Bagikan:

JAKARTA – Menyadari pentingnya kemampuan pertolongan pertama pada masalah kesehatan mental, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) kembali mengadakan Pelatihan Psychological First Aid (PFA) Batch II. Kegiatan pelatihan diadakan secara daring selama tiga hari yakni 27 April, 4 Mei dan 11 Mei 2024 yang merupakan kerja sama KGSB dengan Konsultan Psikologi Pelangi dan alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dalam rangka Dies Natalis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ke-64. Pelatihan Psychological First Aid (PFA) diadakan sebagai respon atas fenomena meningkatnya masalah kesehatan mental di kalangan siswa.

Berdasarkan survey yang dilakukan Indonesia - National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022 lalu, 1 dari 3 remaja Indonesia usia 10–17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Angka tersebut setara dengan 15,5 juta remaja. Gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja adalah gangguan cemas, fobia sosial, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stress paska trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian (ADHD). Hal ini cukup mengkhawatirkan mengingat hampir 20% dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia 10–19 tahun.

Masalah kesehatan mental pada siswa ini dapat menyebabkan gangguan emosi, sulit berkonsentrasi, stress, hingga depresi. Itulah sebabnya peran guru dan sekolah sangat diperlukan, terutama dalam memberikan PFA atau yang juga bisa disebut dukungan psikologis awal (DPA) pada masalah kesehatan mental siswa.

Pelatihan yang bertujuan untuk membekali para tenaga pendidik dengan kemampuan pertolongan pertama pada masalah kesehatan mental anak tersebut diadakan dalam 3 sesi. Sesi pembekalan, 27 April, selanjutnya sesi roleplay, 4 Mei, dan praktik mandiri serta sesi evaluasi, 11 Mei.

Pelatihan PFA Batch II diikuti 80 guru anggota KGSB yang telah lolos proses seleksi dan merupakan tenaga pendidik dari berbagai tingkat pendidikan, mulai dari PAUD hingga SMA/SMK serta Sekolah Luar Biasa (SLB). Domisili mereka tersebar dari berbagai wilayah Indonesia, ditambah beberapa peserta dari negara tetangga yakni Timor Leste.

Sebagai narasumber, dihadirkan Reneta Kristiani, M.Psi - Founder Konsultan Psikologi Pelangi & Dosen Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya, serta Lita Patricia Lunanta, M.Psi, Psikolog dari Konsultan Psikologi Pelangi & Dosen Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul. Selain itu, pelatihan saat sesi roleplay didukung kehadiran 15 fasilitator psikolog dari alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Founder KGSB Ruth Andriani memaparkan, kegiatan Pelatihan PFA Batch II merupakan kelanjutan kegiatan serupa yang pernah diadakan KGSB pada 2022 lalu. Tak cukup sekadar prihatin atas fenomena meningkatnya masalah gangguan mental di kalangan siswa Indonesia, KGSB ingin berperan serta membantu para tenaga pendidik agar memiliki kemampuan untuk memberikan pertolongan awal yang tepat bagi siswa penderitanya.

“Kami memang ingin menjaring peserta sebanyak mungkin dan dari latar belakang yang lebih beragam untuk diberikan pembekalan dan pelatihan PFA. Kami berharap, semua orang, tak harus tenaga psikolog profesional, seharusnya memiliki perhatian terhadap potensi gangguan mental pada anak, serta bisa melakukan tindakan PFA untuk menyelamatkan kesehatan mental mereka seawal mungkin.

Lita Patricia Lunanta, M.Psi, Psikolog dari Konsultan Psikologi Pelangi & Dosen Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul menambahkan bahwa tujuan dari PFA adalah untuk mengembalikan rasa aman, menetapkan hubungan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak, serta mengembalikan perasaan diri mampu untuk mengatasi keadaan dan menolong diri.

“PFA dapat dilakukan di mana saja. Idealnya segera dilakukan saat kontak pertama dengan klien atau biasanya segera setelah musibah. Tapi kalau baru ketahuan, bisa juga beberapa hari atau minggu bahkan beberapa bulan kemudian,” jelas Lita.

Prinsip Look, Listen dan Link sebagai Tindakan Awal

Pada sesi roleplay, peserta dibagi dalam kelas-kelas kecil dengan pendampingan para fasilitator dari Alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dalam sesi ini, masing-masing peserta bergantian peran sebagai guru dan siswa. Mereka diminta mempraktikkan contoh komunikasi buruk (bad communication) serta komunikasi baik (good communication) saat konseling terkait problem mental health yang dialami siswa.

Melalui permainan tersebut, peserta bisa mendapatkan perspektif baru dari sudut pandang siswa. Selain itu, mereka juga bisa langsung mempratikkan ilmu PFA yang telah dijabarkan oleh narasumber yaitu ‘Look, Listen dan Link’.

Reneta Kristiani, M.Psi, Psikolog,  Founder Konsultan Psikologi Pelangi & Dosen Fakultas Psikologi UNIKA Atma Jaya memaparkan, prinsip utama dari tindakan PFA adalah Look, Listen, dan Link (lihat, dengarkan, dan tautkan).

Pada tahap Look, penting bagi guru untuk terlebih dahulu menilai keadaan dari peristiwa yang sedang terjadi serta tentang (profil) siswa yang membutuhkan bantuan. Juga harus bisa dinilai risiko (keselamatan dan keamanan siswa bersangkutan) misalnya apakah ada cedera fisik, bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan mendasar dari siswa tersebut, serta bagaimana reaksi emosional mereka. 

Pada tahapan Listen, asesmen yang diberikan antara lain dengan mendengarkan, mengerti, mengeksplorasi, mendorong, dan mencari solusi.  Guru harus serius memperhatikan dan mendengarkan siswa tersebut secara aktif, mampu memahami perasaannya, bisa menenangkannya terkait situasi krisis yang tengah mereka derita, menanyakan apa kebutuhan dan kekhawatiran mereka, serta mampu membantu menyelesaikan kebutuhannya yang mendesak dan memecahkan permasalahannya.

Tahapan terakhir yakni Link adalah menghubungkan siswa dengan orang atau pihak lain sesuai dengan kebutuhannya. Bila siswa membutuhkan penanganan medis dapat dirujuk ke dokter. Bila siswa membutuhkan konseling lebih lanjut bisa dirujuk ke konselor atau psikolog. Bila sudah ada gangguan psikologis yang membutuhkan pengobatan lebih lanjut bisa dirujuk ke psikiater.

“Satu hal yang harus dihindari saat memberikan konseling adalah memberi asumsi dan label tertentu pada siswa. Selain itu, jangan sekali-kali kita meremehkan siswa dan bagaimana reaksinya,” tegas Reneta dalam keterangan media yang diterima VOI, Sabtu, 11 Mei.

Setelah sesi roleplay, peserta juga diberikan tugas Praktik Mandiri. Peserta diberi kesempatan untuk melakukan praktik PFA kepada lingkungan sekitarnya, bisa kepada siswa, keluarga, atau kerabat. Setelah itu peserta membuat laporan dari praktik PFA yang telah dilakukan dan mempresentasikannya pada sesi evaluasi di akhir pertemuan.

Ketua Dies Natalis Psikologi Universitas Indonesia ke-64, Ringking Marina Korah, M.Si., mengungkapkan, para alumni Fakultas Psikologi sangat antusias bisa ikut berperan sebagai fasilitator pada sesi roleplay pelatihan PFA Batch II.

“Kami senang bisa berkontribusi. Kami harap pembekalan ilmu PFA dapat membantu para tenaga pendidik untuk mendeteksi gangguan psikologis awal pada siswa,” pungkasnya.