Biaya logistik di Indonesia saat ini yang tertinggi di dunia. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Akbar Djohan. Menurutnya, persoalan ini harus menjadi perhatian semua pihak karena logistik adalah penggerak ekonomi. Untuk membenahi masalah logistik, ALFI mengusulkan adanya pembentukan BLN (Badan Logistik Nasional).
***
Menurut laman resmi Kementerian Perhubungan, jika dibandingkan dengan negara lain, biaya logistik di Indonesia memang tertinggi. Di Amerika dan Jepang, biaya logistik mencapai 10%, Malaysia 15%, sedangkan di China lebih rendah lagi, yaitu 8%. Indonesia memiliki biaya logistik sebesar 23%.
“Biaya logistik kita tertinggi di dunia. Bank Dunia menyebutkan biaya logistik kita 23%, sedangkan Bappenas menyebut 14%. Rata-rata negara maju memiliki biaya logistik di bawah 10%, China 8%. Biaya logistik yang terjangkau ini dapat menarik investor, sedangkan biaya yang tinggi justru akan membuat investor menjauh karena tidak kompetitif,” ujar Akbar.
Tingginya biaya logistik di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tumpang tindih aturan antara kementerian dan badan terkait. Selain itu, infrastruktur yang belum memadai serta kegiatan bongkar muat di pelabuhan yang masih kurang maksimal juga menjadi penyebab. Pemerintah terus berupaya menurunkan biaya logistik dengan memperbaiki aturan dan meningkatkan infrastruktur.
Menurut Akbar Djohan, idealnya biaya logistik itu terjangkau (affordable) agar dapat meningkatkan daya saing dengan negara lain. “Saat ini, logistik kita berjalan secara autopilot, bergerak sendiri. Kewenangan logistik ini terkait dengan 16 kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Perhubungan (transportasi), Kementerian Keuangan (ekspor-impor), Direktorat Jenderal Pajak (perpajakan), Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, dan lainnya. Kita tidak memiliki induk, semuanya berjalan masing-masing. Inilah mengapa kita perlu dirigen (BLN) yang akan mengorkestrasi persoalan logistik ini,” ujarnya kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Irfan Meidianto dari VOI yang menemuinya di Gedung Krakatau Steel, di bilangan Gatot Subroto, Jakarta, belum lama berselang.
Usulan perlunya BLN kembali mencuat, mengapa lembaga ini diperlukan?
Terima kasih dan apresiasi yang tinggi sudah menangkap pesan yang kami kirim ke publik tentang inisiasi kami dari ALFI untuk membentuk satu badan, yaitu BLN. Tujuan akhirnya adalah memberikan kewenangan kepada satu dirigen dalam mengatur harmonisasi regulasi yang ada di kementerian dan lembaga. Harapannya, jika sudah ada dirigen, akan tercipta harmonisasi dan tidak ada tumpang tindih regulasi. Dengan begitu, kita bisa menciptakan efisiensi logistik sehingga biaya logistik itu terjangkau (affordable), bukan sekadar murah, apalagi murahan. Jika sudah demikian, sektor logistik kita akan memiliki daya saing yang tinggi sehingga potensi kenaikan HPP dari produk dan jasa di Indonesia dapat bersaing setara dengan negara-negara di Asia Tenggara bahkan Asia Pasifik.
Logistik ini menjadi urat nadi. Saat situasi geopolitik belum stabil, seperti perang di Ukraina dan Rusia serta konflik di Timur Tengah, dampaknya sangat besar terhadap sektor logistik. Tak ada yang tahu kapan perang akan usai, dan ini menimbulkan ketidakpastian terhadap rantai pasok global, yang juga akan berpengaruh pada rantai pasok nasional kita.
Kapan ide membentuk BLN ini pertama kali dikemukakan?
