Presiden Abbas Bicara tentang Pemerintahan Baru, Kelompok Palestina Beri Kecaman
GAZA - Presiden Palestina, Mahmoud Abbas baru saja mengumumkan wacana terkait pemerintahan baru kepada publik pada Jumat, 15 Maret. Hal itu mendapat tentangan dari berbagai kelompok perlawanan di Palestina, karena hal itu dirasa justru akan menimbulkan perpecahan.
Kelompok Hamas, Jihad Islam, Front Populer untuk Pembebasan Palestina, dan Inisiatif Nasional mengeluarkan pernyataan bersama yang mempertanyakan kelayakan penggantian satu perdana menteri dengan perdana menteri lainnya "dari lingkungan politik yang sama."
"Mengambil keputusan individu dan melakukan langkah-langkah yang dangkal dan kosong seperti membentuk pemerintahan baru tanpa konsensus nasional hanya akan memperkuat kebijakan unilateralisme dan memperdalam perpecahan," kata pernyataan itu disitat dari Antara.
Pada Kamis (14/3), Abbas menunjuk Mohammad Mustafa sebagai perdana menteri dan meminta dia untuk membentuk pemerintahan baru.
Mustafa akan menggantikan Mohammad Shtayyeh yang mengundurkan diri pada Februari sehubungan dengan perkembangan terkait perang Israel di Gaza.
Meski dia bukan anggota gerakan Fatah pimpinan Abbas, dia adalah anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina.
Pernyataan bersama tersebut mendesak Fatah untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok Palestina dalam mengatur tahapan saat ini sesuai dengan tujuan nasional Palestina dan memenuhi aspirasi rakyat untuk membebaskan tanah dan tempat-tempat suci mereka.
Israel telah melancarkan serangan mematikan di Gaza sejak serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober 2023. Serangan itu telah menewaskan lebih dari 31 ribu korban dan melukai lebih dari 73 ribu lainnya di tengah kehancuran massal dan kekurangan kebutuhan pokok.
Israel juga menerapkan blokade yang melumpuhkan wilayah kantong Palestina itu, yang menyebabkan penduduknya, terutama di Gaza utara, di ambang kelaparan.
Sekitar 85 persen warga Gaza terpaksa mengungsi akibat serangan Israel di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah itu telah rusak atau hancur, menurut PBB.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), dan keputusan sementara ICJ pada Januari memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan tindakan genosida dan mengambil tindakan untuk menjamin bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.