Pesatnya perkembangan internet membuat media baru tak bisa dijangkau oleh UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Padahal fungsi media baru itu serupa dengan TV dan Radio. Menurut Agung Suprio, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus ada revisi atas UU Penyiaran atau dibuat UU baru yang khusus mengatur media baru.
***
Saat UU No 32 tentang Penyiaran disusun oleh legislatif belum terbayangkan oleh mereka yang menyusun UU tersebut akan pesatnya perkembangan internet dan teknologi informasi. Ketika itu radio dan televisi masih merupakan primadona penyebaran informasi. Kehadiran media baru yang fungsinya nyaris sama dengan radio dan TV bahkan lebih, dalam penyampaian informasi membuat orang mengelompokkan media baru dalam ranah penyiaran.
Menurut laman Southeastern University ada lima jenis media baru. Yaitu blog, realitas virtual (virtual realty), media sosial (social media), surat kabar daring (online news paper), dan game digital. Kian hari perkembangan media baru kian tak terbendung. “Saat ini penetrasi dari media baru itu sudah lebih dalam. Sekarang YouTube misalnya sudah sama dengan TV. Apalagi nanti saat 5G sudah ramai, kecepatannya 200 kali lipat. Konsumsi pada media baru semakin banyak. Sekarang saja kalangan milenial sudah jarang yang nonton TV,” kata Agung.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di belahan dunia lainnya. “Perubahan seperti ini terjadi di mana-mana, di Eropa dan Amerika juga. Orang sering bilang ini karena kontennya nggak bagus, jadi orang pindah. Menurut saya enggak juga, Anda bisa lihat di Amerika dan Eropa konten-konten TV di sana bagus-bagus, tetapi juga terjadi tren seperti ini,” jelasnya.
RCTI dan Inews dua tahun silam pernah mengajukan uji materi (judicial review) atas UU No 32 tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, menurut itu menurut Corporate Legal Director MNC Group Chistophorus Taufik, karena ada kebutuhan mendesak untuk pengaturan persuasif beberapa konten melalui internet. Demikian dilansir oleh Kompas.com. Namun uji materi ini ditolak oleh MK. Setelah itu belum terdengar lagi ada pihak yang mengajukan uji materi pada UU tersebut.
Karena itu menurut Agung Suprio, untuk mewadahi media baru ini harus ada revisi atas UU No 32 tahun 2002 atau dibuat UU baru yang khusus menaungi media baru yang sudah berkembang sedemikian pesat. Selain berbicara soal media baru, ia juga mengulas soal kiprah KPI dalam melakukan pengawasan pada radio dan TV saat masih menggunakan sistem analog dan prediksi saat sistem digital diterapkan. Inilah petikan wawancara selengkapnya pada Iqbal Irsyad, Edy Suherli, Savic Rabos dan Rifai yang menemuinya belum lama berselang di Kantor KPI Pusat, Jalan Juanda Jakarta Pusat.
Selama ini pelanggaran yang sering dilakukan oleh lembaga penyiaran dalam konteks apa saja?
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ini kan mengawasi dua jenis lembaga penyiaran yang pertama televisi dan radio. Satu TV diawasi oleh 4 orang pemantau. KPI Pusat itu mengawasi 18 stasiun televisi berjaringan, kalau zaman orde baru itu disebut dengan TV nasional. Jadi dia punya jaringan di seluruh Indonesia. Satu lagi TVRI sebagai televisi publik yang juga punya jaringan di mana-mana atau juga bisa disebut dengan TV nasional.
Satu TV diawasi oleh 4 orang, bergantian kerja selama 6 jam. Selama 24 jam siara TV dipantau oleh KPI. Kenapa dipantau, karena tujuan dari undang-undang penyiaran kan jelas mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk generasi, kemudian menciptakan integrasi nasional. Selain KPI Pusat aada juga KPI daerah yang memantau di setiap provinsi masing-masing TV dan radio.