Ini adalah tindak lanjut dari peta jalan sistem logistik nasional (Sislognas) yang pada tahun 2012 sudah dimuat dalam Peraturan Presiden. Jadi sebenarnya kita sudah memiliki cetak biru tata kelola rantai pasok nasional. Ada enam kunci yang bisa memberikan kepastian dalam biaya logistik kita: komoditi utama, teknologi, infrastruktur, pelaku dan penyedia jasa logistik, SDM, serta regulasi yang harmonis. Pasalnya, bisnis logistik ini sangat rentan terhadap kebijakan. Saat kebijakan tidak pro terhadap dunia bisnis, dampaknya adalah biaya tinggi. Pada tahun 2012 itu, pemerintah sudah sadar; saat itu ada percepatan perekonomian, dan logistik menjadi penggeraknya.
Harapan kami, cetak biru yang sudah ada itu diteruskan meskipun perlu ada penyesuaian di sana-sini, sesuai dengan dinamika nasional dan global. Sehingga kita tak perlu mulai dari nol, karena itu hanya akan membuang waktu. Penyusunan Sislognas itu sendiri memakan waktu 6-8 tahun.
Jika lembaga ini terealisasi, apakah bisa menyelesaikan beragam persoalan logistik yang ada?
Ya, kita hanya butuh satu lembaga. Ketika lembaga itu sudah ada, kita tinggal menguatkan fungsinya. Logistik ini sering kali menjadi “kambing hitam” saat inflasi tinggi, kelangkaan sembako, kelangkaan BBM, dan pada hari besar seperti Lebaran, Natal, serta Tahun Baru. Selama ini pembangunan jalan tol memang masif, tetapi saat libur panjang, jalan tol sering kali ditutup untuk angkutan barang. Ini jelas berdampak bagi pengusaha logistik.
Yang perlu dicatat, kehadiran BLN ini tidak diharapkan membutuhkan alokasi APBN. Kami ingin ada kesetaraan, karena logistik nasional adalah urat nadi dan perannya sangat strategis. Target Presiden Prabowo untuk mencapai pertumbuhan 8% akan menjadi pekerjaan rumah besar jika persoalan logistik tidak dibereskan, terutama jika dihubungkan dengan cita-cita Indonesia Emas 2045.
Sebelum ada BLN, bagaimana jalannya bisnis logistik di Indonesia?
Masih banyak masyarakat yang belum paham soal logistik; mereka mengira sudah ada Bulog (Badan Urusan Logistik). Mau apa lagi? Padahal, Bulog fokus pada PSO (public service obligation) untuk memastikan kelancaran suplai sembako. Jadi, kebutuhan pokok rakyat tersedia dengan baik, cukup, dan tepat waktu.
Saat ini, logistik kita berjalan secara autopilot, masing-masing berjalan sendiri. Urusan logistik ini terkait dengan 16 kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Perhubungan (transportasi), Kementerian Keuangan (ekspor-impor), Direktorat Jenderal Pajak (perpajakan), Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kesehatan, dan lainnya. Kita tidak memiliki induk; semuanya berjalan masing-masing. Inilah mengapa kita perlu dirigen (BLN) yang akan mengorkestrasi persoalan logistik ini.
Apa lagi persoalan logistik nasional kita?
Yang paling mendasar adalah efisiensi yang akan berdampak pada produktivitas. Diprediksi ke depan akan ada tiga negara maju: China, India, dan Indonesia. Geopolitik sudah berubah dari bipolar menjadi multipolar. Saat ini, sektor industri di China sudah sangat matang, sehingga mereka akan mendorong ekspor dari negaranya ke negara lain.
Negara kita terlalu mudah memberikan izin masuk produk impor. Padahal, seharusnya negara memproteksi produsen dalam negeri, yaitu industri lokal. Sektor pelayaran dalam distribusi logistik seharusnya dapat dinikmati oleh pelaku usaha logistik. Kenyataannya, sektor ini belum memberikan keuntungan bagi pelaku usaha logistik nasional. Padahal dana yang berputar dalam sektor logistik nasional mencapai sekitar Rp1.700 triliun per tahun—setengah dari APBN kita yang sebesar Rp3.500 triliun per tahun. Jika dikelola dengan benar, potensi ekonominya luar biasa.
