JAKARTA - Perkembangan teknologi sudah menjadi hal universal dan digunakan hampir oleh semua kalangan. Tak hanya digunakan oleh orang dewasa, kini anak-anak juga mulai menggunakan teknologi untuk melakukan segala aktivitasnya.
Tak bisa dipungkiri, anak-anak yang lahir di era milenial saat ini sudah dengan mudahnya menguasai perangkat teknologi maupun gawai. Namun perlu diperhatikan pula, pengawasan orang tua terhadap perangkat elektronik yang diberikan kepada anak.
Dilansir dari New York Times, sebuah riset menunjukkan bahwa 70 persen orang tua mengizinkan anak-anaknya yang masih berusia 6 bulan hingga 4 tahun untuk bermain dengan perangkat gawai. Sebanyak 65 persen lainnya juga melakukan hal yang serupa, hanya saja gawai digunakan untuk menenangkan anak ketika berada di tempat umum.
Mungkin memberikan anak gawai, bisa menjadi cara alternatif agar bisa anteng dan orangtua mengerjakan pekerjaan lainnya. Namun perlu diperhatikan, kalau anak itu bisa cepat mempelajari hal baru dari apa yang diberikan orangtuanya.
This is your moment. Your movement. Your chance to speak out, demand your rights and prove the power of every child.#WorldChildrensDay pic.twitter.com/K5481201oJ
— UNICEF (@UNICEF) November 16, 2019
Dikutip dari laporan penelitian DR. Aric Sigman, Psikolog asal Amerika Serikat yang menulis Screen Dependency Disorder: A New Challenge for Child Neurology, mengatakan jika pemberian gawai pada anak secara berkepanjangan dapat menimbulkan gejala kecanduan.
Misalnya anak sudah mulai diberikan smartphone untuk bermain, selama lebih dari 6 jam oleh orang tuanya. Hal itu bisa memicu sikap tantrum anak, ketika sang anak tak lagi menggenggam gawai semacam ponsel untuk bermain.
Tak hanya pada anak usia muda, masalah kecanduan gadget juga bisa berdampak buruk pada kondisi fisik dan mental anak-anak usia remaja. Hal ini dipicu dengan sikap orangtua yang kerap memberikan akses teknologi dan internet, tanpa pengawasan.
Penelitian yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health di Inggris, dengan 1.500 orang responden berusia 14-24 tahun, menunjukkan bahwa anak-anak usia remaja akan lebih tenang ketika mengakses dan melihat media sosial. Beberapa platform media sosial yang dijadikan tolok ukur adalah Instagram, Facebook, YouTube, Twitter dan Snapchat.
Studi tersebut mempelajari apa yang dirasakan responden melalui gambar atau foto di media sosial tersebut dan dampaknya pada kesehatan mental. Berdasarkan penelitian tersebut, Instagram dinilai paling buruk bagi kesehatan mental disusul Snapchat di peringkat kedua.
"Sangat menarik melihat Instagram dan Snapchat sebagai medsos terburuk bagi kesehatan mental. Kedua aplikasi ini tampaknya mendorong perasaan cemas pada anak muda," kata Dr Becky Inkster, peneliti di University of Cambridge.
Hari Anak Sedunia
Bersamaan dengan masalah itu, tepat pada hari ini 20 November diperingati sebagai Hari Anak Sedunia. Peringatan tahunan yang dirayakan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap komitmennya pada Konvensi Hak-Hak Anak dan menerapkan hak-hak anak yang sesuai untuk abad ke-21.
Masalah kesehatan mental dan kecanduan terhadap gawai dalam tumbuh kembang anak, jadi topik yang sangat diperhatikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mereka menyarankan agar para orangtua tidak membiarkan bayi dan balita untuk tidak dibiarkan diam menonton layar gawai maupun televisi sebelum berusia 2 tahun.
Let’s build a 🌍 where every child is safe from harm and has the opportunity to learn. 📚
More from @UNICEF on Wednesday's #WorldChildrensDay: https://t.co/FsKhEeDP2t pic.twitter.com/DraNlQsOeE
— United Nations (@UN) November 20, 2019
Dikutip dari BBC, WHO menyarankan batasan screen time untuk balita usia 2-4 tahun adalah satu jam dalam sehari, lebih baik lagi jika bis dikurangi. Hal ini ditetapkan untuk mencegah kurangnya aktivitas anak, yang jadi faktor risiko kematian dan terkait dengan obesitas secara global.
Penulis guideline WHO, dr Juana Willumsen, mengatakan bahwa ketimbang memberikan anak gawai untuk sekadar screen time, lebih baiknya orang tua bisa mengatur waktu dan mempergunakannya untuk quality time bersama anak.
"Membaca buku dengan si anak, misalnya, dapat membantu mereka mengembangkan kemampuan berbahasa. Anak yang diberikan tablet agar diam saat duduk di kursi tidak akan mendapatkan kualitas yang sama. Anak-anak mestinya diberikan kesempatan dalam sehari untuk bermain secara aktif dan kita harus mengurangi screen time yang sedenter dan pasif," ujarnya.
Memperkenalkan gawai teknologi sejak dini pada anak memang tidak ada salahnya. Selama peran orang tua dalam mengawasi dan membimbing anak untuk memanfaatkan akses teknologi perlu ditingkatkan.
Sebuah penelitian yang dirilis oleh Journal of Depression and Anxiety, mengatakan dampak positif penggunaan smartphone untuk anak dapat meningkatkan perkembangan motorik anak lewat aktivitas di gadget, yang mengharuskan mereka untuk menggerakkan jari dan tangan. Namun lagi-lagi, peran orang tua sangat diperlukan dalam mengawasi anak seiringi dengan perkembangan teknologi.