Eksklusif, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro Ungkap Pelanggaran HAM 1965-1966 Paling Kompleks
Dari 12 kasus pelanggaran HAM Berat yang sudah diakui pemerintah, pelanggaran HAM 1965-1966 termasuk yang paling kompleks. Penyelesaian perkara ini kata Dr. Atnike Nova Sigiro, MSc., sebagai Ketua Komnas HAM tak harus menggunakan satu cara, kombinasi antara penyelesaian yudisial dan non yudisial adalah solusi yang bisa dilakukan. Yang perlu digarisbawahi penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat ini adalah upaya penegakan keadilan yang sebelumnya terabaikan meski prosesnya tidak bisa sebentar.
***
Komnas HAM kata Atnike mengapresiasi apa yang sudah disampaikan pemerintah tentang pengakuan telah terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ke-12 peristiwa tersebut adalah Peristiwa tahun 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh tahun 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei tahun 1998.
Selanjutnya Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II tahun 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet tahun 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999, Peristiwa Wasior di Papua tahun 2001-2002, Peristiwa Wamena di Papua tahun 2003, serta Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.
Selain ke-12 daftar di atas yang sudah diakui pemerintah, menurut Atnike, Komnas HAM juga sudah menyerahkan empat peristiwa lainnya dari hasil penyelidikan mereka. “Ada empat kasus yang pernah diadili lewat mengadilan HAM. Yaitu Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Timor Timur, Peristiwa Abepura dan Peristiwa Paniai. Mengapa hal ini perlu mendapat perhatian? Karena dari semua peristiwa itu hakimnya membebaskan tersangka, tidak ada tersangka yang terbukti dalam peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut. Akibatnya para korban tidak mendapatkan konpensasi atau restitusi,” ujar Atnike.
Mengapa peristiwa 1965-1966 dikatakan paling kompleks? “Peristiwa 1965 memang yang paling kompleks. Selain itu peristiwa itu sudah sekian lama terjadi. Kejadian itu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dan bentuknya bermacam-macam. Dari segi jumlah juga paling besar. Dan korban peristiwa ini banyak yang sudah meninggal dunia,” katanya.
Pemerintah sudah meluncurkan program non yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang sudah diakui itu. Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, Presiden Jokowi akan melakukan peresmian peluncuran upaya penyelesaian HAM berat secara non yudisial di Aceh pada Juni 2023. Secara bertahap penyelesaian serupa atas pelanggaran HAM lain juga akan dilakukan.
Metode apa pun yang akan diambil untuk menyelesaian pelanggaran HAM berat ini menurut Atnike Nova Sigiro hal itu harus bermakna bagi korban. “Sebagai lembaga, Komnas HAM tidak bisa mengeluarkan pernyataan peristiwa 1965-1966 ini hanya bisa diselesaikan dengan cara non yudisial atau sebaliknya. Semua harus dikembalikan kepada para korban,” tegasnya kepada Edy Suherli, Savic Rabos, dan Rifai saat ditemui VOI di kantor Komnas HAM Jakarta belum lama berselang. Inilah petikannya.
Presiden Jokowi menyesalkan telah terjadi 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, bagaimana Anda sebagai Ketua Komnas HAM sudah menyikapi hal ini?
Setelah Presiden mengeluarkan pernyataan terkait telah terjadi pelanggaran HAM berat dan menyesalkan peristiwa tersebut, Komnas HAM memberikan beberapa sikap. Kami mengapresiasi pernyataan dan penyesalan Presiden Jokowi yang mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat. Ini adalah langkah maju di tengah terhentinya berkas hasil penyelidikan yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Kami juga meminta komitmen presiden melalui mekanisme yudisial.
Kami mengapresiasi presiden yang membentuk gugus tugas sebagai kelanjutan dari hasil laporan tim TPP-HAM (Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia). Kami merekomendasikan agar tindak lanjut dari laporan itu dilakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan, di antaranya kelompok korban, organisasi HAM pendamping korban, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan LPSK. Proses konsultasi itu dapat memberikan masukan terkait bentuk pemulihan yang bisa diterima para korban pelanggaran HAM berat.
Apa ada komunikasi antara Komnas HAM dengan Menko Polhukam Mahfud MD soal ini?
