JAKARTA - Negara merupakan sesuatu yang abstrak, negara menjadi lebih konkret saat digerakkan oleh organ-organ (lembaga, red) negara. Ketika organ yang menggerakkan negara dibiarkan bekerja dalam tatanan tidak baik sama saja membiarkan negara berada dalam jebakan sengkarut tak berkesudahan.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia lembaga penasihat dan pertimbangan Presiden telah ada sejak pertama kali republik ini berdiri. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilakukan, kedudukan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab IV UUD 1945 sebelum amandemen dan digolongkan sebagai lembaga tinggi negara.
Di dalam buku berjudul Dewan Pertimbangan Presiden 2015-2017, karangan Ahmad Fachrudin menjelaskan pada perkembangannya, perubahan ke 4 terhadap Undang-Undang Dasar kemudian menghapus keberadaan DPA yang kedudukannya sama dengan 4 lembaga tinggi negara lainnya, yakni Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Penyebab dihapuskannya keberadaan DPA dalam struktur ketatanegaraan bangsa Indonesia melalui amandemen konstitusi dikarenakan kurang efektifnya DPA dalam melaksanakan tugasnya sebagai organ penasehat. Tahun 2007, Presiden SBY mengubah nama Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden.
VOIR éGALEMENT:
Berdasarkan Undang-Undang tersebut, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Isi dari Pasal 16 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang” yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Dengan landasan konstitusional yakni Pasal 16 UUD NRI 1945
Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Ihza Mahendra mengatakan dirinya ditugasi Presiden SBY untuk mewakili Presiden membahas RUU tentang Wantimpres itu dengan DPR hingga selesai. "Dalam teks UU Nomor 19 Tahun 2006 itu tercantum tanda tangan pengesahan dari Presiden SBY dan tanda tangan saya selaku Menteri Hukum dan HAM,"katanya dalam pesan tertulis.
Yusril menilai hal yang paling penting dari perubahan nama wantimpres kembali menjadi DPA terkait penempatan posisi lembaga tersebut. "Perubahan kedudukan dari semula di bawah presiden menjadi sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya. Tak ada persoalan mendasar secara hukum tata negara di Indonesia mengenai perubahan kedudukan antara Wantimpres dan DPA," jelasnya.
Raad Van Nederlandsch Indie
Berdasarkan pengamatan VOI, dari awal berdirinya Dewan Pertimbangan Presiden tersebut sampai hari ini masih menunjukkan tidak begitu memiliki peran dalam penyelenggaraan ketatanegaraan di Indonesia.
Dewan Pertimbangan Agung yang saat ini dikenal sebagai Dewan Pertimbangan Presiden bukanlah hal yang baru di Indonesia. Dahulu lembaga penasehat serupa pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di Indonesia sudah pernah ada, lembaga tersebut memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dari lembaga penasehat saat ini. Pada masa itu lembaga penasehat tersebut bernama Raad Van Nederlandsch Indie. Tugas dari lembaga yang didirikan pada tahun 1610 ini memberikan nasehat atau pertimbangan mengenai hal-hal yang wajib dimintakan oleh Gubernur Jenderal.
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidiqie dalam tulisannya yang berjudul Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung menerangkan tentang hal-hal yang bernilai untuk diingat dan patut dicatat tentang DPA-RI yang pernah ada dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia.
Kata memorabilia juga berasal dari bahasa Latin, dan sudah luas pemakaiannya di masyarakat yang mempergunakan bahasa Inggris tetapi belum banyak dipakai dalam bahasa Indonesia. Istilah Memorabilia memiliki makna hal-hal yang bernilai untuk diingat, hal-hal yang patut dicatat, suatu koleksi catatan-catatan atau peringatan-peringatan tentang suatu pokok atau peristiwa penting.
Menurut Jimly, DPA-RI dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya ada positif dan negatifnya, ada kekuatan dan kelemahannya. Jimly menulis, penetapan dihapuskannya BAB IV dalam UUD 1945 tentang Dewan Pertimbangan Agung terjadi di Sidang Tahunan MPR-RI bulan Agustus tahun 2002.
