JAKARTA - Benih kebangkitan pergerakan wanita Indonesia telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Saat itu, banyak organisasi perempuan yang terlahir, seperti Aisiyah, Wanita Katolik, Putri Merdeka, Wanita Taman Siswa dan lain-lain.
Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada peristiwa yang berdiri sendiri. Tiap-tiapnya saling berkaitan. Termasuk Kongres Perempuan Indonesia pertama yang masih berkaitan dengan semangat Sumpah Pemuda pada 1928. Dorongan nasionalisme di kalangan perempuan turut menumbuhkan ide penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22-25 Desember 1928 yang di gelar di Yogyakarta.
Diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero, Kongres tersebut diikuti oleh organisasi perempuan dari berbagai daerah di Indonesia, yakni Putri Budi Sejati, Putri Indonesia, Wanita Katholik, Rukun Wanodyo, Wanito Sejati, Dharma Laksmi, Budirini, Marginingkautaman, Kartoworo, Budi Wanito, Jong Java, Jong Islamieten Bond, Wanito Kencono, SIBI, Hoofbesturr, Aisiyah, Sancoyorini, Wanito Utomo, Wasito Mulyo, Taman Siswa, Panti Krido Wanito, Nahdatul Fata’at, Kusumorini dan Utusan Istri Sumatra.
Merujuk ke reportase Kongres Perempuan Pertama yang dibuat oleh Koran Isteri, terbitan Mei 1929, disebutkan ada seribu perempuan yang hadir di pembukaan Kongres Perempuan Indonesia pertama. Sedangkan laporan Rangkayo Khairul Syamsu Datuk Tumenggung alias Nj Toemenggoeng, sebagaimana dikutip oleh Susan Blackburn dalam bukunya Kongres Perempuan Pertama: Sebuah Tinjauan, jumlah perempuan yang hadir di pertemuan itu sekitar 600 orang.
Adapun penggerak Kongres Perempuan Indonesia ini dimotori oleh tiga orang wanita yakni Ny. Soekonto aktivis dari Wanito Utomo, Nyi Hadjar Dewantara aktvis Taman Siswa sekaligus istri dari Ki Hadjar Dewantara, dan Nona Soejatin yang tergabung dalam organisasi Putri Indonesia. Ketiga wanita ini membangkitkan semangat para wanita untuk merealisasikan ide dan harapan untuk membahas hal-hal penting yang dapat dilakukan wanita dalam pergerakan nasional.
Sebagai hasilnya, terbentuklah komite kepanitiaan kongres yang disebut sebagai Hoofdcomite. Terdiri dari 15 orang wanita dari berbagai organisasi, yaitu R.A. Soekonto (Wanito Oetomo), St. Moendjijah (Aisiyah), St. Soekaptinah (J.I.B), Nona Soenarjati (Poeteri Indonesia), R.A. Hardjodiningrat (Wanito Katholiek), Nona Moersandi (Wanito Katholiek), Nyi Hadjar Dewantara (Taman Siswa), Nona Moeridan (Partij Sarikat Islam Wonodijo), Nyonya Drijowongso (Partij Sarikat Islam Wonodijo), Oemi Salamah (Wanito Moeljo), Djohanah (WanitovMoeljo), Nona Badiah (Jong Java), St. Hajinah (Aisiyah), Ismoediati (Wanito Oetomo).
Pelaksanaan kongres yang dihadiri berbagai latar belakang, organisasi, pendidikan bahkan umur, dijalankan dengan kesungguhan untuk membentuk sebuah organisasi wanita yang lebih besar agar dapat menyatukan bermacam organisasi perempuan di wilayah Hindia Belanda menjadi satu persyarikatan.
Hal ini dapat dilihat dari catatan Nyonya Soekonto dari organisasi Wanita Oetomo yang bertuliskan:
Kerja sama yang harmonis antara para wakil organisasi yang lebih tua dan lebih muda sangat luar biasa menarik perhatian, terutama karena ada perbedaan yang sangat besar dalam tingkat pendidikan mereka. Para wanita yang lebih muda merupakan guru taman kanak-kanak, para siswa A.M.S. dan lain-lain, sementara para wanita yang jauh lebih tua sama sekali tidak berpendidikan. Namun mereka saling menghargai satu sama lain. Pada pemilihan ketua kongres saya menduga bahwa salah satu guru taman kanak-kanak tersebut akan terpilih menjadi ketua, karena para wanita muda itu merupakan kandidat yang kuat. Akan tetapi, suara terbanyak memilih Nyonya Soekonto.
Hasil dari Kongres Perempuan Indonesia pertama ini berhasil membentuk sebuah organisasi wanita yang lebih solid, dengan nama Persyarikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Penggunaan kata perempuan untuk nama organisasi ini didasari atas tumbuhnya kesadaran dan penghargaan yang lebih tinggi, karena kata Perempuan dinilai lebih pantas digunakan dibanding wanita. Kata perempuan berasal dari kata Empu, yang mengandung arti mulia. Empuan dalam budaya kesusastraan Melayu Klasik digunakan untuk menyebut istri raja.
Kongres Perempuan Indonesia pertama juga menghasilkan tiga mosi yang seluruhnya bertujuan untuk kemajuan kaum perempuan saat itu. Pertama, menuntut penambahan sekolah untuk anak perempuan. Kedua, perbaikan aturan dalam hal pernikahan. Ketiga, perbaikan aturan untuk janda dan anak yatim. Keempat, mencegah perkawinan anak.
Kongres tersebut diakui sebagi tonggak sejarah kebangkitan pergerakan perempuan Indonesia. Sehingga pada Kongres Perempuan Indonesia III yang dilaksanakan di Bandung tahun 1938 menyatakan pada tiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Peringatan tersebut dilanjutkan oleh Presiden Soekarno yang menetapkan tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.