Partager:

JAKARTA – Polemik mengenai royalti performing rights memasuki babak baru. Para musisi Indonesia kini terpecah menjadi dua kubu.  

Belakangan, diskusi mengenai hak royalti kembali ramai diperbincangkan di kalangan musisi. Akhir Januari lalu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan penyanyi Agnez Mo bersalah karena membawakan lagu “Bilang Saja” tanpa izin penciptanya, Ari Bias.

Putusan tersebut memaksa Agnez membayar ganti rugi sebesar Rp1,5 miliar kepada Ari Bias. Sebelumnya, sang pencipta lagu sempat curhat dirinya tidak menerima royalty dari lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Agnez Mo, meski lagunya dibawakan di berbagai acara.

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat ini langsung menyita perhatian banyak kalangan. Mulai dari masyarakat, hingga pengamat musik dan musisi. Puncaknya, polemik ini memecah kalangan musisi menjadi dua kubu.

Ahmad Dhani saat menanggapi FESMI dan PAPPRI yang ajukan amicus saat konferensi pers AKSI di Jakarta (21/3/2025). (VOI/Ivan Two Putra)

Kubu pertama tergabung dalam Vibrasi Suara Indonesia (VISI). Kubu ini diisi sejumlah musisi Tanah Air termasuk vokalis Noah Nazril Ilham atau yang lebih dikenal Ariel, Armand Maulana, Vina Panduwinata, Titi DJ, Judika, Bunga Citra Lestari, Rossa, dan Raisa.

Di kubu seberang ada musisi yang tergabung dalam Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) yang mengajukan solusi alternatif, yaitu Direct License. Kubu ini digawangi antara lain Ahmad Dhani dan Piyu Padi.

VISI vs AKSI

Dalam putusan perkara yang menyeret nama Agnez Mo, hakim menyatakan penyanyi 39 tahun tersebut menggunakan lagu ciptakaan Ari Bias tanpa izin dalam tiga konser komersial.

VISI melayangkan uji materiil terhadap Undang-Undang Hak Cipta kepada Mahkamah Konstitusi pada 7 Maret 2025, dan terdaftar dengan nomor 33/PUU.MK/AP3/03/2025.

Ariel dan penyanyi lainnya merasa khawatir akan kena denda serupa atau dilarang membawakan lagu-lagu yang diciptakan orang lain. Yang dipersoalkan VISI adalah performing rights, hak eksklusif pencipta lagu dan penerbit untuk mengontrol dan mendapatkan kompensasi atas pertunjukan publik karya musik mereka.

Di antara tuntutan VISI adalah “pastikan hak kami sebagai penyanyi dan pelaku pertunjukan mendapatkan perlindungan hukum yang layak.”

Para musisi menilai bahwa saat ini tidak ada kejelasan apakah izin harus diminta langsung kepada pencipta atau cukup melalui LMKN. Selain itu, musisi yang menggugat UU Hak Cipta juga mengkhawatirkan adanya beban administratif dan finansial yang berlebihan bagi penyanyi. Mereka mempertanyakan siapa yang harus bertanggung jawab membayar royalti, apakah penyanyi atau penyelenggara.

Di sisi lain, kubu AKSI menyambut positif putusan hakim yang memberikan denda Rp1,5 miliar kepada Agnez Mo. Menurut AKSI apa yang diputuskan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat adalah buah dari perjuangan mereka. 

"Putusan Pengadilan Niaga PN Jakarta Pusat Gugatan perkara Hak Cipta Ari Bias Vs Agnez Mo. Perjuangan hak cipta selama 1,5 tahun akhirnya telah diputuskan pengadilan dan memenangkan pencipta lagu. Salam AKSI!” demikian bunyi pernyataan di Instagram @aksibersatu pada 3 Februari.

Polemik antara penyanyi dan pencipta lagu mengenai performing rights sudah cukup sering terjadi di Indonesia. Sebelum Agnez Mo harus membayar Rp1,5 miliar kepada Ari Bias, beberapa penyanyi dan pencipta lagu lain juga berseteru.

Ndank Surahman Hartono, mantan gitaris band Stinky, melarang Andre Taulany dan Stinky membawakan lagu “Mungkinkah” karena ia merasa punya hak eksklusif sebagai pencipta lagu.