Untuk mengelola dengan benar, dibutuhkan dirijen. Dengan demikian, dampak ekonominya bisa dirasakan langsung oleh pelaku industri logistik nasional. Ini juga akan meningkatkan pendapatan pajak dan menyerap tenaga kerja secara masif.
Anda tadi menyinggung biaya logistik seharusnya terjangkau. Kalau dibandingkan dengan negara lain, bagaimana posisi Indonesia?
Biaya logistik kita adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Bank Dunia menyebutkan biaya logistik kita sebesar 23%, sedangkan Bappenas menyebut 14%. Rata-rata di negara maju, biaya logistik di bawah 10%, seperti China yang hanya 8%. Biaya logistik yang terjangkau dapat mengundang investor, sementara biaya yang tinggi akan dijauhi investor karena tidak kompetitif.
Semoga dengan adanya BLN ini bisa memangkas biaya logistik kita yang tinggi
Ya, selain itu, dana logistik sebesar Rp1.700 triliun itu bisa dimanfaatkan maksimal oleh pelaku logistik nasional dan meningkatkan ekonomi kita.
Banyak peti kemas tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Mengapa hal itu bisa terjadi dan apa dampaknya bagi Indonesia?
Ada Permendag 2023 yang diubah sampai 3 kali. Ini menunjukkan adanya ego sektoral. Ketidakharmonisan antarkementerian (Keuangan, Perdagangan, Perindustrian) menimbulkan masalah. Jika ada dirijen, persoalan ini bisa diselesaikan di lapangan tanpa perlu pejabat tinggi turun ke Tanjung Priok. Ini menyebabkan multi tafsir. Tertahannya sekitar 27.000 peti kemas menyebabkan ketidakpastian usaha di Indonesia, meningkatkan biaya ekonomi, dan merusak reputasi kita. Investor takut datang karena regulasi tidak pasti.
Berapa banyak pelaku usaha di sektor logistik di Indonesia, dan apakah ada proteksi untuk pengusaha lokal?
ALFI menaungi sekitar 4.000 perusahaan di seluruh Indonesia, 80% di antaranya adalah UMKM. Logistik di Indonesia tak bisa lepas dari logistik dunia. Sebagian pengusaha logistik kita berpartner dengan pengusaha global. Pertanyaannya adalah, mengapa pengusaha logistik global mudah sekali masuk ke Indonesia? Salah satu sebabnya adalah modal mereka yang kuat dan ceruk pasar yang bisa mereka bawa ke Indonesia.
Mengapa modal menjadi penting? Karena bank di luar negeri memberikan bunga yang kompetitif. Sedangkan perbankan Indonesia sangat ketat aturannya dalam memberikan modal untuk usaha logistik. Bagaimana pengusaha logistik bisa naik kelas kalau kondisinya seperti ini? Inilah yang kami perjuangkan.
BACA JUGA:
Satu dasawarsa terakhir marketplace berkembang pesat, apakah berdampak bagi teman-teman ALFI?
Marketplace dan e-commerce menawarkan pelayanan yang murah dan cepat. Semua ini dipandu oleh pemain global yang menyerbu pasar Indonesia. Anggota kami tidak banyak yang masuk ke sektor ini, lebih banyak fokus pada kargo baik laut, udara, darat, dan kereta api. Setelah tiba di pelabuhan, distribusinya dilanjutkan oleh teman-teman kurir yang ada.
Apakah anggota ALFI sudah merambah ke seluruh Indonesia?
Anggota kita tersebar di seluruh Indonesia. Selama ada dermaga dan bandara, pasti ada kegiatan bongkar muat kargo. Namun, volume yang kita tangani masih dalam bentuk bulk kargo.
Perkembangan ilmu dan teknologi membuat pengiriman semakin canggih dan efisien. Apakah teman-teman ALFI sudah menggunakan drone?
