Soroti Aksi Kawin Tangkap, Puan: Ada UU TPKS yang Melarang Perkawinan Paksa
JAKARTA - Ketua DPR Puan Maharani menyoroti peristiwa kawin tangkap yang terjadi di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menekankan, perempuan berhak menentukan pilihannya karena merupakan Hak Asasi Manusia (HAM).
"Dalam menentukan pasangan hidup, kaum perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Sehingga tidak boleh ada paksakan dari pihak manapun," kata Puan, Senin 11 September.
Seperti diketahui, peristiwa kawin tangkap kembali terjadi dengan korban perempuan berinisial DM (20). Aksi sekelompok pria menculik DM yang dinarasikan sebagai tradisi kawin tangkap atau kawin paksa di Sumba Barat Daya itu sempat viral di media sosial (medsos) sejak pekan lalu.
Menurut polisi, peristiwa kawin tangkap tersebut dilakukan oleh puluhan pemuda dengan cara menculik DM yang saat itu sedang berada di keramaian dan membawanya kabur menggunakan mobil pikap. Sekelompok pemuda yang melakukan penculikan tampak menggunakan pakaian adat.
Tradisi kawin tangkap biasanya dilakukan olah masyarakat pedalaman Sumba, yaitu di Kodi dan Wawewa. Dalam tradisi lama masyarakat Sumba, kawin tangkap biasanya dilakukan oleh keluarga mempelai pria yang terhalang belis atau mahar tinggi dari pihak perempuan.
Berkaca dari peristiwa itu, Puan berharap kejadian serupa tidak terulang lagi. Dia sadar pentingnya menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia. Namun jangan sampai juga budaya mencederai hak-hak perempuan.
SEE ALSO:
"Harus ada solusi yang memadukan dua hal ini. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah berdialog dengan pemangku adat setempat dan masyarakat untuk mencari alternatif yang tidak melanggar hak asasi manusia," tutur perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI ini.
Puan mengingatkan, tradisi kawin tangkap pada praktiknya berpotensi melanggar hak perempuan. Selain itu juga menimbulkan kekerasan yang berlapis pada korban, hingga memicu dampak traumatis.
"Segala bentuk tindakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan pada perempuan yang mengatasnamakan budaya harus disikapi dengan bijak, untuk itu perlunya Pemerintah turun tangan memfasilitasi lewat pendekatan yang humanis," sebut Puan.
“Sekarang kita sudah memiliki UU TPKS yang mengatur adanya larangan perkawinan paksa. Aturan ini harus ditegakkan dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat, terutama tokoh agama dan tokoh adat di daerah-daerah,” ujar mantan Menko PMK itu.
“Sehingga setiap pelaku yang terlibat pada kawin tangkap akan berurusan dengan hukum, karena melakukan pemaksaan perkawinan,” lanjut Puan.
“Jadi budaya kawin paksa ini merupakan hal yang melanggar undang-undang dan bisa dipidana,” ungkap Puan.
Cucu Bung Karno ini mengatakan diperlukan sosialisasi masif dari Pemerintah mengenai UU TPKS, khususnya Pemerintah Daerah (Pemda) yang wilayahnya memiliki budaya kawin paksa. Apalagi, kata Puan, mengingat budaya tersebut telah berlangsung lama.
“Saya juga mendukung langkah aparat penegak hukum yang cepat tanggap dengan mengusut kasus kawin tangkap di Sumba Barat Daya,” tukasnya.
Dari kasus kawin tangkap yang baru saja terjadi itu, polisi telah menetapkan 4 orang sebagai tersangka dan dianggap telah melakukan penculikan. Para pelaku sudah diamankan di Polres Sumba Barat Daya serta dijerat dengan Pasal 328 KUHP sub Pasal 333 KUHP Junto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 10 UU TPKS.
Puan pun menekankan, pernikahan harus menjadi keputusan yang diambil secara bebas oleh individu tanpa adanya tekanan atau paksaan. Ia juga meminta seluruh pihak menjunjung tinggi hak-hak perempuan.
"Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, pemangku adat, dan masyarakat lokal, kita dapat mencapai tujuan bersama dalam melindungi hak-hak perempuan dan menghormati budaya yang unik di Indonesia," sebut Puan.
Melindungi hak perempuan disebut merupakan prioritas utama dalam UU TPKS. Puan mengatakan, instrumen hukum ini menjadi yang terpenting dalam melindungi perempuan dari tindakan kekerasan seksual, termasuk pernikahan paksa.
"DPR akan memastikan bahwa undang-undang ini dijalankan secara efektif dan semua pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dihentikan. Namun tetap menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia dengan sosialisasi yang tepat dan masif," terangnya.
Lebih lanjut, Puan memaparkan diperlukannya sinergitas antar-stakeholder untuk mencegah terjadinya kawin tangkap. Ia juga meminta perempuan korban kawin tangkap untuk diberikan layanan kesehatan, konseling, hingga pendampingan hukum dalam menghadapi kasus tersebut.
"Segala sesuatu yang bersifat pemaksaan hingga adanya kekerasan terhadap perempuan, pasti akan berdampak pada korban. Kita harus bergotong royong agar tidak ada lagi peristiwa yang mencoreng harkat dan martabat perempuan," tutup Puan.