JAKARTA - Libur natal dan tahun baru segera tiba. Pemerintah menyambutnya dengan meresmikan tol layang Jakarta-Cikampek alias Japek II. Selasa, 17 Desember lalu kami menjajal jalur yang jadi harapan pengurai macet di sepanjang tol yang jadi akses utama menuju berbagai kota di sepanjang Pulau Jawa itu.
Kami memulai perjalanan dari wilayah Gondangdia, Jakarta Pusat sekitar pukul 14.00 WIB. Hujan baru saja turun saat itu. Hujan yang semakin meyakinkan kami bahwa keputusan menjajal Tol Japek II saat itu amat tepat.
Dari beberapa ulasan yang kami lihat kala itu, tak ada satu pun yang membahas bagaimana kondisi jalan tol layang di kala hujan. Bagi kami, para pengguna tol layang Japek II wajib tahu, mengingat musim libur akhir tahun bertepatan dengan musim penghujan.
Kami sampai titik kilometer 9 tol Japek I --jalur Japek eksisting-- arah Cikampek sekitar pukul 15.10 WIB. Beberapa bagian jalur tol mulai digenangi air. Genangan yang pastinya akan meluas seiring hujan yang terus turun. Mobil patroli Jasamarga terlihat di jalur masuk tol layang. Sayang, kami tak menemukan mobil patroli lain di sepanjang tol layang.
Kami menaiki lajur tol layang dengan kecepatan tak lebih dari 20 kilometer per jam, mengikuti iringan mobil lain yang mengantre memasuki lajur yang sama. Di kilometer 11 menjelang 12, kami mulai meningkatkan kecepatan, perlahan merangkak ke angka 80 kilometer per jam.
Tetap di angka 80
Perasaan kami berubah ketika tarikan gas konstan berada di kecepatan 80 kilometer per jam, sesuai imbauan yang diberikan otoritas pada setiap pengguna tol layang. Pada kecepatan itu, mobil mulai mengalami goyangan. Tak parah, namun kami yang berada di dalam mobil sepakat soal sensasi goyangan itu.
Di ketinggian 15 meter dari tanah, terpaan angin amat terasa mengganggu laju mobil. Tak hanya goyangan, kami juga merasakan mobil Toyota Avanza Veloz yang kami tumpangi sedikit 'melayang'. Bobot enam orang yang berada di dalam mobil tak mengurangi dampak terpaan angin.
Sensasi melayang itu diperparah dengan efek pantulan alias bouncing setiap kali ban kami melewati sambungan jalan. Seisi mobil berguncang tiap kali melewati pembatas jalan. Di kepala kami, jika divisualisasikan, barangkali kami melaju seperti batu yang dilempar secara horizontal di atas permukaan air.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, tol layang sejatinya sudah cukup memenuhi standar konstruksi. Namun, jelas belum sempurna. Karenanya, ketika sudah dioperasikan berbayar, pengelola wajib menyempurnakan berbagai hal dalam konstruksi, termasuk sambungan jalan.
Menurut Djoko, proses penyempurnaan konstruksi dapat memakan waktu hingga dua bulan. “Penyempurnaan harus dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan,” kata Djoko, dikutip dari Republika, Kamis, 19 Desember.
Selain sambungan jalan bermasalah, kami juga menemukan kerusakan jalan di sejumlah titik. Sepanjang kilometer 12 hingga 15 saja, setidaknya kami menemukan lima kerusakan berupa pecahan aspal yang membahayakan laju mobil kami.
Kami mencoba menaikkan kecepatan mobil hingga 100 kilometer per jam. Hasilnya, semakin parah. Sensasi melayang kian terasa. Guncangan dan pantulan pun bertambah parah. Kami pun menurunkan kembali kecepatan kami ke angka 80 kilometer per jam.
Dalam kondisi hujan, persoalan di atas tol layang semakin kompleks. Genangan air menutupi bagian-bagian jalan yang bergelombang. Kondisi jalan juga terasa licin. Selain itu, jarak pandang juga perlu jadi perhatian para pengemudi. Bukan cuma karena hujan. Namun, bentuk tol layang yang bergelombang membuat begitu banyak blind spot.
Beberapa kali kami mengalami kehilangan pandangan pada mobil-mobil di depan kami ketika melewati tanjakan atau turunan. Kondisi ini sejatinya bukan hal aneh. Pengalaman ini tentu pernah kita alami kala melintas di jalur-jalur tol lain. Tol Cipularang, misalnya.
Namun, di ketinggian, dampak ngeri blind spot tol layang terasa lebih menakutkan. Ya, meski di sisi lain, ketakutan juga meningkatkan kewaspadaan. Yang jelas, blind spot tol layang wajib jadi perhatian para pengemudi.
Usai menghabisi 36,4 kilometer tol layang, kami kembali mengecek ketersediaan bensin mobil kami. Untuk mobil berkapasitas 1.300 cc, kami tak mengalami perkara dengan tak tersedianya pom bensin di sepanjang tol layang.
Indikator bensin kami tak memperlihatkan penurunan barang sedikit. Kami juga tak mengalami masalah dengan ketidaktersediaan tempat beristirahat atau rest area. Kondisi jalan yang lancar tak membuat kami mengalami kelelahan berarti.
Terhitung, setidaknya kami hanya membutuhkan waktu 40 menit untuk sampai di titik kilometer 48, titik akhir tol layang. Kondisi berbeda barangkali akan terjadi jika jalanan macet. Kelelahan atau dorongan untuk buang air barangkali jadi perkara.
Dengan berbagai pengalaman yang kami alami, rasanya kami dapat memahami kenapa otoritas menetapkan angka 80 kilometer per jam sebagai batas kecepatan tertinggi melintas di tol layang Japek II.