Partager:

JAKARTA - Menurut penelitian, selera musik seseorang berhenti pada usia 30-an. Tapi, bukan berarti mereka yang sudah berusia kepala tiga itu bisa seenaknya merundung genre musik lain yang tidak disukai. Karena, urusan selera tidak perlu diperdebatkan. Seperti kata pepatah Latin yang berbunyi: "De gustibus non est disputandum".

Sebut saja, sebuah grup pecinta musik rock jadul di media sosial. Setiap postingan anggotanya pasti harus sesuai dengan nama grupnya, kan? Tapi, selalu ada anggota ‘bandel’ yang memposting musik-musik rock masa kini yang serta merta menimbulkan polemik dari anggota lain yang merasa lebih tua dan lebih nge-rock.

Misalnya saja ada seseorang yang mengunggah link YouTube dari lagu milik Scaller atau Stereo Wall. Diserbu tuh orang itu. Bahkan, lagunya diejek habis-habisan. Kata-kata paling halus yang muncul di kolom komentar bunyinya; “Musik sekarang enggak enak, ya?” atau “Pengin lagi balik ke masa lalu waktu musik rock benar-benar dimainkan dengan hati”. Ya, semacam itu lah.

Jujur, era modern rock dan new metal sesungguhnya masa yang juga sempat bikin saya nyaris berhenti mendengerkan musik 'baru'. Selera saya sudah terkunci pada musik-musik rock dan metal era ‘70, ‘80, dan ’90-an. Pada era 2000-an, porsi lead guitar saja dikebiri. Mana mau saya mendengar musiknya Korn, Disturbed, dan album 170 Volts-nya Edane. Garing, Coy! Berisik doang! Tapi, ini kan masalah selera. Bukan soal bagus atau tidak bagus.

Ilustrasi (Unsplash)

Perlahan... Antara tahun 2001-2008 saya beberapa kali manggung bareng band di RT kampung saya, memainkan lagu-lagu Incubus, The Calling, Hoobastank, dan 3 Doors Down. Dan ternyata, enak juga. Penonton pun menikmati. Semakin ke sini, saya pun doyan mendendangkan lagu-lagu milik Audioslave, Creed, dan Alter Bridge.

Soal selera musik seseorang yang tidak bisa berubah saat berusia 30-an, ini pernah diungkap sebuah penelitian yang dilakukan TickPick dalam program Music Tastemakers. Penelitian ini menunjukkan bahwa seorang anak menemukan band favoritnya pada umur 13 tahun, sekaligus menampilkan bagaimana orang tua memengaruhi anak-anak mereka dalam menyukai musik.

Sebanyak 500 orang tua dan pendengar mengikuti survei ini. Ada 10 faktor penting yang menentukan seorang anak dalam mendengarkan musik. Pada peringkat pertama, teman-teman, sebanyak 66 persen. Disusul pemutaran radio, sebanyak 59 persen serta musik dari film sebanyak 52 persen. Tiga di bawahnya ada ayah, ibu, televisi, konser, saudara kandung, media sosial dan hobi.

Nyatanya, banyak orang tua yang memperdengarkan beberapa pilihan musik untuk anaknya. Ada beberapa cara untuk mengenalkan anak kepada lagu-lagu yang mungkin mereka suka. Sebanyak 40 persen, para orang tua memutarkan lagu-lagu spesifik dan diikuti dengan memonitor alat elektronik atau gawai yang digunakan anak.

Ada beberapa alasan mengapa orang tua mencoba memberi rekomendasi musik kepada anaknya. Alasannya adalah untuk menghindari konten tidak pantas seperti penggunaan kata-kata kasar, mendorong referensi dari anak, menghindari budaya industri musik yang berbahaya, dan menghindari musisi yang bisa menjadi pengaruh buruk bagi anak.

Pada umur ke-13 tahun, sang anak biasanya menemukan band favoritnya setelah enam bulan diperdengarkan lagu-lagu dari band tersebut. Kebanyakan orang tua sering tidak setuju dengan apa yang didengarkan anaknya sehingga mereka memilih memberi rekomendasi kepada si anak.

TickPick juga menyatakan, anak yang pergi ke konser bersama orang tuanya memiliki ikatan lebih kuat. Genre yang paling banyak dibagikan antara orang tua dan anak adalah pop sebanyak 43 persen. Kemudian classic rock sebanyak 27 persen dan hip hop/rap sebanyak 26 persen.

Survei yang dilakukan layanan streaming musik Deezer pada Juni 2018 juga mengungkap fakta. Melalui platformnya, mereka meminta 1.000 orang di Inggris untuk memberi daftar lagu yang sering mereka dengarkan. Menurut temuan ini, orang-orang cenderung mengalami "kelumpuhan musikalis" pada usia sekitar 30 tahun, di mana mereka berhenti mendengarkan penyanyi atau genre baru dan cenderung berpegang teguh pada apa yang mereka dengar sejak lama.

Hasil survei itu juga menunjukkan, puncak usia rata-rata orang mengeksplorasi lagu berusia sekitar 24 tahun, meskipun wanita umumnya mencapai puncak eksplorasi sekitar setahun lebih cepat. Pada usia ini, hampir 75 persen responden mengatakan mereka mendengarkan 10 lagu baru atau lebih per minggu, dan 64 persen mengatakan mereka mendengarkan lima artis baru atau lebih setiap bulan.

Sejumlah penelitian juga mencatat bagaimana manusia cenderung kurang terbuka terhadap pengalaman seiring bertambahnya usia. Salah satu penelitian tersebut menemukan bahwa keterbukaan terhadap pengalaman cenderung meningkat selama masa remaja kita dan kemudian menurun setelah awal usia dua puluhan.

Ilustrasi (Unsplash)

Dilaporkan The New York Times, ilmuwan data Seth Stephens-Davidowitz menulis tentang bagaimana lagu-lagu yang populer di masa remaja kita, terutama antara usia 11 hingga 14 tahun, cenderung tetap menjadi lagu yang paling sering kita dengarkan di Spotify.

Misalnya, wanita yang saat ini berusia 41 tahun tampaknya menyukai lagu Just Like Heaven dari The Cure yang dirilis saat mereka berusia 11 tahun. Wanita berusia 69 tahun menyukai lagu Pretty Woman-nya Roy Orbison yang juga dirilis saat mereka berusia 11 tahun. Tren ini dapat ditemukan di berbagai usia dan jenis kelamin.

Nampaknya, kemampuan preferensi musik kita dipengaruhi puncaknya pada masa remaja ini. Ini bisa jadi karena puncak keterbukaan kita terhadap pengalaman, atau mungkin ada unsur nostalgia untuk masa muda kita yang ugal-ugalan. Itulah mengapa, jendela untuk mendengarkan musik baru tampaknya tertutup saat kita berusia akhir dua puluhan. Setelah itu, kita ditakdirkan untuk mendengarkan tiga band yang sama sampai hari kematian kita!

Mulai sekarang, jangan lagi jadikan selera sebagai hakim untuk menstigmakan sebuah era. Tidak menyukai salah satu jenis musik sah-sah saja. Tapi, tidak perlu menjelekkan lagu, musisi maupun penggemar dari era tertentu. Percaya, dunia bakal lebih indah jika musik dijadikan bagian dari kehidupan kita; sebagai teman yang memberi semangat dan membahagiakan hati.

Feature adalah kumpulan tulisan sikap dan opini redaksi kanal Musik VOI. Kami ingin artikel ini bisa memberi pemahaman baru bagi pembaca.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)