Kami masih berkomunikasi dengan Pak Mahfud MD. Kami minta laporan lengkap dari TPP-HAM. Dan Komnas HAM menyatakan siap untuk mengawal proses selanjutnya. DPR RI juga merekomendasikan agar Komnas HAM mengawal hasil laporan TPP-HAM ini.
Apa yang akan diusulkan Komnas HAM untuk mengawal kasus ini?
Kami melakukan konsultasi dengan kelompok korban, dan organisasi masyarakat sipil yang concern pada penegakan HAM. Kami akan sampaikan kepada pemerintah kalau sudah selesai. Yang perlu dicatat, bentuk pemulihan itu bisa bermakna bagi korban.
Dari ke-12 pelanggaran HAM berat itu, peristiwa 1965-1966 adalah yang paling kompleks, bagaimana Anda melihatnya?
Peristiwa 1965-1966 memang yang paling kompleks. Selain itu peristiwa itu sudah sekian lama terjadi. Kejadian itu terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dan bentuknya bermacam-macam. Dari segi jumlah juga paling besar. Dan korban peristiwa ini banyak yang sudah meninggal dunia.
Kalau dikatakan ada penyelesaian, dalam arti tak ada masalah lagi setelah itu, saya rasa itu tidak mungkin. Misalnya stigma kalau mereka adalah pemberontak. Lalu yang masih hidup banyak sekali yang ingin nama baik mereka dipulihkan. Banyak dari mereka yang kesehatannya menurun, bukan hanya karena usia tapi karena pengalaman fisik dipenjara atau disiksa. Ini bisa dilakukan pemulihan melalui pelayanan kesehatan.
Apalagi yang krusial untuk peristiwa 1965-1966?
Peristiwa 1965-1966 masih menyisakan stigma dan trauma yang perlu dihadapi. Agar korban dan generasi penerusnya tidak dihantui peristiwa itu. Penulisan sejarah dan upaya rekonsiliasi harus terus didorong meski ini tidak mudah dilakukan. Dibutuhkan kesediaan dan keterbukaan dari semua pihak untuk menerima masa lalu dan menatap masa depan yang lebih baik.
Mengapa solusi rekonsiliasi tidak digencarkan untuk menyelesaikan masalah pelik ini?
Saya rasa banyak pihak memandang untuk peristiwa 1965-1966 mekanisme non yudisial lebih cocok sebagai solusi. Mengingat kompleksitas peristiwa dan kejadiannya sudah tejadi begitu lama. Tapi saya tidak bisa menjamin apakah semua akan menerima solusi ini, karena berhubungan dengan nama baik dan rekonsiliasi dengan keluarga. Sebagai Lembaga Komnas HAM tidak bisa mengeluarkan pernyataan peristiwa 1965-1966 ini hanya bisa diselesaikan dengan cara non yudisial atau sebaliknya. Semua harus dikembalikan kepada para korban. Kita lihat saja apakah solusi ini akan diterima atau tidak oleh para korban.
Selain peristiwa 1965-1966 apa lagi yang menjadi perhatian Komnas HAM?
Kami tidak memberikan prioritas di antara ke-12 peristiwa pelanggaran HAM itu. Bagi kami semuanya sama pentingnya dan perlu solusi. Kalau mekanisme non yudisial apakah tawaran solusi dari pemerintah konkret dan bermakna menjawab kebutuhan korban. Kalau ya, saya optimis korban akan berpartisipasi. Kalau tidak jelas, saya tidak yakin mereka akan berpartisipasi. Sekarang berkas sudah diserahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung, kita lihat apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Selain 12 kasus pelanggaran HAM berat tadi, apa masih ada kasus lain yang disorot Komnas HAM?
Ada empat kasus yang pernah diadili lewat mengadilan HAM. Peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Timor Timur, peristiwa Abepura dan peristiwa Paniai. Mengapa hal ini perlu mendapat perhatian? Karena dari semua peristiwa itu hakimnya membebaskan tersangka, tidak ada tersangka yang terbukti dalam peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut. Akibatnya para korban tidak mendapatkan konpensasi atau restitusi. Kepada Presiden Jokowi dan Pak Mahfud MD kami sampaikan para korban dari empat peristiwa ini juga berhak mendapatkan pemulihan. Ada satu lagi kasus yang tidak masuk dalam lingkup TPP HAM 2000-2020, karena baru diselidiki tahun 2021. Yaitu kasus Timang Gajah, Bener Meriah, Aceh. Kalau ini bisa disidangkan itulah harapan kami.