"Tidak banyak masyarakat yang mengetahui seluk beluk pekerjaan DPA-RI, karena pertimbangan-pertimbangan yang dihasilkan hanya untuk disampaikan kepada Presiden dan tidak dipublikasikan. Perjalanan sejarah DPA-RI selama hampir 58 tahun dalam mengemban tugas-tugas konstitusional menurut ketentuan UUD 1945 telah diakhiri," tulis Jimly.
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum (rechts staat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machts staat). Umumnya negara hukum diartikan sebagai tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum.
Eksistensi lembaga negara idealnya merepresentasikan dari ketiga macam organ kekuasaan yang terdiri dari Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif. Mengutip dari Limbago: Journal of Constitutional Law penagsiran dari lembaga negara itu terdiri dari dua bagian, yakni lembaga negara utama (main state organ) yang mengacu pada paham trias politica terdiri dari lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, dan MK. Dan kedua lembaga negara bantu (auxiliary state’s organ).
Istilah main state organ sebagaimana penafsiran jenis lembaga Negara di atas, mengacu pada konsep trias political dimana lembaga Negara yang masuk kategori ini hanyalah lembaga Negara yang kewenanganya secara langsung disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara itu, istilah auxiliary state’s organ secara umum pengertiannya adalah lembaga Negara bantu yang dibentuk menurut peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berfungsi untuk menunjang kinerja lembaga Negara utama.
Lembaga Negara Independen
Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada mengatakan secara umum dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia telah memunculkan banyak sekali lembaga negara, salah satunya lembaga non struktural, dari sisi istilah atau terminologi lembaga non struktural diartikan sebagai badan di luar struktur cabang kekuasaan yang ada. Meski dapat pula dibentuk untuk memberi pertimbangan kepada presiden dalam rangka koordinasi atau pelaksanaan kegiatan tertentu. Salah satunya lembaga penasehat dan pertimbangan Presiden atau disebut dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) atau Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
"Dalam pembentukan lembaga negara independen ada beberapa problem, salah satunya adalah blue print. Seharusnya, dalam sebuah lembaga negara harus membuat blue print. Namun dalam riset saya tahun 1999, 2000, 2001 hanya membuat lembaga negara, tidak ada blue print-nya,” kata Zainal Arifin Mochtar.
Zainal menerangkan dari sisi aspek hukum tata negara dengan mengutip pendapat Asimow dalam Administrative Law (2002), penambahan kata “independen” tidak hanya sebatas menegaskan organ negara yang berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tidak juga sebatas dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukannya.
Zainal mendefinisikan sebuah lembaga dikatakan independen apabila pengisian rekrutmen pimpinan/anggota lembaga tak dilakukan oleh satu lembaga negara saja, pemberhentian anggota lembaga hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam UU pembentukan lembaga yang bersangkutan dan presiden dibatasi tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pemberhentian pimpinan lembaga. "Pimpinan bersifat kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu, dan masa jabatan pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian," kata Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar melalui pesan tertulisnya.
Perlu dipahami, saat ini masih terdapat perbedaan proses seleksi lembaga negara atau komisi negara independen. Misalnya, meskipun penentuan anggota Komisi Yudisial (KY) dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama berada di Komisi III DPR sesuai ketentuan yang ada, tapi prosesnya memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Sebagai lembaga yang diatur dalam UUD 1945 wewenang DPR dalam penentuan akhir calon anggota KY sangat terbatas. Secara Konstiusional, batasan tersebut disebabkan adanya pengaturan dalam Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan DPR hanya memberikan persetujuan atas 7 calon anggota KY yang diusulkan. Berbeda dalam seleksi pimpinan KPK, DPR disediakan dua kali lipat dari jumlah kebutuhan pimpinan KPK. Meskipun sama-sama independen, seleksi anggota KY dan KPK di DPR dilakukan dengan cara yang tidak sama.
"Ini Dibutuhkan cetak biru atau blue print untuk mulai menata lembaga negara independen, dasar hukum, sistem rekrutmen, pengawasan, dan pola hubungan antar lembaga harus diletakkan dalam kerangka pencapaian tujuan bernegara. Karena tanpa blue print akan terjadi pengulangan, misalnya, disusul lahirnya Komnas Anak, Komnas Perempuan. Pertanyaanya, mengapa tidak membuat satu lembaga HAM saja?"tandasnya.
The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)