JAKARTA - Pada puncak acara Hari Keluarga Nasional (Harganas) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyoroti bahwa remaja di Indonesia yang mengalami gangguan mental emosional (mental emotional disorder) terus meningkat setiap tahunnya dan menjadi ancaman serius dalam pembangunan bangsa berkualitas.
“Remaja-remaja kita tidak hanya di Daerah Istimewa Yogyakarta, tapi di seluruh Indonesia sekitar 9,8 persen yang mengalami mental emosional disorder,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Puncak Acara Harganas Ke-29 Tahun 2022 Tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta dikutip dari ANTARA, Rabu, 29 Juni.
Hasto menekankan tiga ancaman utama yang dapat mempengaruhi terbentuknya generasi bangsa berkualitas adalah kekerdilan pada anak (stunting), gangguan mental emosional serta disabilitas dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (Napza).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018, sebanyak 9,8 persen anak remaja di Indonesia telah terkena gangguan mental emosional. Angka tersebut terus mengalami peningkatan yang signifikan, padahal sebelumnya jumlah itu hanya mencapai 6,1 persen pada tahun 2013.
Sedangkan berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia 2019, satu dari delapan orang atau 970 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental emosional.
Peningkatan gangguan mental tersebut akan mempengaruhi perilaku remaja dan perlu mendapatkan perhatian serius dari seluruh pihak. Sebab, dapat terbentuk perilaku yang buruk dan brutal pada remaja seperti mudah terpancing ataupun bertindak kriminal.
Hasto melanjutkan selain gangguan mental pada remaja, hal lain yang perlu disoroti adalah kejadian perceraian yang juga ikut meningkat tajam setiap tahunnya.
Berdasarkan data statistik tahun 2015, angka perceraian terdapat sekitar 350 ribu pasangan keluarga yang bercerai. Namun pada tahun 2021, perceraian di Indonesia meningkat menjadi sebanyak 580 ribu.
BACA JUGA:
“Sehingga ada 580 ribu (keluarga) broken home. Mungkin juga ada anak-anak dari keluarga yang akhirnya kurang mendapatkan perhatian karena orang tuanya harus berpisah,” kata Hasto.
Dengan demikian, ia menekankan negara perlu membantu setiap individu dalam masyarakat untuk membangun keluarga yang berkualitas guna mewujudkan terciptanya generasi muda yang unggul dan maju.
Dalam Hari Keluarga Nasional ke-29 bertema "Ayo cegah stunting agar keluarga bebas stunting" itu, Hasto menyebutkan bahwa Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang dapat membuktikan pentingnya mencegah anak terkena gangguan mental emosional melalui rendahnya angka prevalensi stunting yang dimiliki.
DI Yogyakarta, kata Hasto, dapat menjadi contoh bagi daerah lainnya karena menerapkan gotong royong yang sangat baik untuk mengatasi stunting, sehingga masuk ke dalam tiga provinsi dengan angka prevalensi terendah bersama Bali dan DKI Jakarta.
“Yogyakarta juga menjadi daerah dengan pencapaian tertinggi untuk partisipasi dalam Pelayanan KB Serentak Sejuta Akseptor. Capaian akseptor di Yogyakarta melebihi target, lebih dari 200 persen,” kata dia.