Eksklusif, Ketum PGI Jacklevyn Frits Manuputty: Natal Harus Menegaskan Kesederhanaan yang Paripurna
Esensi Natal menurut Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty adalah kesederhanaan. Perayaan Natal 2024 yang mengusung tema “Kembali ke Bethlehem”, katanya, juga mengandung makna kesederhanaan yang paripurna. Allah yang datang dalam wujud bayi kecil adalah simbol kesederhanaan.
***
Tema Natal yang mengajak umat untuk kembali ke esensi Natal yang sesungguhnya ini amat relevan dengan situasi dan kondisi kekinian. “Dalam perjalanannya, Natal mengalami pergeseran yang luar biasa. Dan itu menggeserkan kita dari hakikat Natal sesungguhnya yang mestinya membawa kita pada sukacita yang sempurna. Bahwa kita dipedulikan oleh Allah yang bersolider mengambil bagian dari rupa kita. Ini suatu hal yang menjangkarkan sukacita dan syukur kita saat Natal. Bangun itu dalam sikap kontemplatif dan kita nyatakan itu dalam relasi yang sederhana dan penuh makna pada orang lain yang membutuhkan,” serunya.
Pendeta Jacky Manuputty – begitu ia kerap disapa – mengkritik pihak-pihak yang alpa pada esensi Natal dan cenderung mengedepankan hal-hal yang artifisial. “Jangan sampai kita terjebak dalam keriuhan dan komersialisasi Natal yang membuat orang hanya ingar-bingar dan kehilangan makna Natal yang sebenarnya,” katanya mengingatkan.
Selain itu, kepedulian pada lingkungan dan situasi sekitar juga harus menjadi implementasi dalam keseharian. Inilah, lanjut Jacky, yang dipraktikkan Kekristenan sejak masa-masa awal hadirnya. “Saat itu pandemi terjadi di Kekaisaran Romawi, banyak penduduk yang mengungsi. Peran umat Kristen yang memberikan bantuan tercatat secara sejarah, bahkan ketika gereja berada dalam posisi yang sulit. Itu prinsip dasar yang dipegang gereja,” tegasnya.
Di beberapa wilayah yang terkena bencana di Jawa Barat belakangan ini dan daerah lainnya, PGI melalui divisi khusus yang dimilikinya langsung bergerak mengulurkan bantuan. “Kami tidak sendiri, juga bekerja sama dan berjejaring dengan organisasi lain bahkan yang lintas iman untuk membantu saudara kita yang terdampak bencana,” kata Jacklevyn Frits Manuputty kepada Edy Suherli, Bambang Eros, dan Dandi Juniar dari VOI yang menemuinya di kantor PGI, Jalan Salemba Raya, Jakarta Pusat, Jumat, 20 Desember. Inilah petikan selengkapnya.
Bagaimana PGI mempersiapkan umat menghadapi Natal tahun ini, terutama dalam menjaga semangat kebersamaan di tengah tantangan global?
Kami tidak ada persiapan khusus menyambut Natal tahun ini. Soalnya, perayaan Natal tahun 2024 ini kurang lebih sama dengan tahun sebelumnya. Kecuali di masa pandemi COVID-19 yang lalu, persiapan lebih spesifik. Selain ada yang datang dalam jumlah terbatas, kami juga membuat perayaan secara daring untuk yang tidak bisa hadir. Jadi, untuk tahun ini perayaan Natal kami lakukan seperti biasa. Karena teman-teman kantor juga merayakan Natal di gereja masing-masing, di kantor kami membuat perayaan kecil seperti Minggu Advent yang dilakukan sebelum libur. Kami memberikan pesan Natal untuk umat melalui gereja-gereja yang menjadi anggota PGI.
Dunia sekarang sedang tidak baik-baik saja. Timur Tengah perang, Rusia dan Ukraina sudah dua tahun belum juga berhenti perang, dan Asia Timur juga tensinya terus meningkat. Bagaimana menyikapi keadaan ini dalam konteks perayaan Natal?
Secara global memang seperti itu kondisinya, tapi secara nasional juga ada yang bergejolak. Jangan kita lupakan Papua. Kami meminta kepada gereja-gereja untuk punya rasa empati, solidaritas, dan mendoakan mereka. Kami mengajak umat untuk lebih kontemplatif. Di tempat di mana Natal itu terjadi ribuan tahun yang lalu, sekarang ini sedang tercabik-cabik dan terjadi proses dehumanisasi dan kehancuran kemanusiaan. Kami mengajak umat untuk merayakan Natal tidak dengan berlebihan. Kita harus merayakan Natal dengan solidaritas dan keprihatinan yang tinggi terhadap dinamika konflik dan peperangan serta bencana di berbagai wilayah dan belahan dunia.
