Suara Bahlil Seperti Suara Tuhan

JAKARTA – “Para tokoh keagamaan sudah selayaknya mendapatkan perhatian dari pemerintah. Apalagi mereka punya peran penting dalam masa-masa perjuangan melawan penjajah”. Itulah kalimat pembuka dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia soal alasan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) pada ormas keagamaan.

“Di saat Indonesia ini belum merdeka emang siapa yang memerdekakan bangsa ini, di saat agresi militer di tahun 1948 yang membuat fatwa jihad emang siapa? Emang konglomerat? Perusahaan? Yang buat tokoh agama,” lanjut Bahlil di Kantornya, Senin 29 April 2024.

Selain itu, ketika Indonesia mengalami masa sulit karena musibah, para tokoh keagamaan juga selalu sigap dalam membantu pemerintah menyelesaikan persoalan tersebut. “Dari mana hati kita ini? Yang penting kita lakukan dengan baik supaya mereka bisa mengelola dan yang mengelola umat, gak boleh ada conflict of interest, dikelola secara profesional, dicarikan partner yang baik,” terang Bahlil.

Dia menolak anggapan jika ormas keagamaan tidak memiliki kompetensi yang cukup untuk diberikan mandat mengurus sektor tambang. Sebab, para perusahaan yang memiliki IUP juga tidak sepenuhnya dikelola sendiri.

“Perusahaan juga butuh kontraktor, jadi kita bijaksana gitu. Kalau bukan kita yang memperhatikan, organisasi gereja, keagamaan kayak Muhammadiyah, NU, Hindu, Budha siapa yang memperhatikan? Kita kok nggak senang kalau negara hadir membantu mereka, tapi ada yang senang kalau investor kita kasih terus,” tukas Bahlil.

Caption

Dia menjelaskan, IUP yang rencananya akan diberikan pada ormas keagamaan merupakan IUP yang sudah diperintahkan untuk dicabut oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana setidaknya ada 2.078 IUP yang diusulkan untuk dicabut.

IUP yang diberikan untuk berbagai kalangan kelompok masyarakat ini merupakan pemerataan pembagian kepemilikan tambang dengan masyarakat lokal di daerah tersebut. “Pak Presiden itu berpikir bahwa IUP-IUP setelah dicabut yang memang memenuhi syarat diserahkan ke UMKM, BUMD, Koperasi, ya kita kasih, kelompok agama, kita kasih gereja, NU, Muhammadiyah, Buddha, Hindu. Jangan saat Indonesia kacau saja baru kita panggil pemuka agama,” tegas Bahlil.

Pemberian IUP ke ormas bagi sebagian pihak memang dinilai tidak memiliki dasar hukum. Merujuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, tidak ada kata “ormas” di dalamnya. Pasal 38 menyebutkan IUP diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan.

Revisi PP dan Perpres untuk Mengakomodasi Ormas Keagamaan

Namun, pemerintah melihat “celah” untuk memuluskan kebijakan ini, yakni melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) No. 70 tahun 2023 ataupun dalam PP No. 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

Pasal 75 A PP 96/2021 berbunyi (1) Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan pemberian secara prioritas kepada badan usaha swasta. (2) Ketentuan mengenai pemberian secara prioritas kepada badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Dengan adanya revisi aturan tersebut, ormas maupun organisasi keagamaan akan memiliki kesempatan untuk mengelola tambang. Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno menegaskan, hanya ormas keagaamaan yang memenuhi persyaratan dan memiliki kapasitas serta kompetensi untuk melakukan kegiatan pertambangan yang diberikan izin.

“Jadi tidak sembarangan ormas, tetapi harus melalui proses dan harus memiliki kompentensi yang minimal mampu untuk bisa menembus persyaratan yang ditetapkan UU dan Peraturan Pemerintah,” ujarnya, Senin 13 Mei 2024.

Dia mengungkapkan, pertimbangan ormas diizinkan melakukan usaha pertambangan karena ormas keagamaan memiliki fungsi dan peran sosial yang besar untuk masyarakat. Jika mereka memiliki kemampuan mengelola pertambangan, akan memudahkan mereka mampu swakelola organisasinya tanpa harus berharap ke pihak ketiga untuk bisa mendanai kegiatan karena kebutuhan untuk menggerakan organsiasi kemasyarakatan di bidang keagaam yang besar.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sartono Hutomo menyarankan agar pemberian IUP kepada ormas keagamaan harus melalui kajian komprehensif yang mengutamakan kepentingan jangka panjang masyarakat dan lingkungan.

Selain itu, perlu adanya pendampingan secara menyeluruh bilamana rencana untuk membagikan IUP kepada ormas keagamaan benar terealisasi. Dia mengingatkan, dalam pengelolaan tambang banyak aspek yang harus dipahami, mulai dari aktivitas pertambangan sejak eksplorasi, pembangunan infrastruktur, produksi dan risiko bisnis pertambangan.

Sartono menegaskan, ormas keagamaan yang mendapatkan IUP harus membuat badan usaha agar pengelolaan tambang berjalan secara profesional dan tidak memiliki konflik kepentingan. Dengan demikian, tujuan untuk membangun kemandirian organisasi agar bisa terus berkontribusi pada masyarakat dapat tercapai.

“Terpenting adalah pengawasan pemerintah dan lembaga apabila telah memberikan IUP dapat ditingkatkan guna memastikan aktivitas tambang berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (ASPEBINDO), Anggawira mengaku tidak keberatan dengan pemberian IUP pada ormas keagamaan. Menurutnya, langkah pemerintah itu diambil agar masyarakat juga bisa menikmati hasil dari sumber daya yang ada.