Juga Once Mekel yang tak boleh membawakan lagu-lagu Dewa 19 oleh pentolan grup band tersebut, Ahmad Dhani. Alasannya, para pencipta lagu merasa tidak mendapatkan haknya dari royalti performing rights tersebut.

LMKN Tidak Transparan

Di Indonesia, regulasi yang mengatur hak eksklusif pencipta lagu atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Aturan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum atas karya yang dihasilkan oleh para kreator di berbagai bidang, termasuk industri musik. Salah satu yang diatur dalam UU Hak Cipta adalah tentang performing rights.

Secara sederhana performing rights adalah ketika seorang penyanyi menyanyikan lagu ciptaan seseorang di ruang publik maka harus ada royalti kepada pencipta lagu. Adalah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang ditugaskan mengutip royalti tersebut. Lembaga ini juga yang mendistribusikan royalti kepada pemegang hak cipta.

Jumpa pers perdana Vibrasi Suara Indonesia atau VISI. (VOI/Ivan Two Putra)

Namun keberadaan LMKN ini yang sekarang menjadi perdebatan. Kubu Visi ingin tetap mempertahankan sistem LMKN, sedangkan kelompok AKSI mengajukan alternatif mekanisme pembayaran royalti melalui platform yang disebut Digital Direct License (DDL).

Salah satu alasan AKSI menawarkan opsi DDL karena LMKN selama ini dinilai tidak transparan dalam distribusi royalti. Piyu, gitaris Padi yang juga menciptakan banyak lagu hits sekaligus ketua umum AKSI, mengaku cuma menerima Rp300.000 dari satu tahun royalti musiknya.

Atas alasan tersebut, AKSI menyebut DDL adalah solusi inovatif untuk memastikan transparansi royalti performing rights dalam pertunjukan konser musik dan live event di Indonesia. Dengan sistem ini, distribusi royalti dinilai lebih transparan dan realtime.  

Tak Dipahami Musisi

Tentang hak royalti memang belum sepenuhnya dipahami para musisi Tanah Air, karena sosialisasinya belum masif. Hal ini diakui pencipta lagu Eet Sjahranie. Ia menyebut sampai saat ini belum mengetahui fungsi LMK sebagai lembaga yang berkewajiban mengumpulkan hak royalti para musisi.

"Dari tahun 1996 saya sudah mempertanyakan tentang LMK. Tapi sampai sekarang belum tahu fungsinya," ujarnya dalam diskusi bertajuk Sistem Royalti Musik awal Maret lalu. 

Dalam kesempatan yang sama, Mila Rosa selaku perwakilan LMK Pappri (Persatuan Artis, Penyanyi, dan Pencipta Lagu) mengatakan bahwa hak para musisi tetap akan diberikan selama mereka terdaftar dalam LMK.

"Untuk itu penting bagi para musisi dan pencipta lagu terdaftar dalam LMK. Agar karya-karyanya bisa diklaim hak royaltinya," kata Mila.

Sementara itu, musisi kawakan Candra Darusman ikut membahas UU Hak Cipta melalui unggahan di akun Facebooknya. Dalam postingan tersebut ia berharap insiden saling silang antara penyanyi dan pencipta lagu karena regulasi yang multitafsir tidak terulang lagi.

Candra Darusman berharap insiden saling silang antara penyanyi dan pencipta lagu karena regulasi yang multitafsir tidak terulang lagi. (VOI/Ivan Two Putra)

Candra menjelaskan hal-hal yang selama ini menjadi perdebatan terkait pembayaran royalti. Menurut pandangannya, hak mengumumkan dikelola secara kolektif oleh LMK. Alasannya, penagihan royalti akan menjadi tidak efisien jika dilakukan individu pencipta lagu.

Dalam kegiatan yang bersifat komersial, istilah ‘pengguna’ ditujukan untuk penyelenggara kegiatan, bukan penyanyi maupun band, yang menurut Candra disebut ‘para pelaku’.

“UU Hak Cipta di Indonesia menganut aturan bahwa ORANG (perseorangan atau badan hukum) dapat melakukan PENGGUNAAN lagu dalam pertunjukan asalkan memberi imbalan ke pencipta melalui LMK, sebagai wakil pencipta lagu,” tulis Candra.

“Dengan perkataan lain Orang adalah penyelenggara yakni Event Organizer (EO) atau promotor atau panitia. Bukan ‘pelakunya’” kata Candra lagi.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)