Televisi rata-rata pelanggaran itu dari hasil evaluasi tahunan KPI itu dari hiburan-hiburan atau entertainmen. Ini genre yang berpotensi melanggar karena; pertama bersifat langsung rata-rata talent atau host yang keceplosan. Kalau pelanggarannya serius kami beri sanksi kalau melanggar P3SPS (pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran). Berikutnya sinetron, ya itu pun juga ada pelanggaran, semakin ke sini pelanggannya semakin sedikit.
Kemudian pelanggaran berikutnya dari berita. Berita ini juga pelanggaran-pelanggaran itu tidak tidak mendasar sebetulnya tetapi memang di pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran tidak boleh.
Untuk materi berita akan bersinggungan dengan Dewan Pers, bagaimana KPI melihat hal ini?
Berita yang tayang di televisi jelas itu domain dua pihak, pertama Dewan Pers kedua KPI. Misalnya begini ada orang merasa dicemarkan nama baiknya di dalam konteks pemberitaan. Dia mengadu ke KPI, dalam konteks ini KPI berkirim surat ke Dewan Pers untuk menanganinya. Jadi selalu ada kerjasama dengan Dewan Pers.
Bagaimana dengan pelanggaran di Radio?
Kami juga memantau radio, terutama radio yang berjaringan. Kalau radio lokal yang menangani KPID. Radio jarang ada pelanggaran, kecuali yang dilaporkan oleh masyarakat.
Bagaimana dengan media baru seperti Youtube dan sejenisnya, media sosial twitter, facebook dan lain-lain, seperti apa penertibannya?
Saat ini penetrasi dari media baru itu sudah lebih dalam masuknya. Sekarang YouTube misalnya sudah sama dengan TV. Apalagi nanti saat 5G sudah ramai, kecepatannya 200 kali lipat. Konsumsi pada media baru semakin banyak. Sekarang saja kalangan milenial sudah jarang yang nonton TV. Perubahan seperti ini terjadi di mana-mana, di Eropa dan Amerika juga. Orang sering bilang ini karena kontennya nggak bagus, jadi orang pindah. Menurut saya nggak juga, Anda bisa lihat di Amerika dan Eropa konten-konten TV di sana bagus-bagus, tetapi juga terjadi tren seperti ini.
Di Eropa 30 persen konten TV streaming atau video on demand harus berasal dari Etopa termasuk produksi, lokasi dan menggunakan bahasa di negara-negara Eropa, tidak hanya bahasa Inggris. Ini menarik, media baru digunakan sebagai strategi untuk mempertahankan kebudayaan. Menarik jadi bukan hanya mengawasi, tapi kita berpikir lebih luas. Bagaimana kita punya strategi kebudayaan untuk memakai semua platform yang ada termasuk; media baru, TV streaming dalam mempertahankan kebudayaan kita. Bahkan kalau bisa ekspansi kebudayaan ke negara lain karena peluang untuk hal tersebut sangat terbuka dengan menggunakan televisi streaming atau video on demand.
Soal hiburan di media baru juga bebas, di TV tidak bisa. Ngomong jorok saja ke teguran KPI. Sontoh lain diskusi soal seks di TV harus di atas jam 10 malam. Narasumbernya juga harus yang kompeten seperti dokter atau pakar seks. Tidak boleh mengajurkan seks bebas. Soalnya tujuannya mengedukasi masyarakat.
Apakah ada upaya dari KPI untuk memfasilitasi regulasi untuk media baru?
Soal media baru ini memang ada pertanyaan apakah dia masuk dalam kategori penyiaran, soalnya punya dampak yang sama dengan TV. Dua tahun yang lalu RCTI dan Inews, melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi terkait media baru, apakah masuk ke dalam ranah komisi penyiaran Indonesia. Sayangnya upaya itu ditolak. Artinya memang dia tidak masuk ke undang-undang penyiaran karena undang-undang 32 tahun 2002 tidak mengaturnya. Waktu itu belum ada WA, YouTube, Facebook, waktu itu belum ada media baru.
