JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta jajarannya untuk mempersiapkan strategi pemberian vaksin COVID-19 dan strategi ini, paling tidak harus tersedia dalam dua pekan mendatang. Menanggapi hal tersebut, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan, pemerintah seharusnya tidak terburu-buru mengenai pemberian vaksin COVID-19 kepada masyarakat.

Menurutnya, pemerintah tidak boleh hanya terkesan menangani pandemi ini hingga vaksin ini dapat dinikmati masyarakat umum. Karena pandemi COVID-19 tidak hanya bisa diatasi dengan menunggu hadirnya vaksin untuk memperkuat daya tahan tubuh manusia.

"Tidak bisa menunggu vaksin ya, dan sekali lagi belum ada sejarah pandemi itu selesai karena vaksin. Belum ada dan kuat kemungkinan pandemi ini sama, tidak akan selesai dengan vaksin," kata Dicky saat berbincang dengan VOI, Selasa, 29 September.

Pandemi COVID-19 ini, kata dia, bisa saja  akan mereda di tahun yang akan datang. Namun, menuju ke arah tersebut, pemerintah tak boleh membiarkan masyarakat yang sehat menjadi sakit kemudian mengalami dampak atau efek samping karena paparan virus ini atau bahkan meninggal dunia karena tidak mendapatkan penanganan serius.

Apalagi, virus ini menyebar secara cepat sehingga harus segera dilakukan tindakan pencegahan yang lebih preventif seperti pelacakan, pengujian, hingga isolasi mandiri, bahkan perubahan perilaku di tengah masyarakat untuk menaati protokol kesehatan. Katanya, cara ini lebih efektif ketimbang pemerintah setengah hati dalam melaksanakan hal tersebut namun lebih terfokus pada pengadaan vaksin COVID-19.

"Tidak bisa (menggampangkan, red) karena tidak boleh mengandalkan pada produk vaksin pada obat yang belum ada guarantee atau jaminan," tegasnya.

Lagipula, saat ini vaksin COVID-19 yang sedang digadang-gadang oleh pemerintah akan bisa segera disuntikkan kepada masyarakat pada 2021 tersebut masih sangat jauh dari proses produksi. 

"Vaksin itu bukan setelah tahap tiga kemudian langsung, bukan. Jadi ini masih akan ada tahapan panjang. Sekali lagi, dari vaksin yang diuji coba semuanya belum ada satupun yang bisa kita prediksi, terlalu dini untuk kita prediksi. Tapi bahwa memang perlu ada negosiasi awal itu tidak apa-apa," ungkapnya.

"Jadi paradigma dalam pengendalian penyakit termasuk COVID-19 ini harusnya preventif bukan kuratif. Karena yang namanya angka kesakitan, kematian, akan terus terjadi," imbuh dia.

Sebelumnya, dalam rapat terbatas bersama Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Presiden Jokowi meminta pemberian vaksin COVID-19 kepada masyarakat segera disiapkan rencananya. Dia bahkan menargetkan dua pekan mendatang, sudah jelas strategi apa yang akan digunakan dalam pemberian vaksin.

"Saya minta untuk rencana vaksinasi, rencana suntikan vaksin itu direncakan secara detail seawal mungkin. Saya minta dalam dua mingggu ini sudah ada perencanaan yang detail," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas bersama Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 28 September.

Persiapan yang dimaksud Jokowi yakni mengenai dimulainya pemberian vaksin, lokasi pemberian vaksin, petugas pemberi vaksin, dan siapa penerima vaksin pertama.

"Semuanya harus terencana dengan baik. Sehingga saat vaksin itu ada tinggal langsung implementasi pelaksanaan di lapangan," tegasnya.

Diketahui, dalam mengupayakan keberadaan vaksin COVID-19 di Indonesia, pemerintah telah melakukan kerja sama dengan sejumlah pihak. Kerja sama pengembangan vaksin ini dilakukan melalui perusahaan BUMN dan salah satunya adalah PT Bio Farma (Persero).

Perusahaan pelat merah tersebut kini tengah melakukan uji coba tahap ketiga vaksin COVID-19 yang merupakan hasil kerja sama dengan produsen vaksin asal China, Sinovac. Hingga 2021, Sinovac berkomitmen untuk menyuplai ke Biofarma sebanyak 210 juta dosis bahan baku vaksin. Sedangkan pihak Kementerian BUMN menyebut Biofarma mampu memproduksi 350 juta dosis di 2021. 

Selanjutnya ke depan ada juga kerja sama antara PT Kimia Farma Tbk dan PT Indofarma Tbk (Persero) dengan G42 yang merupakan perusahaan kesehatan di Uni Emirat Arab (UEA) berbasis Kepintaran Buatan (AI) untuk mendatangkan produk vaksin sebanyak 10 juta di akhir tahun.

Kerja sama lainnya juga tengah dijajaki dengan Genexine, CanSino, dan AstraZeneca, pemerintah tengah menjajaki kerjasama dengan perusahaan farmasi lainnya, Pfizer, Johnson & Johnson, dan Novafax. Ditambah mekanisme kerjasama multilateral dengan Unicef dalam kerangka CORVAX Facility yakni berupa jaminan akan kecepatan, ketersediaan, dan pengiriman vaksin.


The English, Chinese, Japanese, Arabic, and French versions are automatically generated by the AI. So there may still be inaccuracies in translating, please always see Indonesian as our main language. (system supported by DigitalSiber.id)