Pengiriman dengan drone sudah digunakan di luar negeri. Namun, di Indonesia belum bisa diterapkan karena regulasinya belum ada. Hal ini terkait dengan keamanan dan lalu lintas udara. Padahal, untuk kota yang padat seperti Jakarta, penggunaan drone dalam pengiriman bisa menjadi solusi. Kemacetan membuat biaya logistik membengkak.
Situasi global yang memanas, seperti perang antara Rusia dan Ukraina serta ketegangan di Timur Tengah, apa pengaruhnya pada industri logistik kita?
Geopolitik yang memanas di beberapa belahan dunia membuat industri logistik berisiko tinggi namun berpendapatan rendah. Karena perang, jalur pelayaran yang sebelumnya lebih singkat dihindari, dan digunakan jalur yang lebih aman tapi lebih jauh. Belum lagi aksi bajak laut di Laut Merah di pesisir pantai Afrika Timur. Ini meningkatkan biaya. Situasi global ini juga berpengaruh pada logistik nasional.
Apa harapan Anda pada pemerintahan Prabowo? Apa yang bisa disumbangkan anggota ALFI untuk negeri, dan sebaliknya, apa yang teman-teman ALFI harapkan dari pemerintah?
Dengan pemerintahan Pak Prabowo, kami punya harapan baru yang kami amati akan diwujudkan oleh beliau. Tentu, beliau tidak bisa bekerja sendirian; semua pihak harus ikut membantu. Harapan utama kami adalah kepastian hukum. Berikutnya, kami berharap birokrasi yang lebih sederhana. Selama ini, mengurus perizinan masih rumit dan berbelit, ini harus dikoreksi.
Selain itu, harus ada sinkronisasi antara pusat dan daerah. Kami berharap pilkada yang akan digelar menghasilkan pemimpin yang punya visi dan misi yang sejalan dengan Presiden Prabowo. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian.
Filosofi Berbagi Akbar Djohan
Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, baik di lingkungan kantor maupun masyarakat, Akbar Djohan memiliki prinsip untuk memberikan kemudahan kepada banyak orang. “Bantu orang seluas-luasnya, jangan mempersulit apalagi menzalimi orang,” kata pria yang menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) ini.
Filosofi ini sederhana namun memiliki makna yang mendalam. “Saat membantu orang, jangan berharap mereka akan segera membalas kebaikan yang telah kita berikan. Nanti alam semesta yang akan bergerak. Tunggu saja,” ujar Akbar yang kini menduduki posisi Direktur Komersial di PT Krakatau Steel (Persero), Tbk.
Sebagai contoh, saat ia masih menjabat sebagai Presiden Direktur Krakatau International Port (2021-2023), perusahaannya membantu pesantren di sekitar Cilegon. Bantuan yang diberikan bukan berupa materi, melainkan pelatihan wirausaha.
Dengan bekal ini, diharapkan tercipta santri yang memiliki kemampuan dan pengetahuan wirausaha. Usai mengikuti pelatihan, santri diharapkan bisa mandiri. “Tak hanya teori, kami juga mendatangkan praktisi, pengusaha yang sudah teruji dan sukses di bidangnya. Mereka berbagi kiat kepada para santri untuk bisa sukses di kemudian hari,” terang Akbar.
Jadi, yang dipanggil dan memberikan pelatihan benar-benar adalah orang-orang yang bisa memberikan ilmu yang aplikatif. “Kami tidak memanggil pengusaha seperti Prayogo Pangestu, Antony Salim, atau Chairul Tanjung, misalnya. Itu terlalu jauh dan ketinggian buat mereka. Jadi, cukup pengusaha lokal yang dekat dengan mereka yang kami minta berbagi tips dan trik menjadi pengusaha,” tambahnya.
Setelah memberikan pelatihan, bantuan selanjutnya adalah membuka jaringan pemasaran untuk produk yang dihasilkan, agar apa yang telah dibuat bisa terserap dan tersalurkan.