Perkembangan teknologi demikian pesat. Di undang-undang 32, media baru ini tidak masuk dalam klasifikasi penyiaran. Yang menariknya dalam putusan MK harus ada revisi UU atau bikin UU baru, agar realitas sosiologis tadi masuk ke dalam undang-undang diatur dalam undang-undang. Jadi bukan serta-merta menolak tetapi mengakui ada realitas sosiologis di masyarakat dan ini harus diatur dalam sebuah undang-undang atau revisi kepada undang-undang penyiaran yang ada.
Saat belum ada revisi atas UU atau ada UU baru, KPI tidak bisa masuk dan mengatur media baru. Yang bisa digunakan UU ITE, yang kena konten kreator-nya. Kalau pakai undang-undang penyiaran seandainya ini masuk dalam program penyiaran maka yang menjadi objek hukum itu adalah pihak YouTube-nya bukan konten kreator-nya. Yang kena perusahaannya pihak YouTube, pihak Facebook. Jadi disrupsi itu terjadi begitu cepat, dan nggak ada undang-undang yang bisa diantisipasi di awal, ada kekosongan.
Kondisi seperti ini juga terjadi beberapa negara lain. Beberapa negara sudah mengatus TV streaming. Di Eropa 30 persen siaran TV streaming harus menggunakan bahasa di negara-negara Eropa selain Bahasa Inggris. Ini menarik, media baru digunakan sebagai strategi untuk mempertahankan kebudayaan. Memenarik jadi bukan hanya mengawasi, tapi kita berpikir lebih luas. Bagaimana kita punya strategi kebudayaan untuk memakai semua yang ada termasuk; media baru, TV streaming dalam mempertahankan kebudayaan kita. Bahkan kalau bisa ekspansi kebudayaan ke negara lain.
Apakah regulasi itu diatur oleh KPI?
Kami serahkan kepada DPR sebagai pembuat UU. Dari dari pihak TV juga begitu, mereka lebih ke sisi bisnis-bisnis. Mereka diatur ketat oleh KPI, iklan rokok dibatasi bincang-bincang soal seks juga. Tapi di media baru engga ada pembatasan sama sekali. Kontennya bebas, bahkan iklan juga masuk. Ini bukan masalah kualitas atau nggak berkualitas, tapi dia bebas iklan pun masuk.
Kenapa orang lebih senang lihat media baru?
Karena media baru lebih fkexible, kita bisa menonton any time, any where, any device, bisa interaktif. Kalau TV kan satu arah, itu perbedaanya. Orang bilang content is a king tapi sekarang nggak bisa begitu aja sekarang platform is a kingdom. Lengkapnya content is a king but platform is a kingdom.
BACA JUGA:
Bagaimana dengan larangan ustad "radikal" berceramah di media publik?
Kita memang mensyaratkan ustad yang tampil tidak anti NKRI, tidak anti Pancasila, harus mendukung NKRI dan mendukung Pancasila. Kemudian tidak berasal dari organisasi terlarang. Jadi itu yang kita edarkan, sama sekali tidak sebut nama.
Ini keputusan dari KPI. Apa sih ustad radikal itu? Ya ustad yang menolak NKRI, menolak Pancasila. Kami tidak ingin hal-hal seperti itu ada di televisi kita. Jadi kami memang meminta kepada lembaga penyiaran untuk tidak menampilkan ustad seperti itu. Yang pertama yang radikal. Yang kedua yang belum jadi ustad atau kiai sudah tampil di TV, akhirnya ngaco semua. Karena bisa menimbulkan kegaduhan di publik. Kita mempersilahkan ustad yang faham, semua yang kaffah Insya Allah memberikan kesejukan kepada penonton.
Sebentar lagi Analog Switch Off (ASO) akan diterapkan, apakah pengaruh nya pada kinerja KPI?
Penerapan ASO tahap pertama 30 April 2022, tahap kedua 25 Agustus 2022 dan tahap ketiga 2 November 2022. Kenapa tahapan ini dibuat kalau ada kelemahan-kelemahannya itu bisa nanti ditutupi di tahap selanjutnya. KPI mendukung langkah pemerintah dalam membuat tiga tahap, dengan catatan sosialisasi harus gencar karena saya khawatir ada masyarakat yang belum tahu kita mau beralih di tanggal 30 Maret. Jadi masyarakat yang masih punya TV analog harus beli dulu set top box agar bisa menangkap siaran TV digital. Dan set top box harus tersedia di pasaran. Kalau bisa set top box ini produksi dalam negeri.
