Ketika Socrates Dipaksa Bunuh Diri karena Perbedaan Pandangan
Ilustrasi (Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Pada 15 Februari 399 SM, filsuf terkenal Socrates dijatuhi hukuman mati di Athena, Yunani. Socrates dijatuhi hukuman mati karena dianggap melakukan kejahatan yang sulit dipercaya: menolak mengakui dewa-dewa yang diakui oleh negara, memperkenalkan dewa-dewa baru, dan merusak moral kaum muda.

Pengadilan berlangsung secara terbuka di Athena dan dihadiri oleh tiga penuntut, juri, dan kerumunan besar penonton. Selama tiga jam para penuntut menyatakan tuduhannya dan selama tiga jam juga Socrates melakukan pembelaannya. 

Pada akhirnya, setiap anggota juri diminta untuk menaruh token kecil ke dalam salah satu dari dua guci: satu ditandai 'bersalah' dan lainnya 'tidak bersalah'. Juri, yang beranggotakan 500 orang, mendapati Socrates bersalah dengan suara 280 dan 220 suara menyatakan tidak bersalah.

Setelah vonis bersalah dijatuhkan, para juri diminta untuk memutuskan hukuman seperti apa yang sesuai. Penuntut Socrates mendukung untuk dijatuhkannya hukuman mati. Setelah beberapa pertimbangan, Socrates mengusulkan membayar denda namun dianggap terlalu kecil.

Jika Socrates menyarankan pengasingan dari Athena, hidupnya mungkin akan selamat tetapi pada akhirnya para juri tetap memilih untuk menghukum mati Socrates. Menurut hukum di Athena saat itu, hukuman mati diberikan dengan meminum secangkir hemlock, sebuah tanaman yang racunnya mematikan, sehingga nantinya Socrates melakukan semacam bunuh diri. 

"Kita harus berdoa kepada para dewa agar persinggahan kita di bumi akan terus bahagia hingga melampaui kubur," katanya sebelum meminum ramuan mematikan itu. 

Alasan lainnya yang menuntun Socrates dalam subuah persidangan adalah sedikit tidak jelas dan tidak mungkin ada hubungannya dengan agama. Namun, filosofi dan ajaran Socrates yang dianggap antidemokrasi dipandang sebagai ancaman bagi para penguasa Athena. 

Athena saat itu baru saja muncul dari periode ketidakstabilan besar, di mana organisasi pemberontak yang disebut Thirty Tyrants telah menggulingkan pemerintahan demokratis dan melembagakan pemerintahan teror yang brutal. Organisasi tersebut mengusir dan mengeksekusi ribuan warga yang tidak bersalah dan berusaha untuk memaksakan kekuasaan oligarki.

Pemimpin Thirty Tyrants, Critias, adalah salah satu pengikut Socrates dan oleh sebab itu sangat mungkin menghukum mati Socrates. Kematian Socrates dijelaskan di tulisan Plato berjudul Phaedo. Phaedo adalah salah satu tulisan dialog paling populer dari abad pertengahan. Socrates menolak permintaan Crito untuk melarikan diri dari penjara. 

Kematian

“Setelah minum racun, dia (Socrates) diperintahkan untuk berjalan-jalan sampai kakinya terasa mati rasa. Setelah dia berbaring, seorang pria meletakkan tangannya di atas badan Socrates dan beberapa saat memeriksa kakinya, lalu mencubit kakinya dengan keras dan bertanya apakah dia merasakannya. Socrates berkata 'tidak' lalu setelah itu, mati rasa merambat ke pahanya dan tubuh bagian atas lainnya."

"Wajahnya menunjukkan ke kami bahwa Socrates telah dingin dan kaku. Dan lagi pria tersebut menyentuhnya dan mengatakan bahwa ketika sampai di hatinya, Socrates akan meninggal. Dinginnya kini telah mencapai daerah sekitar selangkangan dan membuka wajahnya yang telah tertutupi. Ini adalah kata-kata terakhir Socrates; Crito, kita berutang ayam ke Asclepius. Tolong, jangan lupa untuk membayar utang," 

Asclepius adalah dewa Yunani untuk menyembuhkan penyakit dan kemungkinan kata-kata terakhir Socrates berarti bahwa kematian adalah obat baginya. Socrates dan para pengikutnya seperti Plato dan Xenophon memperluas tujuan filosofi dari mencoba memahami dunia luar hingga mencoba mengamati nilai-nilai batin seseorang.

Semangatnya untuk definisi dan pertanyaan yang membelah rambut mengilhami pengembangan logika formal dan etika sistematis dari zaman Aristoteles melalui Renaissance dan ke era modern. Selain itu, kehidupan Socrates menjadi contoh dari kesulitan dan pentingnya hidup (dan jika perlu mati) menurut keyakinan seseorang yang telah diteliti dengan baik.

Dalam autobiografinya pada 1791, Benjamin Franklin mereduksi gagasan ini menjadi satu baris, "Kerendahan Hat, 'Tiru Yesus dan Socrates'".