17 kasus ini tidak sedikit dan bobotnya maha berat, bagaimana optimisme Anda untuk menuntaskannya?
Menyelesaikan pelanggaran HAM berat itu tidak pernah mudah. Kesulitan dalam menghadapi pelanggaran HAM berat dan serius dan terjadi di berbagai wilayah dalam kurun waktu yang panjang, dihadapi juga oleh bangsa-bangsa lain. Tidak cukup waktu 5 sampai 10 tahun, butuh sangat panjang, bahkan pengalaman di Jerman menyelesaikan kasus Nazi itu lintas generasi. Kami mengharapkan Indonesia juga harus siap mengatasi hal ini hingga masa yang akan datang. Komnas HAM harus menjaga agar upaya untuk pemulihan hak asasi dapat terus berjalan. Kita harus selalu optimis, memang banyak tantangan, tapi jangan menyerah. Siapa yang menduga kalau awal tahun 2023 ini Presiden Jokowi menyampaikan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat. Semoga pemerintah dan semua pihak dapat menemukan jalan untuk pemulihan pelanggaran HAM, dan korban bisa mendapatkan keadilan.
VOIR éGALEMENT:
Kalau dalam pelanggaran HAM berat ini ada yang menyangkut sosok-sosok yang akan berkompetisi dalam kontestasi politik baik di tingkat nasional atau daerah, apakah Komnas HAM akan memanggil kembali?
Penyelidikan yang kami lakukan sudah selesai atas 17 kasus itu. Langkah selanjutnya adalah penyidikan oleh Kejaksaan Agung. Kecuali jika nanti diperlukan untuk penyelidikan kembali. Komnas HAM tidak bisa melakukannya sendiri, harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung. Pengalaman menghadapi masa lalu, sama seperti bangsa lain, menghadapi bangsa sendiri. Di mana orang-orang yang dulu punya kekuasaan menjadi bagian dari masa kini atau masa yang akan datang. Di situlah kompleksitas penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Makanya sering penyelesaian dilakukan dengan non yudisial, karena harus duduk bersama.
Penyelesaiannya bukan hanya antara korban dan pelaku, semua pihak elemen bangsa terlibat. Peristiwanya sangat beragam, kasusnya berbeda dan kondisi yang dialami juga berbeda. Di kalangan para korban juga berbeda pandangannya soal keadilan atau harapan yang mereka inginkan. Ada yang butuh penyelesaian yudisial, ada yang butuh pemulihan nama baik. Dan ada juga yang butuh pemulihan materi, kesehatan, beasiswa untuk keturunan. Pemerintah harus menghormati keinginan para korban.
Apakah Komnas HAM melakukan pemantauan meski berkasnya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung?
Kami tetap memantau proses penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Fokus kami pada bagaimana proses ini tetap berlanjut.
Adakah langkah preventif yang bisa dilakukan agar ke depan pelanggaran HAM berat tidak terjadi?
Salah satu rekomendasi TPP-HAM adalah pencegahan keberulangan. Presiden Jokowi juga menegaskan agar peristiwa kelam serupa tak terjadi lagi. Yang bisa dilakukan ada memorialisasi, bukan untuk mengenang kekerasannya namun untuk mengingatkan bangsa ini agar tak mengulangi pelanggaran HAM serupa. Langkah lain adalah penguatan kurikulum pendidikan. Misalnya mendiskriminasi seseorang karena perbedaan pandangan politik itu adalah pelanggaran HAM. Apalagi sampai memenjarakan atau menghilangkan nyawa orang di luar proses hukum. Itu harus diajarkan ke genarasi sekarang. Bagaimana materi ini juga diajarkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah prajurit TNI/Polri dan ASN. Pendidikan mengenai hak asasi manusia inilah yang bisa menjadi nilai baru nanti, sehingga setiap orang di republik ini bisa berkata kalau kita harus bebas dari pelanggaran HAM berat.
Sekarang era revolusi 4.0, bagaimana Komnas HAM menggunakan medsos untuk sosialisasi?