Lalu untuk sewa mux (multiplexer) buat TV lokal mungkin mahal beda dengan TV berjaringan. Karena itu pemerintah harus menerapkan batas atas. Pemerintah harus memberikan perhatian untuk TV lokal agar terjangkau. Yang menjadi concern KPI setelah ASO diharapkan area blankspot dengan penerapan TV digital bisa semua terjangkau. Setelah November 2022 semua TV sudah pindah ke digital ada sisa frekuensi untuk internet kita bisa 5G, internet berkembang lebih cepat.
Seperti apa regulasi yang sudah ada dengan akan diberlakukannya TV digital?
Saat ini KPI Mengawasi 18 TV, setelah TV digital bertambah banyak TV yang harus diawasi. Sekarang yang daftar belum dapat izin itu ada 50 TV. Kalau digital itu ada namanya multiplexer. Satu mux bisa untuk 12 TV yang standard definition (SD), kalau high-definition (HD) itu 6 TV. Di Jakarta ada 9 mux. Kalau satu mux ada 10 TV berarti di Jakarta ada 90 TV. Jaman analog satu frekwensi 1 TV. Kalau di era TV digital 18 TV yang ada sekarang cukup masuk dalam 2 mux saja.
TV makin segmented, ada Mentari TV TV khusus untuk anak-anak, ada Ajwa TV ini TV khusus agama Islam tapi yang moderat, ada juga Smile TV yang menyajikan bincang-bincang ringan. Dan masih banhyak lagi. Tugas KPI dengan peralihan ke TV Digital ini makin berat, karena makin banyak yang diawasi.
Ini Alasan Agung Suprio Menggunakan Busana Tradisional dalam Kegiatan Resminya
Penampilan Agung Suprio tampak berbeda dengan pejabat publik lainnya. Sejak mejadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dia mengubah penampilannya di acara resmi dengan menggunakan busana daerah lengkap dengan udeng (penutup kepala khas Bali) yang membuat penampilannya makin khas.
“Ya sejak menjadi Ketua KPI saya memutuskan memakai baju tradisional dari Bali. Saya memilih busana tradisional dalam penampilan, baik secara formal maupun nonformal. Bahkan ketika saya diundang oleh DPR saya juga memakai busana seperti ini, dan alhamdulillah DPR pun tidak dipermasalahkan,” kata pria kelahiran Jakarta, 2 September 1975 ini.
“Saya memakai udeng karena makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Bentuk udeng yang lebih tinggi di bagian kanan yang memiliki maksud untuk mendorong pemakainya selalu berbuat kebaikan yang direpresentasikan dengan arah kanan. Ikat kepala pada udeng merupakan simbol dari pemusatan pikiran atau ngiket manah atau fokus. Secara lebih umum udeng menggambarkan kebersamaan, kerukunan, kesucian, kesabaran, dan kesantunan,” paparnya.
Agung mengenakan busana tradisi ini bukan tanpa tujuan. “Pertama saya ingin mempertahankan eksistensi budaya Indonesia lewat ekspresi berpakaian. Kalau kita tidak dipakai maka siapa lagi akan menghargai atau mengenal budaya Indonesia. Kedua KPI ingin agar setiap budaya Indonesia itu ada dalam setiap tayangan televisi, baik itu dalam dialek dan dalam busana, maupun dalam budaya lainnya. Jadi setiap budaya ditampilkan baik secara individu seperti saya maupun di televisi sering dituturkan maka benda itu akan semakin lama semakin eksis,” tegasnya.
Ia menyarankan kepada pejabat publik, figure publik, juga content creator serta pada stand up comedy untuk bisa menggunakan busana daerah dalam penampilannya. Busana daerah yang dikenakan tak kalah keren dengan busana lain.