Jadi kita berempati pada banyak kejadian secara global, namun tindakan kita diutamakan di level lokal?
Ya, kita harus bertindak pada tataran yang paling dekat dengan kita. Masih ada kekerasan di wilayah kita. Bahkan mungkin ada yang terjadi di rumah tangga dan keluarga kita. Panggilan Natal itu sejatinya adalah panggilan solidaritas, panggilan kepedulian yang kita nyatakan dalam berbagai bentuk dan kapasitas yang kita punya. Kalau kapasitas kita hanya bisa mendoakan, doakanlah dengan sungguh-sungguh.
Tadi Anda bilang merayakan Natal itu tak perlu secara berlebihan, seperti apa implementasinya?
Tema Natal 2024 yang dikeluarkan PGI dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) adalah Marilah Kita Pergi ke Bethlehem. Ini punya refleksi yang amat mendalam. Bethlehem adalah tempat yang kecil dan sederhana. Tempat yang tidak wah dibandingkan dengan Yerusalem atau Roma sebagai pusat pemerintahan saat itu. Bethlehem mengingatkan kita pada apa yang disampaikan dalam Perjanjian Lama. Kota yang kecil dipilih menjadi besar. Jadi, seluruh elemen Natal harus menegaskan kesederhanaan yang paripurna. Allah yang datang dalam wujud bayi kecil yang dibaringkan dalam palungan dan dibungkus dengan kain lampin. Ini semua adalah simbol kesederhanaan. Allah yang solider dengan manusia. Dan kesederhanaan bukan semata diukur dari materi yang kita gunakan. Yang paling penting, kesederhanaan itu berpusat dari hati. Allah yang menghampiri dan mengungkapkan cintanya yang paripurna, yang tanpa syarat dan tanpa batas. Itu adalah kesederhanaan agung yang harus kita terima dan syukuri. Dan ini kita nyatakan dalam relasi dengan sesama manusia dan lingkungan hidup.
Inilah esensi Natal, bukan makan dan minum atau pestanya?
Dalam perjalanannya, Natal mengalami pergeseran yang luar biasa. Dan itu menggeserkan kita dari hakikat Natal sesungguhnya yang mestinya membawa kita pada sukacita yang sempurna. Bahwa kita dipedulikan oleh Allah yang bersolider mengambil bagian dari rupa kita. Ini suatu hal yang menjangkarkan sukacita dan syukur kita saat Natal. Bangun itu dalam sikap kontemplatif kita dan kita nyatakan itu dalam relasi yang sederhana dan penuh makna pada orang lain yang membutuhkan. Jangan sampai kita terjebak dalam keriuhan dan komersialisasi Natal yang membuat orang hanya ingar-bingar dan kehilangan makna Natal yang sebenarnya.
Bagaimana gereja berkoordinasi dengan aparat keamanan untuk menjaga keamanan dalam momen perayaan Natal tahun ini?
Dalam skala yang paripurna, gereja harus selalu berkoordinasi dengan lingkungan sekitar. Kalau gereja sudah bisa menjadi sahabat terhadap komunitas-komunitas yang lain dalam keseharian, tidak perlu menunggu peristiwa khusus; spontanitas itu akan muncul. Karena itu banyak ormas, yang tanpa permintaan gereja pun mereka datang dan menawarkan diri untuk menjaga keamanan, dll. Saya kira itu adalah karakter dasar dalam keguyuban budaya kita: saling mengunjungi, menjaga, dan memelihara. Memang ada kasus-kasus spesial untuk diamati, seperti kekerasan dan intoleransi. Saya kira dalam perayaan Natal, gereja punya pengamanan internal, dan kita percayakan juga kepada aparat keamanan yang memang punya tugas untuk mengamankan perayaan tahunan seperti Natal. Dalam persaudaraan sebangsa dengan komunitas non-Kristiani, kita rawat kebersamaan. Mereka bisa membantu menjaga keamanan saat Natal berlangsung.
Indonesia ini negara yang majemuk. Dari Maluku, kampung halaman Bung Jacky, apa yang bisa diadopsi untuk merawat kemajemukan dalam lingkup nasional?