Medsos itu memberikan ruang ekspresi yang nyaris tak terbatas. Dulu kita baru tahu ada kerusuhan atau peristiwa setelah sekian jam atau bahkan esok hari. Sekarang hanya dalam hitungan menit kita sudah tahu. Persoalannya tahu lebih cepat itu tidak berarti tahu lebih benar. Sekarang itu problem yang mengiringi adalah post truth atau hoaks. Apalagi kalau sebaran kabar di medsos itu disertai dengan ujaran kebencian. Inilah tantangan dari menggunakan ruang kebebasan di masa revolusi 4.0 ini. Kalau medsos ini digunakan untuk menyebarkan kebaikan dan sosialiasi HAM tentu akan lebih baik. Sekarang banyak gerakan HAM menggunakan medsos sebagai plat form untuk edukasi, kampanye dan berjejaring. Selalu ada dua sisi dari kemajuan teknologi, ada sisi negatif dan ada juga peluang.
Di era teknologi ini Komnas HAM juga hadir di dunia digital melalui PUHBA (Publikasi HAM Berbasis Android). Kami punya Pusda HAM (pusat data Hak Asasi Manusia) dan perpustakaan online serta pengaduan masyarakat juga lewat online. Ini memang tak terelakkan. Warga di Aceh, Papua atau pelosok lainnya tak perlu repot datang ke kantor Komnas HAM untuk mengadu, cukup lewat online.
Gara-gara Pandemi COVID-19 Atnike Nova Sigiro Jadi Suka Drama Korea
Pandemi COVID-19 membuat ruang gerak Dr. Atnike Nova Sigiro, MSc., sebagai Ketua Komnas HAM. Kegiatannya banyak dilakukan dari rumah. Setelah pekerjaan selesai ia mencari kesibukan lain. Salah satunya adalah menonton film dan drama Korea (drakor). “Aktivitas saya setelah tugas utama selesai ya nonton drakor,” akunya.
Namun tak sembarang drakor yang disuka Atnike. Bukan drakor yang dominan menyuguhkan kecantikan dan kegantengan pemainnya serta kemegahan setting cerita, namun ia lebih suka pada drakor yang punya sisi menarik dari sudut cerita dan sinematografi. Jadi tak hanya film sebagai tontonan, tapi ada pesan yang bisa diambil dibalik tontonan itu.
Awalnya Atnike tak suka dengan film atau drama dari Korea. Ia suka menonton film yang tayang di bioskop, seperti film Hollywood, film Eropa dan film Nasional. “Sebelumnya saya memang enggak suka dengan drakor. Namun saat pandemi saya banyak nonton film mencari-cari film dari rumah lewat OTT yang menyediakan beragam jenis film, termasuk film Korea dan negara Asia Timur lainnya,” ungkap Dosen Program Pascasarjana Diplomasi, Universitas Paramadina ini.
Ternyata ia suka dengan film dan drama dari Negeri Gingseng itu. Dari satu film dan seterusnya entah sudah berapa film yang ia tonton. “Saya melakukan percepatan nonton drakor selama pandemi. Saking banyaknya drakor yang saya tonton saya berani bertarung dengan mereka yang sudah sepuluh tahun nonton drakor,” katanya dengan nada canda soal kesukaannya dengan nonton hasil karya sineas dan aktor Korea.
Kalau ada sistem kebut semalam, seperti itulah yang dilakoni Atnike. “Saking semangatnya saya sampai begadang nonton drakor. Satu cerita bisa saya tuntaskan semalam. Selain film Korea saya juga suka film dari negara Asia Timur lainnya; Jepang, dan Mandarin,” lanjut Atnike yang berlangganan beragam OTT (Over The Top) di rumahnya. Anaknya berlanganan OTT yang menyediakan film kartun, sedangkan suaminya lebih banyak konten olahraga sedangkan dirinya memilih konten film.
Setelah pandemi melandai dan bioskop sudah buka. Atnike, bersama suami dan anaknya kembali bisa melakoni hobi yang dulu sempat tertunda karena pandemi. “Nonton film di bioskop itu memang puas, karena visual dan tata suara yang lebih megah,” tukas perempuan yang sempat bertugas sebagai Manajer Program Advokasi HAM ASEAN dan Asia Timur The Asia Forum for Human Rights and Development (FORUM ASIA), Jakarta & Bangkok (2010-2012, 2013-2017).
