JAKARTA - Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Neurology mengungkap adanya hubungan antara gangguan tidur pada lansia dan peningkatan risiko demensia.
Berdasarkan sebuah studi, lansia yang mengalami rasa kantuk berlebih di siang hari dan kurang bersemangat dalam melakukan aktivitas sehari-hari memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan sindrom risiko kognitif motorik (MCR), yaitu kondisi yang berpotensi berkembang menjadi demensia.
Individu yang mengalami MCR cenderung berjalan lebih lambat dan memiliki keluhan terkait fungsi kognitif. Meski demikian, dokter belum mendiagnosis kondisi ini sebagai demensia atau gangguan berjalan.
Untuk mempelajari hubungan antara gangguan tidur dan kondisi yang berpotensi memicu demensia, para peneliti melibatkan 445 peserta dengan rata-rata usia 76 tahun yang tidak mengalami demensia saat awal penelitian.
Para peneliti memberikan kuesioner guna menilai kebiasaan tidur para partisipan, seperti kesulitan tertidur dalam 30 menit, sering terbangun di tengah malam, atau perlu mengonsumsi obat tidur.
Untuk mengukur kantuk berlebih di siang hari, partisipan juga ditanyai tentang frekuensi kesulitan mereka dalam tetap terjaga ketika mengemudi, makan, atau melakukan kegiatan sosial.
Selain itu, peneliti mengevaluasi tingkat antusiasme dan masalah ingatan pada partisipan, termasuk seberapa sulit mereka mempertahankan minat dalam menyelesaikan tugas-tugas sehari-hari.
Kecepatan berjalan para peserta juga diukur menggunakan treadmill pada awal studi dan setiap tahun selama rata-rata tiga tahun.
Dari analisis yang dilakukan, para peneliti menemukan bahwa 35,5 persen partisipan yang mengalami kantuk berat di siang hari serta kurang bersemangat mengalami sindrom MCR, dibandingkan dengan 6,7% yang tidak memiliki kondisi tersebut.
Setelah mengontrol faktor-faktor risiko seperti usia dan depresi, hasil menunjukkan bahwa individu dengan kantuk berlebih di siang hari dan kurang antusias tiga kali lebih mungkin mengalami sindrom MCR dibandingkan mereka yang tidak memiliki masalah tidur serupa.
BACA JUGA:
"Penemuan ini menunjukkan pentingnya skrining terhadap masalah tidur pada lansia," ujar Victoire Leroy, MD, PhD, dari Albert Einstein College of Medicine di New York, yang merupakan penulis utama studi ini, seperti dikutip Antara.
"Banyak orang mungkin bisa mendapatkan bantuan untuk memperbaiki kualitas tidur mereka, yang pada akhirnya dapat mencegah penurunan kognitif di masa mendatang," kata Leroy dalam pernyataannya.
Para peneliti menekankan temuan ini tidak membuktikan bahwa gangguan tidur secara langsung menyebabkan sindrom MCR, tetapi hanya menunjukkan adanya hubungan antara keduanya.
Leroy menambahkan, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami mekanisme yang menghubungkan masalah tidur dengan sindrom risiko kognitif motorik dan penurunan kognitif.