Indonesia ini besar sekali. Kita tidak bisa mengklaim dari kasus-kasus intoleransi yang muncul di media dan mengambil kesimpulan bahwa Indonesia seperti itu. Di sini terjadi intoleransi dalam pembangunan rumah ibadah, namun di tempat lain, pembangunan rumah ibadah dirayakan lintas iman. Itu selebrasi keberagamaan yang patut dicatat. Di kampung halaman saya seperti itu.
Namun kami juga pernah berkonflik yang berdarah-darah. Itu pengalaman yang tak boleh terulang oleh kami dan kelompok mana pun di negeri ini. Belajarlah dari kepahitan dan dampak yang kami tuai dari konflik antaragama itu. Kami juga punya contoh baik bagaimana menyelesaikan konflik, berdamai, dan membangun integritas sosial kembali. Membangun komunitas yang saling bersaudara dan saling peduli, sekalipun dengan latar belakang iman yang berbeda. Kami memakai berbagai media untuk itu. Anak muda memanfaatkan seni; berbagai persoalan kemanusiaan kita selesaikan bersama. Inilah upaya untuk membayar utang masa lalu, konflik yang membelah masyarakat.
Jadi banyak hal yang bisa menjadi perekat kemajemukan yang ada?
Betul, sangat banyak dalam keseharian kita, kadang kita tidak sadari. Orang lain melihat itu sebagai sesuatu yang mahal. Misalnya silaturahim; kita punya banyak istilah lokal untuk kata itu. Ketika digunakan, kita punya tanggung jawab sosial untuk melaksanakannya.
Belakangan juga terjadi bencana di berbagai tempat; banjir di Sukabumi, Karawang, dan daerah-daerah lain, Gunung Lewotobi Laki-Laki di NTT meletus, dan banyak lagi yang lain. Apa yang dilakukan gereja untuk membantu korban bencana alam ini?
PGI punya unit khusus untuk menghadapi bencana. Untuk bencana di Jawa Barat, kami turun penuh, bekerja sama dan berjejaring dengan lembaga kemanusiaan, termasuk dari lembaga keumatan lainnya. Itu adalah kerja-kerja lintas iman. Gereja terpanggil bahkan terlatih sejak awal Kekristenan. Saat itu pandemi terjadi di Kekaisaran Romawi, banyak penduduk yang mengungsi. Peran umat Kristen yang memberikan bantuan itu tercatat secara historis, bahkan ketika gereja berada dalam posisi yang sulit. Itu prinsip dasar yang dipegang gereja. Sehingga dalam keadaan bencana, gereja harus betul-betul mengonsolidasikan kapasitas yang dimiliki untuk memberikan bantuan bagi yang membutuhkan. Ini juga yang dilakukan komunitas gereja dan Kristen saat terjadi bencana di negeri ini. Latar belakang agama, etnis, dan lain-lain melebur; semua bergandengan tangan mengulurkan bantuan. Indonesia sangat terkenal sebagai negara yang dermawan. Boleh saja ribut di panggung politik, saat menghadapi bencana semua lebur menjadi satu.
Apa pesan Natal untuk umat dari Anda sebagai seorang pendeta?
Dalam perayaan Natal kali ini, kita harus berkontemplasi mendalam. Tema Natal tahun ini mengajak kita ke Bethlehem, bukan ke Roma atau ke mal. Itulah cara untuk menemukan otentisitas diri kita, keluarga kita. Sebagai orang yang tak layak tapi dicintai, sebagai orang tak layak tapi Allah peduli. Itu yang harus menjadi dasar kita untuk memenuhi hidup dengan sukacita yang amat berlimpah. Sebab hanya orang-orang yang meyakini bahwa dia dicintai, dia mampu membagi cinta yang asli, untuk orang lain yang membutuhkan. Peristiwa Natal ini adalah untuk menemukan bahwa kita sungguh-sungguh dicintai, dipedulikan, dibersamai, dan disahabati oleh Allah yang datang secara sederhana dalam rupa bayi kecil di palungan. Ini harus menjadi peristiwa setiap keluarga dan pribadi. Sebuah ziarah iman yang memberi kita kekuatan untuk berdiri dalam situasi yang paling sulit, sekaligus memberikan keteguhan untuk berbagi dan menjadi berkat.
SEE ALSO:
Semua orang harus menjadi teladan bagi lingkungan sekitar?
