Menyingkap Kesakralan dan Letusan Gunung Raung
Letusan Gunung Raung (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Gunung Raung adalah salah satu pesona Jawa Timur. Di samping itu, gunung setinggi 3.260 MPDL telah dianggap sakral sedari zaman Majapahit. Sederet raja dari Kerajaan Blambangan (Banyuwangi) menjadikan Gunung Raung sebagai tempat bermeditasi.

Maharaja Blambangan kesohor, Tawang Alun, salah satunya. Dan ternyata, Gunung Raung pernah meletus berkali-kali. Salah satunya letusan tahun 1586 yang banyak memakan korban jiwa.

Dalam sejarahnya, Raung menjadi gunung yang paling dianggap sakral nan keramat oleh masyarakat Banyuwangi, setidaknya hingga hari ini. Raung bahkan paling sakral jika dibanding Ijen, Merapi, dan Meranti. Sebagai bukti, Gunung Raung sudah dijadikan pusat pemujaan oleh para penguasa Kerajaan Blambangan sejak dulu kala.

“Sedangkan Gunung Raung adalah sebuah gunung yang dianggap memiliki kekuatan mistis hingga sekarang bahkan tidak jarang terdapat petapa di Gunung Raung. Hal ini sangat berhubungan anggapan masyarakat kuno bahwa gunung adalah pingkalalingganing buwana (lingganya dunia). Demikianlah, gunung yang berada di Jember (terutama pegunungan Hyang) sangat memungkinkan bahwa dahulunya tempat ini mengalami hubungan erat dengan sstem religi pada masa Majapahit,” tulis Yebqi Farhan dalam buku Masa Lalu Jember: Studi Historis Peradaban Jember Pada Masa Majapahit (2017).

Gunung Raung (Sumber: Wikimedia Commons)

Sejawan Sri Margana turut menyebutkan Indikasi Gunung Raung sebagai situs pemujaan karena banyak ditemukan sejumlah peninggalan tempat persembayangan umat Hindu. Untuk itu, tempat pesembayangan itu diyakini telah ada sejak abad ke-17 hingga abad ke-18. Yang mana dari peninggalan itu banyak terdapat di Kecamatan Songgon dan Sempu, Banyuwangi.

Beberapa di antaranya masih dapat dilihat hingga hari ini. Petilasan di Desa Jamberwangi, misalnya. Senafas dengan itu, ragam peninggalan kerajaan Blambangan banyak pula yang ditemukan di sekitar kaki Gunung Raung. Peninggalan itu diyakini tertimbun abu vulkanik akibat letusan Raung pada abad ke-18.

”Peninggalan kerajaan diperkirakan terkubur oleh abu vulkanik Raung dari dua kali letusan. Pada 2010 kami menemukan fondasi bangunan kerajaan, gerabah, tombak, keramik, uang receh, dan sebagainya, terpendam sedalam 1,5 meter di Desa Macan Putih. Hingga kini masih banyak yang belum digali,” kata Sri Margana dalam buku Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan 1763-1813 (2012).

Letusan demi letusan

Di ingatan masyarakat, Gunung Raung tak hanya terkenal karena keindahan dan kesakralannya. Sebab, letusan-letusannya yang sempat ditulis dalam sejarah letusan gunung api di Indonesia begitu dikenal. Melansir Detik.com, dari data Pos Pemantau Gunung Api Raung di Desa Sumberarum, Kecamatan Songgon, Gunung Raung meletus kali pertama tahun 1586. Letusan pertama tersebut tercatat sebagai letusan hebat. Imbasnya banyak wilayah disekitar kaki gunung rusak, dan korban jiwa berjatuhan.

“Erupsi Gunung Raung tercatat terjadi sejak tahun 1586. Karakter letusan Gunung Raung bersifat eksplosif dengan potensi bahaya utama berupa luncuran awan panas dan lontaran material piroklastik,” ujar Sukir Maryanto dalam buku Seismik Vulkanologi (2016).

Gunung Raung (Sumber: Wikimedia Commons)

Sebelas tahun kemudian, atau pada tahun 1597 Gunung dengan nama lain Gunung Rawon itu meletus lagi. Letusan kedua sama hebatnya dengan letusan pertama. Letusan hebat tersebut kembali memakan banyak korban jiwa. Pun letusan yang sama terjadi juga pada tahun 1638. Letusan itu mengakibatkan banjir lahar dingin. Akan tetapi, wilayah yang terdampak erupsi lebih luas, dibanding letusan pertama maupun kedua. Begitu pula dengan korban jiwanya.

“Sampai saat ini Gunung Raung dan Kawah Ijen masih aktif. Walaupun tidak membahayakan. Caldera yang dulu merupakan “api neraka” yang maha dahsyat akibat letusan kini merupakan perkebunan yang subur. Kesuburan ini warisan unsur-unsur vulkanis yang mengandung banyak mineral yang sangat dibutuhkan tanam-tanaman,” tertulis dalam laporan Majalah Mingguan Djaja (1969).

Letusan Raung pun kembali hadir di antara tahun 1800 hingga 1808. Akan tetapi, tidak sampai menghadirkan korban jiwa. Selang tiga tahun kemudian, atau tepat tahun 1812 hingga 1814 letusan kembali terjadi. Hujan abu lebat dan suara bergemuruh membuat warga sekitar Gunung Raung pergi mengungsi.

Setelah 44 tahun Gunung Raung relatif tenang. Kendati demikian, aktivitas vulkanik kembali meningkat pada 1859, 1864, 1881, 1885, 1890, 1896. Letusan juga terjadi saat memasuki era 1900-an. Yakni pada tahun 1915, 1916, dan 1917. Diikuti aliran lava di dalam kaledra pada tahun 1921 dan 1924.

“Karakter letusan Gunung Raung bersifat eksplosif seperti yang terjadi pada tahun 1586, 1597, 1638, 1890, 1953, dan 1956, menghasilkan abu yang dilontarkan ke udara dan pernah terjadi awan panas yang meluncur menyelimuti sebagian tubuh gunung apinya pada tahun 1953. Bahaya utama letusan Gunung Raung atau bahaya primer adalah bahaya akibat langsung dari letusan seperti luncuran awan panas dan lontaran piroklastik,” hadir di laman ESDM.

Gunung yang memiliki bibir kaldera seluas 1.200 meter persegi ini kembali unjuk gigi. Pada 13-19 Februari 1956 terjadi lagi letusan. Tahun-tahun berikutnya hanya ada peningkatan aktivitas. Namun, tahun 1986, 2012 letusan asap kembali terjadi. Alhasil, penduduk desa-desa di sekitar kaki gunung Raung telah akrab dengan letusan demi letusan, hingga hari ini.