Pesan Orang Tua
Akbar Djohan selalu ingat pesan orang tuanya yang juga seorang militer dan sempat menjabat sebagai Bupati di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Pesan tersebut mengenai relasi manusia tanpa syarat. “Orang tua saya selalu menekankan untuk membantu orang tanpa syarat. Kalau membantu orang, ya bantu saja. Dalam bahasa lain istilahnya ikhlas saat membantu,” ungkapnya.
Pesan lain yang tak pernah dilupakan dan terus diaplikasikan hingga kini adalah kejujuran. “Jujur dalam arti apa adanya, jangan dibuat-buat atau pura-pura jujur,” tukasnya.
Selama bergaul dengan pemimpin nasional dan pengusaha sukses, ia menemukan pesan serupa, bahwa mereka juga memiliki keinginan besar untuk membantu orang yang kurang mampu. “Ada konglomerat yang jiwa sosialnya sangat tinggi. Kita tidak perlu memaksakan diri untuk membantu seperti yang dia lakukan. Ya, sesuaikan dengan kemampuan dan kapasitas kita saja,” lanjutnya.
Apalagi, kata Akbar, kalau kita memiliki posisi atau jabatan, semua itu bisa dimaksimalkan untuk membantu orang lain. “Saat ini, kalau ada yang meminta tolong, saya akan upayakan dengan catatan tidak menyusahkan kita,” kata pria yang menyelesaikan S1 (Hukum Internasional) dari Universitas Hasanuddin, Makassar, dan S2 (Sumber Daya Manusia) dari Universitas Pancasila, Jakarta.
Perhatian untuk Keluarga
Tak ada manusia yang sempurna. Karena kondisi itulah, Akbar Djohan menanamkan pada anak dan istrinya konsep keikhlasan. “Saya bangun konsep keikhlasan kepada istri dan anak-anak. Mereka harus tahu keterbatasan waktu orang tuanya, dengan catatan orang tuanya juga harus ikhlas dan amanah,” kata pria yang menjaga pola makan dan istirahat cukup untuk meningkatkan kualitas kesehatannya.
Sadar akan keterbatasan waktu karena kesibukan di kantor dan organisasi, Akbar menekankan quality time dalam berhubungan dengan anak dan istrinya. “Dulu, saat anak-anak masih kecil, saya bisa memberikan waktu pada hari Sabtu dan Minggu untuk keluarga. Sekarang hanya bisa hari Minggu saja. Jadi, hari Minggu itu waktu saya sepenuhnya untuk keluarga,” ungkapnya.
Karena keterbatasan waktu, sahabat-sahabatnya pun memilih untuk bersilaturahmi pada hari Minggu. “Kalau sudah begini, saya kembali meminta keikhlasan anak-anak dan istri. Saya bilang kali ini kita bergabung dengan teman-teman Papa di hari Minggu. Yang penting semuanya dikomunikasikan,” tambah pria yang menganggap sahabat sebagai keluarga. Jadi, bagi Akbar, keluarga bukan hanya keluarga inti, tetapi juga sahabat yang dianggap sebagai keluarga.
Bagi Akbar Djohan, silaturahmi bisa membuat hati bahagia, memperpanjang umur, dan mempermudah rezeki. “Namun ini investasi jangka panjang, tidak bisa instan. Kalau kita bahagia, juga bikin semangat dalam bekerja,” ujar pria yang melakoni olahraga renang dan jalan pagi untuk menjaga kebugaran tubuhnya. Karena usia, dia sudah meninggalkan olahraga berat seperti tenis, lari, dan lainnya.
"Yang perlu dicatat dengan kehadiran BLN ini kita tidak mengharapkan alokasi APBN. Kita ingin ada kesetaraan, dan logistik nasional itu urat nadi dan perannya amat strategis. Target Presiden Prabowo untuk pertumbuhan 8% rasanya akan menjadi pekerjaan rumah besar kalau soal logistik tidak dibereskan. Apalagi jika dihubungkan dengan cita-cita Indonesia Emas 2045,"