudian, Dimas merasa bahwa suaranya sudah enggak bisa lagi untuk menyanyi. Terus sama bapak diubah formasinya seperti sekarang.

Apa bisa dibilang The Police adalah salah satu band yang menginspirasi kalian?

Satria: Kalau secara musik sih enggak.

Dimas: Lebih ke ini sih, bagaimana kita melihat perjalanan karier mereka, performance-nya, kekompakannya, dan itu yang kita terapkan di band ini.

Kesulitan apa saja yang dialami waktu itu untuk bisa tetap bertahan di Jakarta?

Dimas: Dulu kan kita ada naik turunnya juga ya, sebelumnya kan kita sempat membuat band masing-masing, dan enggak cocok. Bubar. Terus buat lagi. Bubar lagi. Mungkin capeknya di situ kali ya, yang pada akhirnya memutuskan kita untuk buat bertiga aja. Karena kita keluarga, jadi sudah biasa kalau ada apa-apa diobrolin aja. Kan kalau sama orang lain kita suka enggak enak mau bicara sesuatu gitu.

Untuk band yang berkarier sejak 2008, apa kalian sudah merasa sukses?

Dimas: Mungkin untuk secara kebersamaan merasa sukses ya. Masih bertahan di industri musik sampai sekarang. Secara komersial atau apa ya itu belakangan lah. Terpenting kita masih tetap bisa bertahan. Soalnya kan, kalau sukses secara komersial tapi enggak bisa bertahan ya sama saja kan. Mending kita menguatkan fondasi dulu aja sih. Jika nantinya kita dapat kritik dari orang lain jadi enggak goyah.