Bagikan:

JAKARTA - Virus corona atau COVID-19 membuat kepanikan warga dunia. Beberapa negara malah terjebak dengan panic buying, membeli barang untuk bertahan hidup. Di antaranya, bahan makanan, hand sanitizer, masker, dan lainnya.

Kepanikan model begini dulu pernah terjadi, istilahnya La Grande Peur (kepanikan besar) yang muncul sejak zaman prakolonial atau lebih tua lagi. 

Pada abad ke-19, kepanikkan besar pernah terjadi di Prancis. Kala itu, kaum tani di Prancis panik karena kabar gerombolan perampok akan menyerang mereka atas suruhan kaum bangsawan. Akibatnya, petani mempersenjatai diri, dan bersiap menghadapi datangnya gerombolan tersebut.

Sayangnya, gerombolan perampok yang ditunggu tak kunjung datang. Para petani kemudian meluapkan amarahnya pada para bangsawan, dan situlah pemberontakan meledak. 

Melihat fenomena ini, Sejarawan Prancis Georges Lefebvre, sempat mengungkap alasan pemberontakan selain disebabkan oleh faktor ekonomi dan politik, ada faktor lainnya yang membuat kaum tani memberontak yaitu kepanikan.

"Untuk membuat petani bangkit dan memberontak, tidak perlu Revolusi Prancis, seperti yang banyak disarankan oleh sejarawan: ketika kepanikan datang, dia sudah naik dan pergi," ucap Georges.

Sementara, Andrew Hussey, penulis buku berjudul Paris: Sejarah yang tersembunyi (2006) mengatakan, “Walaupun kadang pemberontakan rakyat yang dipimpin petani sering kali tak memiliki fokus–biasanya (pemberontakan) dipicu oleh rasa lapar dan kenaikkan pajak.”

Tak hanya di Prancis, pada abad pertengahan di hampir seluruh penjuru Eropa, terdapat isu tentang mengenai sumur diracun, yang konon dilakukan oleh orang Yahudi. Kabar tersebut bikin masyarakat panik, lalu melakukan tindakan rasialis terhadap orang Yahudi.

Di wilayah Asia, Jepang pernah mengalami kepanikan besar pada 1932. Saat itu, Jepang sedang dilanda gempa di wilayah Kanto yang memakan korban sebanyak kurang lebih 120.000 jiwa.

Tepat setelah gempa besar tersebut, isu terkait kaum minoritas Korea yang berada di wilayah Kanto justru memanfaatkan kejadian itu untuk melakukan pembakaran, penjarahan dan meracuni sumur-sumur sumber air minum warga. Narasi yang itu dikuatkan dengan adanya laporan di surat kabar. Sehingga, para prajurit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, polisi dan anggota ormas membunuh orang Korea.

Di Indonesia, juga pernah terjadi kepanikan besar. Pada 1945, ada isu sumur diracun di kawasan Surabaya, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. 

Cerita itu didapat dari tulisan kolom Sejarawan Ong Hok Ham di Majalah Tempo yang berjudul 'Isu, Panik, dan Rasa Tentram' (1989). Dia berujar, “Di Surabaya pada waktu itu, misalnya, tersebar kabar angin yang dipercaya penduduk—mengenai sumur yang diracun oleh agen-agen NICA (Netherlands-Indies Civil Adminisration) dan mata-mata Van der Plas.”

Padahal, tuduhan itu tak berdasar. Ong menganalisis, dokumen-dokumen Belanda tak menunjukkan hal-hal seperti yang dicurigai. Sebab, bulan-bulan setelah proklamasi, Belanda sama sekali tak memiliki agen-agen atau rantaian mata-mata di Hindia-Belanda.

Jangankan itu, mereka (Belanda) sama sekali tak menerima informasi apapun mengenai keadaan di Indonesia, selain dari radio siaran Jepang serta koran dan majalah yang disita oleh kapal selam sekutu dari perahu-perahu nelayan Indonesia.

“Singkat kata, isu sumur beracun itu muncul akibat kepanikkan masyarakt dalam krisis politik dan konflik militer pada waktu itu. Soal panik mengenai adanya mata-mata dan agen NICA juga harus dilihat dari sudut ini,” ucapnya.

Sementara, kata Hendry Manampiring dalam bukunya berjudul Filosofi Teras (2019), kepanikkan jika tak dikurangi, maka akan menimbulkkan banyak biaya, menghabiskan energi pikiran, menghabiskan waktu (juga uang), dan mengganggu kesehatan tubuh.