Ya, mulailah kedamaian itu dari diri kita, keluarga kita. Dengan mudah, kita bisa mengalirkannya karena itu sudah menjadi karakter. Kita bisa membaginya dengan lingkungan sekitar dari yang paling kecil. Tidak perlu dengan yang besar, mewah, dan sebagainya. Mulailah dari yang kecil. Ada yang bertanya, saya tak punya apa-apa, bagaimana bisa berbagi? Tuhan melengkapi kita dengan segala sesuatu untuk menjadi berkat bagi orang lain.
Ada orang tak didengar, dijauhi. Ketika kita datang dan menyediakan telinga kita untuk mendengarkan keluhannya, itu bisa menjadi berkat yang luar biasa. Ada orang yang dijauhi karena jijik dan tidak ada yang mau bersalaman dengannya. Ketika kita datang dan menyamai orang itu, hal tersebut akan menjadi berkat yang luar biasa. Kebaikan kecil yang kita lakukan bisa berdampak besar. Kalau ini kita latih dan kita inkubasi di tengah keluarga untuk saling peduli, saling berbagi kedamaian, serta mengelola keadilan, maka kita punya modal yang kuat untuk membaginya ke luar.
Apa harapan Anda pada pemimpin dunia agar beberapa wilayah yang masih dilanda konflik bisa damai?
Para pemimpin harus berlatih menahan diri dan mengimplementasikannya dalam tindakan konkret. Konflik terjadi ketika orang melangkahi batas-batas yang ia butuhkan, mengeruk apa yang dia inginkan, serta mengambil dari orang lain apa yang ia butuhkan. Itu bisa terjadi dalam perebutan wilayah, ranah ekonomi, dan lain-lain. Ketika orang menjadi rakus dan tak bisa menahan diri, maka potensi konflik akan muncul.
Cobalah melihat konflik dari perspektif korban, jangan hanya mengedepankan ego diri sendiri. Dampak dari segala yang salah kelola adalah berjatuhannya korban yang tiada terkira. Akibatnya tercipta trauma yang membutuhkan waktu panjang untuk pemulihannya. Kesenjangan sosial yang ada harus dilihat dengan empati. Natal mengajak kita untuk masuk dalam kontemplasi kemanusiaan yang sangat dalam, untuk menghadap kepada Dia yang datang. Dari pertanyaan itu, kita harus merumuskan jawaban: ke mana kita selanjutnya dalam relasi kita dengan sesama dan lingkungan?
Selamat Hari Natal 2024 dan selamat menyongsong Tahun Baru 2025 bagi pemirsa, pembaca, dan pencinta VOI. Semoga dalam Natal ini kita bisa mendapatkan kedamaian yang utuh dan berbagi untuk sesama, apa pun latar belakang kita. Mari menjadikan Indonesia sebagai rumah yang damai, adil, dan aman bagi kita semua. Semoga VOI menjadi suara kebangsaan, suara kemanusiaan, dan suara cinta kasih. Semoga Tuhan menyertai.
Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty, Jalan Kaki dari Cipinang ke Salemba
Ada satu hal yang tak ditemukan Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty saat ia naik kendaraan bermotor dari kediamannya di Cipinang, Jakarta Timur, menuju Kantor PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) di Salemba, Jakarta Pusat. Karena itu, sesekali ia berangkat ke kantornya dengan berjalan kaki. Sembari berolahraga, ia bisa memotret hal-hal menarik yang dijumpai dalam perjalanan.
“Saya memang hobinya jalan kaki. Makanya saya kerap berangkat ke kantor PGI dengan berjalan kaki. Sambil jalan, saya bisa melihat dan memotret hal-hal unik di sepanjang jalan,” ujar pria kelahiran Haruku, Maluku, 20 Juli 1965.
Jarak tempuh dari kediamannya di Cipinang ke Salemba kira-kira sejauh 7 km. Jika menggunakan kendaraan bermotor, perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit dengan kondisi jalan lancar. Namun, berjalan kaki membutuhkan waktu sekitar 90 menit.
Inilah yang ia lakukan untuk menjaga kebugaran tubuh. “Saya biasanya jalan pagi-pagi sekali. Sepanjang jalan, saya sering mampir di Pasar Jatinegara untuk melihat pasar hewan dan kehidupan masyarakat di sana. Kadang saya memotret hewan-hewan unik yang dijual, pisang kepok, buah-buahan, sayuran, dan lain-lain. Hasilnya saya unggah di media sosial. Selama 1,5 jam perjalanan, banyak hal menarik yang bisa saya temui,” kata Bung Jacky, yang juga suka mengunjungi pasar ikan. Di sana, ia senang mengabadikan aneka ikan dan hasil laut yang dijual, serta hiruk-pikuk penjual dan pembeli.
