Bagikan:

JAKARTA - Christian Sugiono kembali bermain dalam film horor terbaru rumah produksi Hitmakers Studio berjudul Santet Segoro Pitu. Dalam sebuah kesempatan, Christian Sugiono menceritakan soal tantangan menggunakan bahasa jawa di dalam film yang berlatar tahun 80-an ini.

“Kalau mendalami karakter Pak Sucipto mungkin untuk tahun 80-an ini nggak terlalu sulit gitu ya. Karena itu mungkin lebih ke arah visual, wardrobe, set dan lain sebagainya. Dan juga ada pemilihan kata-kata dialog yang kita jarang ucapkan atau bahkan nggak pernah diucapkan di tahun 80-an. Nah mungkin seperti itu,” cerita Christian Sugiono kepada VOI.

“Tapi challenge yang lebihnya adalah ketika menggunakan bahasa Jawa. Karena memang ceritanya ini Pak Sucipto dan keluarganya dan juga dengan lawan-lawan main yang lain tuh banyak menggunakan dialog dalam bahasa Jawa. Nah itulah yang kita belajar ketika lagi reading,” sambungnya.

Christian Sugiono (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Meski begitu, Christian merasa bermain dalam film Santet Segoro Pitu ini memberikan ia sebuah perspektif baru terkait dunia mistis khususnya soal Santet yang hingga ia mengaku di antara percaya dan tidak.

“Saya? Percaya nggak percaya. Percaya ya karena ini ada filmnya. Dalam artinya ini kan diangkat dari budaya tadi gitu ya. Nggak percaya nya karena how people can do such thing gitu. Bahwa itu kan sadis banget ya. Terlalu sadis dan juga apa ya sesuatu yang kalau menurut Sara bilang pelakunya itu sudah kena jadi budak iblis gitu,” kata Christian Sugiono kepada VOI.

Beradu akting bersama Sara Wijayanto yang dikenal sebagai orang dengan kemampuan indigo membuat Christian seringkali mendengarkan terkait santet ini. Namun sebagai aktor, Christian tetap mengacu pada cerita yang diinginkan sutradara dan penulis ceritanya.

“Kalau sama Sarah sih ya dia cerita banyaklah mengenai pengalaman-pengalaman dia gitu. Mungkin sebaiknya dia yang ceritakan sendiri gitu ya,” ujarnya.

Christian Sugiono (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

“Tapi kalau mengenai santet ini ya kita lebih banyak diskusi sesama pemain dan sutradara dan acting coach mengenai ya santet ini apa dan Bang Betz juga penulis ceritanya sempat datang ke lokasi syuting satu hari waktu itu di Klaten dan ya ketemu ngobrol casual aja ngobrol santai tapi sebenarnya nggak terlalu banget mendalami ya santet gimana sih, gimana sih, nggak sih,” lanjut Christian.

Christian memastikan bahwa tujuan dari film ini bukan untuk mengajarkan soal santet namun lebih kepada dampak buruk apa yang akan timbul apabila seseorang menggunakan santet hanya karena perasaan iri dan dengki.

“Jadi film ini nggak mengajarkan untuk santet tapi justru film ini menggambarkan bahwa ada yang namanya santet. Dan efeknya tuh seperti ini. Dan juga bagaimana sih orang melakukannya gitu ya. Dan juga hasil apa yang didapatkan ketika orang melakukan santet tersebut. Dimana hasilnya ya nobody wins. Ibaratnya seperti itu,” jelas Christian.

“Yang kayak kita tahu butuh apa sih? Istilahnya butuh ada korban tumbal, butuh apa? Jadi ya mungkin karena dia iri hati dan dengki yang dibakar oleh rasa angkara murka dari iblis itu melakukan santet mungkin dia puas sesaat tapi ketika itu kan harus ada something yang dibayar. Nah di film ini tuh bisa dilihat bahwa ya hal ini sebenarnya nggak baik,” tandasnya.

Nyaman Berakting di Film Horor

Christian Sugiono (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)Caption

Film Santet Segoro Pitu bukan jadi film horor pertama Christian Sugiono. Ia mengaku kalau sebenarnya beberapa kali mendapatkan tawaran untuk bermain dalam genre drama, sayangnya harus ditolak karena adanya unsur dewasa yang baginya tidak cocok untuk ia mainkan.

“Ada, dapat. Cuman kebanyakan kan zaman sekarang kalau misalnya series gitu terutama ya, banyak banget tawaran series. Tapi dewasa banget. Kita tahulah, series-series yang sekarang sedang tayang kan produksi biasanya begitu ya yang agak panas, agak apa, dan kayaknya gue gak cocok lah. Di situ, secara image. Karena kan gue juga ada beberapa kontras sama brand iklan dan lain sebagainya yang nggak bisa dengan kerjanya-kerjanya seperti itu,” tuturnya.

Namun bukan hanya itu, Christian merasa nyaman untuk kembali bermain dalam film horor karena produksinya yang dibuat dengan niat dan cerita yang kuat, padahal ia mengaku sudah tidak ingin terlalu aktif dalam bermain film.

Christian Sugiono (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

“Karena pengalaman dari film-film hitmaker sebelumnya bikin production-nya itu niat. Dalam artian kita sebagai pemain dihargai. Shooting juga semua, kru juga dihargai, semua dihargai. Jadi kita shooting tuh nyaman. Kita shooting nyaman karena itu paling penting ya. Apalagi kita mau shooting film horror, dimana nggak segampang drama, banyak menguras energi, banyak harus menguras waktu untuk bikin satu adegan yang mungkin di bioskop cuma beberapa second doang itu bisa seharian. Dan set-nya susah,” kenangnya.

Pengalaman inilah yang membuatnya selalu mengutamakan film horor dibanding film drama. Apalagi suami Titi Kamal ini lebih cenderung mengerjakan bisnis daripada main film. Dia hanya memasang target satu judul per tahun.

Christian Sugiono (Foto: Bambang E Ros, DI: Raga/VOI)

Bukan karena kontrak eksklusif dengan Hitmakers, Tian mengaku nyaman karena rumah produksi tersebut sudah tahu apa yang dia mau.

“Hitmakers tuh bisa memenuhi semua kebutuhan di tadi. Jadi aku percaya kalau misalnya ada yang nawarin horror kalau ada dari production house lain mungkin aku akan mikir sekali dua kali,” beber Christian Sugiono.

Meski begitu, Christian sekaligus menyampaikan rasa bangganya karena bisa terlibat dalam kesuksesan film horor Indonesia yang seringkali mengangkat soal budaya mistis lokal sehingga ia bisa merasakan kalau orang yang menonton filmnya terdapat kedekatan dengan cerita yang diangkat.

“Jadi itu sudah menjadi part budaya yang kita coba ceritakan kembali. Kita kemas dalam bentuk entertainment. Mungkin nanti ada yang bentuknya film drama. Kalau ini kebetulan bentuknya film horor. Dan ya ini sebagai istilahnya sebagai produk hiburan. Produk hiburan dimana emang ada budaya-budaya di dalamnya yang kebetulan kalau yang ini penonton sudah tahu,” katanya.

“Jadi akan lebih mudah buat penonton untuk relate ke dalam, masuk ke dalam ceritanya. Mungkin kalau ada film lain yang menggabungkan budaya-budaya di Indonesia sesuatu yang penonton belum tahu tapi karena nonton film itu jadi tahu ya itu punya misi yang beda lagi gitu ya. Kalau ini ya budaya yang ada kita kemas dalam bentuk hiburan,” tutupnya.