“Kita di ASPEBINDO mendukung upaya redistribusi pemberian IUP kepada ormas keagamaan sebagai bentuk redistribusi sumberdaya agar juga bisa dinikmati masyarakat. Namun catatannya pengelolaan harus dilakukan secara profesional,” ujarnya.

Dia mengatakan, pengelolaan tambang harus dikelola secara profesional oleh lembaga keagamaan dengan membentuk badan usaha. Sebab, badan usaha yang dimiliki ormas juga memiliki tujuan untuk membangun kemandirian organisasi untuk bisa terus berkontribusi pada masyarakat.

Tambang (antara)

“Pemberian IUP ini bisa menjadi modal bagi ormas keagamaan untuk mandiri dalam mengembangkan roda organisasi mereka. Tinggal nanti yang perlu diperhatikan adalah tata kelola pemberian izinnya serta prinsip kesetaraan dan pemerataan sumber daya agar proporsional supaya masyarakat turut menikmati sumber daya yang ada hak mereka juga di dalamnya,” tutup Anggawira.

Pemberian IUP ke Ormas Keagamaan Berpotensi Merusak Tata Kelola Pertambangan

Pendapat berbeda dikemukakan anggota Komisi VII DPR, Tifatul Sembiring. Menurut dia, dari aspek kelayakan (feasibility study) dan legalitas, IUP tidak bisa diberikan kepada ormas. IUP semestinya diberikan kepada badan usaha yang sudah terdaftar di Kementerian Energi dan Sumber Daya Miner (ESDM).

Dari aspek teknis, ormas keagamaan sebenarnya bisa menerima pemberian IUP, jika mendirikan atau berkolaborasi dengan perusahaan yang sudah memenuhi syarat sesuai standar pengelolaan pertambangan yang ditetapkan Kementerian ESDM. Dari aspek ekonomi, perlu ditinjau apakah usaha tambang tersebut profitable atau menguntungkan. Apalagi, fluktuasi ekonomi dalam usaha di bidang pertambangan luar biasa.

“Misalnya gini, ada kebijakan pemerintah untuk menyetop PLTU yang bersumber dari batu bara, Itu kan berpengaruh kalau yang dikelola itu adalah pertambangan batu bara, siapa yang mau investasi? Kalau PBNU tentu tidak mungkinlah, tetapi PBNU akan menghubungi pengusaha-pengusaha gitu. Kenapa PBNU tidak akan disibukkan dengan persoalan-persoalan yang seperti ini. Ngurusin umat yang jumlahnya segitu saja saya pikir sudah kerepotan,” papar Tifatul.

Sementara dari aspek operasional, pemberian IUP pada ormas keagamaan perlu dijelaskan kapan dan di mana usaha tambang terkait beroperasi. Pengoperasian pertambangan kemungkinan melibatkan berbagai kesepakatan dengan pemerintah daerah, DPRD, sampai masyarakat setempat. Terlebih, terkait dampaknya seperti lubang bekas tambang tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar juga meminta pemerintah menghentikan pemberian IUP kepada ormas keagamaan. Sebab, dari sisi teknis, mereka dinilai tidak memiliki kapasitas dan pengalaman dalam mengelola tambang, dan pemberian konsensi terhadap organisasi-organisasi tersebut potensial merusak tata kelola pertambangan.

Dia menegaskan, IUP tidak bisa sembarangan diberikan kepada perusahaan yang tidak punya pengalaman mengoperasikan pertambangan. UU Minerba sudah merinci aturan untuk pemberian izin tambang. IUP mineral dan logam, misalnya, harus dilelang kepada perusahaan-perusahaan yang berkompeten.

Karena itu, Bisman menduga pemberian IUP untuk ormas keagamaan merupakan praktik bagi-bagi gula-gula kekuasan. “Jadi jelas bahwa Perpres 70 Tahun 2023 melanggar UU Minerba dan bila terus dijalankan oleh pemerintah ini merupakan abuse of power. KPK harusnya bisa turun tangan,” imbuhnya.

Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Muhammad Jamil juga sepakat bahwa pemberian IUP pada ormas keagamaan yang tidak berpengalaman berpotensi menimbulkan bencana dan merusak lingkungan. Pasalnya, izin tambang meliputi izin lingkungan dan perizinan kawasan hutan.

Selain itu, perusahaan secara finansial harus memiliki keuangan yang cukup dan taat melakukan pembayaran sesuai ketentuan finansial, seperti membayar pajak dan PNBP. Dia menyebut, meski dioperasikan perusahaan berpengalaman, pertambangan mineral dan batubara kerap menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan sosial.

Karena itu, dia pesimistis ormas keagamaan mampu mengelola bisnis pertambangan yang kompleks. “Kerusakan ini bisa lebih parah terlebih lagi bila ini diberikan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kualifikasi dan kemampuan untuk melakukan penambangan. Tambah kacau baik secara lingkungan baik soal sosial,” ungkapnya.

Jamil menyatakan, pemerintah tidak seharusnya membuka ruang bagi organisasi tak kompeten untuk bermain tambang. Jika ngotot, pemerintah seharusnya menetapkan terlebih dahulu secara rinci kualifikasi yang harus dipenuhi agar ormas layak mendapatkan IUP.

“Akan lebih baik bila Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk mencabut Perpres Nomor 70/2023 yang menimbulkan persoalan karena banyak substansinya yang bertentangan dengan UU Minerba,” tandasnya.