JAKARTA - Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menilai bertambahnya angka COVID-19 yang disumbangkan dari klaster perkantoran akibat tak terarahnya kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan tak terbukanya para pengusaha terhadap kondisi kantor mereka.

"Masalah aspek transparansi ini tidak clear. Dari Pemprov DKI kebijakannya tidak terarah dan banyak pimpinan perkantoran yang menutup diri tidak transparan dan terbuka," kata Trubus saat dihubungi VOI, Rabu, 29 Juli.

Menurut dia, tidak terarahnya kebijakan inilah yang kemudian membuat pengawasan terhadap kegiatan perkantoran aman COVID-19 tidak terlaksana. Trubus menilai, pengawasan dari Pemprov DKI Jakarta yang dilakukan oleh Disnaker DKI Jakarta hanya terlihat garang di tatanan aturan tapi tidak implementasinya.

"Harusnya dia (Disnaker DKI Jakarta) langsung implementasi ke lapangan. Berkoordinasi dengan Satgas COVID-19 di masing-masing kantor untuk memastikan protokol kesehatan di sana dan mengawasinya," tegas Trubus sambil menjelaskan saat ini implementasi pembentuk Satgas COVID-19 di tiap perkantoran tampaknya tidak berjalan.

Adapun pembentukan satgas ini tertuang dalam Surat Keputusan Dinas Tenaga Kerja Nomor 1363 Tahun 2020 tentang Protokol Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Perkantoran atau Tempat Kerja pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif.

Sementara pihak kantor, kata Trubus, juga ikut ambil bagian dalam penularan COVID-19 karena mereka tertutup ketika ada pasien mereka yang terjangkit.

"Banyak pihak kantor yang menutupi, enggak mau membuka diri terutama swata. Banyak yang enggak mau terbuka ketika karyawannya terpapar," ujar dia.

Bukan hanya perusahaan, Trubus menilai banyak pegawai kantor yang tak terbuka saat dirinya dinyatakan terjangkit COVID-19 karena ketakutan dipecat. "Jadi kenapa karyawan enggak mau lapor kalau dia terjangkit COVID, mungkin yang terbayang dibenaknya adalah keresahan kalau nanti mereka di-PHK," ungkapnya.

Pimpinan kantor abai

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman juga angkat bicara soal banyaknya perkantoran khususnya di wilayah DKI Jakarta yang menjadi klaster penyebaran COVID-19. Kata dia, klaster perkantoran ini sebenarnya muncul dari perusahaan yang dipimpin oleh seseorang yang abai dan menganggap pandemi COVID-19 ini bukanlah hal yang serius.

"Kita melihat masih banyak yang abai dan yang harus diwaspadai adalah pimpinan perusahaan atau kantor yang abai karena mungkin dia pengikut paham COVID-19 itu bukanlah hal serius. Padahal pandemi ini sangat serius," kata Dicky.

Dia menilai, paham-paham semacam ini kemudian akan menjadi permasalahan. Sebab, jika mereka memiliki kewenangan tertinggi di perkantoran maka mereka akan memaksa anak buahnya untuk tetap masuk dan bekerja seperti biasa.

Padahal, sambung Dicky, perkantoran merupakan tempat yang paling rawan penyebaran COVID-19 karena beberapa hal termasuk ruangan dengan penyejuk udara. 

Ahli ini mengatakan, ruangan tertutup di perkantoran memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar. Selain itu, berbagai benda di kantor seperti meja, kursi, gagang pintu, maupun tombol elevator bisa menjadi sarana penularan virus.

"Sehingga harusnya dari awal benar-benar dipastikan bahwa orang-orang dengan penyakit komorbid enggak boleh bekerja di kantor," tegas dia.

Diketahui, jelang berakhirnya masa PSBB transisi di DKI Jakarta penambahan kasus COVID-19 dari klaster perkantoran semakin bertambah.

Berdasarkan laporan anggota Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah, klaster COVID-19 pada lingkup perkantoran di DKI Jakarta bertambah menjadi 90 klaster. Dari klaster ini, ada 459 pegawai yang terkonfirmasi kasus COVID-19.

"Kalau kita lihat, angkanya bertambah 10 kali lipat. Selama masa PSBB awal, di mana hampir semua pegawai bekerja di rumah memang hanya ada 43. Tapi, ternyata saat PSBB transisi ini bertambah 416 menjadi 459," ungkap Dewi dalam diskusi di Graha BNPB, Jakarta Timur, Rabu, 29 Juli.

Rinciannya, ada 20 klaster yang memiliki 139 kasus di sejumlah kementerian, 10 klaster yang memiliki 25 kasus di badan atau lembaga, 34 klaster yang memiliki 141 kasus di  kantor di lingkungan Pemda DKI.

Selanjutnya, ada 1 klaster yang memiliki 4 kasus di kantor kepolisian, 8 klaster yang memiliki 35 kasus di BUMN, dan 14 klaster yang memiliki 92 kasus di kantor swasta. 

Meski begitu, Dewi tidak menyebut kantor mana saja yang menjadi klaster penyebaran COVID-19. "Ini bukan cerita kantornya siapa, punya pemerintah atau bukan, bukan itu sebetulnya. Di mana saja bisa kejadian. Sebab, ketika sudah mulai beraktivitas, pasti risikonya lebih tinggi," ujarnya.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)