Menurut Agung untuk membeli busana daerah tidak mahal. Bahkan mencarinya pun gampang. “Harganya eggak terlalu mahal kok. Jadi Anda bisa cari di market place atau tokoh online. Kalau pas ke Bali saya juga banyak beli. Di sana banyak dijual busana seperti yang saya pakai ini,” ujar Agung yang banyak mendapat sumbangan celana sarung dan udeng sejak berbusana daerah.
Menggunakan busana daerah buat Agung tidak ribet. ”Ternyata ini nggak ribet dan enggak panas ya. Ini keren kok, tinggal desain sedikit busana kita, busana kita sudah sesuai dengan budaya. Kita bisa mempertahankan kebudayaan Indonesia,” katanya.
Solo Travelling
Agung yang hobi travelling harus menahan keinginannya. Namun ia sedikit terobati dengan kunjungan kerja yang ia lakukan di daerah. “Saya suka travelling ke mana-mana. Bahkan saya itu cenderung travelling sendiri (solo travelling). Saya pergi pergi ke suatu tempat sendiri, di tempat yang dituju baru bertemu dengan orang yang juga melakukan hal yang sama. Sekarang banyak komunitas solo travelling di Facebook. Setelah bertemu dengan orang yang baru dikenal dan menjelajah tujuan yang sama akan menjadi pengalaman yang seru,” ungkapnya.
Aktivitas solo travelling itu sudah jarang dilakoni lagi sejak Agung terpilih menjadi ketua KPI. Waktunya tersita buntuk urusan kantor. Ada waktu ke daerah pun dalam rangka tugas. “Sejak menjadi Ketua KPI saya jarang solo travelling. Kalau saya mesti ke daerah dalam rangka tugas. Di daerah yang saya kunjungi, saya sempatkan untuk melihat objek-objek wisata yang belum pernah disambangi. Itu nikmat banget,” lanjut mantan penyiar radio terkemuka di Jakarta dan host TVRI ini.
Pengalaman Unik
Selama menjadi Ketua KPI setidaknya ada dua pengalaman unik yang dialami Agung. Pertama waktu ia melakukan kunjungan kerja ke Makassar tahun silam. “Saat itu ada ibu hamil ya mendekati saya. Terus saya disuruh mengelus perutnya yang sedang hamil 8 bulan. Tujuannya agar anaknya nanti bisa hebat seperti saya,” ujar Agung.
“Saya sempat tanya ke ibu itu kok tahu saya?”
“Ya tahu lah, Bapak kan viral,” jawab sang ibu.
“Saya daoakan semoga anak Ibu nanti seperti saya dan bisa lebih hebat lagi dari saya,” begitu Agung mendoakan ibu tersebut.
Pengalaman kedua terjadi di Lombok, NTB. Saat itu Agung diminta memberikan motivasi kepada santriwan dan satriwati di salah satu pondok pesantren di sana. “Saya diminta menceritakan perjalanan karier saya dari menjadi penyiar radio, penyiar televisi dan kemudian menjadi Ketua KPI. Saya diminta memberikan motivasi kepada santriwan dan santriwati agar giat dan semangat belajar untuk meraih prestasi gemilang,” katanya.
Setelah acara itu ada satriwati yang menangis dan pingsan. Lalu dibawa ke ruang Pak Kiai. “Saya penasaran kok sampai pingsan? Ada apa?,” lanjut pria yang menyelesaikan SI Ilmu Politik Universitas Indonesia dan melanjutkan ke jejang S2 Magister Ilmu Politik di kampus yang sama.
Setelah santriwati itu siuman, Agung pun bertanya. Dan sang jawaban santriwati itu bikin Agung terkejut, “Saya terharu bisa bertemu bapak. Bapak keren saya ingin berprestasi seperti bapak,” kata santriwati yang ditirukan Agung Suprio.
“Saat ini penetrasi dari media baru itu sudah lebih dalam masuknya. YouTube misalnya sudah sama dengan TV. Apalagi nanti saat 5G sudah ramai, kecepatannya 200 kali lipat. Konsumsi pada media baru semakin banyak. Sekarang aja kalangan milenial sudah jarang yang nonton TV. Perubahan seperti ini terjadi di mana-mana, di Eropa dan Amerika juga.”