Lalu apa yang membuat anda suka dengan drakor? “Saya juga suka film Hollywood dan film Eropa, namun saat saya menonton film Korea dan Asia lainnya itu secara kultural lebih dekat. Film Hollywood lebih individual, sedangkan kalau kita lihat film Asia, manusia itu satu sama lain terkait. Problem yang dihadapi dan disuguhkan dalam dari kedua latar itu juga berbeda,” kata penyuka film Hollywood Law and Order ini.
Dari sekian banyak film Korea yang sudah ditonton ini daftar yang menurut Atnike terbaik adalah Reply 88 dan Stranger. “Replay 88 film televisi tapi kualitasnya seperti movie. Itu dari sisi cerita, latar, musik, akting pemain semua diriset dengan cermat. Hasilnya ya bagus banget. Ibaratnya film Bajaj Bajuri dan Si Doel namun dalam versi sophisticated. Yang belum nonton harus nonton deh,” serunya.
Berbagi Perhatian
Diakui Atnike Nova Sigiro setelah menjadi Ketua Kombas HAM waktu dan perhatian untuk keluarga jauh berkurang. Soalnya dia benar-benar fokus untuk tugasnya di Komnas HAM dan juga sebagai dosen. “Sebelumnya saya masih sempat antar jemput anak saya sekolah dan les, sekarang mana sempat,” katanya.
Bukan hanya perhatian untuk keluarga, kegiatan yang bersifat hobi yang biasa dilakukan bersama keluarga dan perorangan juga tak bisa dilakukan. “Dulu saya masih sempat nonton bareng bersama suami dan anak ke bioskop kalau ada film yang disuka saat akhir pekan. Sekarang engga bisa, karena akhir pekan kadang saya ada tugas ke luar kota,” ungkap Direktur Eksekutif & Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan (2017-2021) ini.
Selain itu olahraga juga harus dikorbankan dan tak bisa dilakukan. “Untuk berolahraga yang benar itu kita harus mendedikasikan waktu sekitar 3 jam. Saat ini saya sudah tak bisa menyediakan waktu sebanyak itu lagi,” kata Atnike yang suka bersepeda, tenis dan Muay Thai.
Tidur yang Cukup
Kesibukan di kantor dan berbagai aktivitas lainnya membuat waktu istirahat dan tidur Atnike berkurang. Karena itu ia merasa bahagia dan mendapatkan sesuatu yang mewah saat bisa tidur yang cukup. “Di luar tugas kantor, hiburan saya itu olahraga, nonton film dan tidur. Tapi untuk saat ini, saya bisa dapat waktu untuk tidur yang cukup itu adalah luxury banget,” akunya.
Soalnya kesibukan yang intensitasnya meningkat membuat waktu istirahatnya ikut terkoreksi. Karena itu saat ada tugas ke luar kota pun setelah misi selesai dan punya waktu luang, ia akan gunakan untuk tidur. “Dulu saat ada tugas luar kota usai acara utama biasanya jalan-jalan. Tapi sekarang tidak lagi, tidur adalah target saya. Kecuali ada yang perlu sekali,” kata perempuan yang menyelesaikan S-3 di Fisip Universitas Indonesia ini.
Soalnya kalau di rumah, dia harus bangun pagi saat anaknya berangkat sekolah. “Suatu saat kami tidak ada ART di rumah. Ya sudah sebagai ibu saya yang harus ambil alih tugas. Di kantor saya boleh Ketua Komnas HAM, tapi di rumah kan sebagai ibu, menyiapkan sarapan untuk anak dan suami harus saya lakukan,” katanya.
Saat ART sudah kembali bertugas, Atnike Nova Sigiro tetap bangun meski sebagian tugas dibantu ART. “Karena tugas menyiapkan sarapan sudah dibantu ART saya menemani dan memotivasi anak saya untuk bangun dan belajar dengan baik,” lanjutnya.
"Peristiwa 1965-1966 masih menyisakan stigma dan trauma. Agar korban dan generasi penerus tidak dihantui peristiwa itu, penulisan sejarah dan upaya rekonsiliasi harus terus didorong meski ini tidak mudah dilakukan. Dibutuhkan kesediaan dan keterbukaan dari semua pihak untuk menerima masa lalu dan menatap masa depan yang lebih baik,"