Tidak hanya pagi hari, kadang ia berjalan kaki pada malam hari. Ia bisa menyaksikan kehidupan masyarakat yang tetap bergeliat meski malam telah larut. “Saat kebanyakan warga Jakarta sudah lelah dan terlelap, ternyata ada juga yang masih berjibaku mencari sesuap nasi. Atau ada sepasang suami istri bersama anaknya yang menunggu di gerobak. Itu bisa saya lihat dengan jelas kalau berjalan kaki. Kalau naik kendaraan bermotor, saya hanya bisa melihat sekilas,” tutur pria yang bisa disapa Jacky Manuputty.
Provokator Damai
Ketika Jacklevyn Frits Manuputty mengunggah foto-foto bertema human interest tentang kehidupan Jakarta yang unik dan menyentuh, banyak rekan-rekannya di dunia maya yang merespons. “Bahkan, saya menantang teman-teman untuk mengunggah foto versi mereka yang ditemukan di mana pun berada. Itu bisa menjadi refleksi kecil dalam kehidupan kita. Bahwa ada orang lain yang kehidupannya tak seberuntung kita. Bahwa ada aktivitas lain yang selama ini mungkin tak kita ketahui,” kata alumnus Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (1984-1989).
Pengalaman serupa juga ia alami saat bertugas di Ambon. “Saat itu ada pemilihan Gubernur Jakarta yang ramai sekali pemberitaannya soal Ahok dan calon lainnya. Kami yang tinggal di Maluku heran, kok suasananya terasa juga meski jauh di sana. Akhirnya kami bikin kontra-narasi bertema Provokator Damai. Jadi, foto yang kami unggah menceritakan keindahan dan kerukunan alam Maluku. Ternyata banyak yang ikut dan itu viral. Yang ikut bukan hanya orang Maluku, tapi juga orang luar,” kata Jacky, yang pernah menimba ilmu di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) Jakarta (1990-1994).
Menurut Jacky, sesuatu yang bersifat hoaks atau provokasi bisa dilawan dengan kontra-narasi di media yang sama. Banyak orang tidak mau terprovokasi dan memilih mendukung kampanye kontra-hoaks.
Teater dan Film
Pada awal 1990-an, Jacky sempat “nyantri” di Teater Populer di Kebon Pala, Jakarta, yang didirikan oleh Teguh Karya. Ia juga aktif di Teater Bahtera yang dikelola PGI. “Saat itu Teguh Karya kecewa dengan komersialisasi di dunia film, ia tak mau lagi bikin film dan fokus ke dunia teater. Saya ikut dalam teater itu bersama Idris Sardi, Didi Petet, Alex Komang, Slamet Rahardjo, dan lainnya,” kata pemain film Cahaya dari Timur ini.
Jacky tampil di film tersebut atas permintaan mendiang Glenn Fredly. “Film itu menceritakan tentang perdamaian di Maluku dengan latar sepak bola,” ujar Jacky, yang berperan sebagai pengurus sepak bola. Namun, ia tidak sempat tampil dalam film biopik Glenn Fredly meskipun ada kisah nyata tentang dirinya.
Aktivitas teater sering ia bawa ke dalam kegiatan gereja. “Bahkan, saat ada acara gereja di Sangihe Talaud, saya langsung diminta bermain peran dalam cerita yang dibuat panitia. Spontan saja saya ikut. Eh, berlanjut di sidang gereja di Balikpapan, saya diminta menari,” ujar pria yang menciptakan tari Bambu Gila dan Lentera ini.
Meski sibuk dengan kegiatan gereja dan organisasi, Jacky selalu meluangkan waktu untuk keluarga besarnya. “Dalam waktu yang disepakati, kami berkumpul. Saat itu, HP tidak boleh digunakan dan semuanya dikumpulkan di satu tempat. Tujuannya untuk menciptakan kebersamaan yang murni. Masak sudah bertemu, masih saja sibuk dengan HP masing-masing. Keluarga adalah segalanya bagi saya, karena di keluarga menjadi tempat belajar, berlatih, menumbuhkan iman, dan melatih kepekaan,” tandas Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty.
"Hanya orang-orang yang meyakini bahwa dia dicintai yang mampu membagi cinta sejati untuk orang lain yang membutuhkan. Peristiwa Natal ini adalah untuk menemukan bahwa kita sungguh-sungguh dicintai, dipedulikan, dibersamai, dan disahabati oleh Allah yang datang secara sederhana dalam rupa bayi kecil di palungan,"