JAKARTA - Upaya hukum Bambang Trihatmodjo terhadap Menteri Keuangan Sri Mulyani atas tagihan utang SEA Games XIX 1997 hingga kini masih terus berlanjut. Tim Kuasa Hukum Bambang Trihatmodjo, Hardjuno Wiwoho kembali menegaskan bahwa kliennya bukanlah pihak yang bertanggung jawab atas utang di hajatan tersebut.
Adapun pihak yang bertanggung jawab dalam kasus dana talangan SEA Games 1997 adalah PT Tata Insani Mukti sebagai pelaksana konsorsium.
"Jadi, yang bertanggung jawab atas utang piutang yang terjadi adalah PT.Tata Insani Mukti. Hal ini sebagaimana fakta sejarah dan fakta yuridis yang sudah ditelaah secara komprehensif," tegas Hardjuno dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 16 September.
Menurutnya, tanggung jawab PT Tata Insani Mukti dalam kasus dana talangan SEA Games XIX 1997 tak terelakan lagi. Apalagi, SEA Games ini sangat istimewa yang tidak dipersiapkan sebelumnya, karena Indonesia menggantikan Brunei Darussalam yang mendadak mundur sebagai tuan rumah.
Hal ini dituangkan dalam Keppres No.I Tahun 1996 tentang Sea Games XIX di Jakarta. Sebagai tindak lanjut maka terbitlah Kepmenkokesra tentang mitra penyelenggara swasta yang diminta bantuan mengumpulkan dana untuk SEA Games.
Konsorsium diminta menyediakan maksimal dana Rp70 miliar. Hal itu kemudian dituangkan dalam MoU antara PT Tata Insani Mukti sebagai pelaksana konsorsium dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
Namun ternyata biaya yang diperlukan melebihi kesanggupan konsorsium. Sebab selain biaya penyelenggaraan SEA Games juga diperlukan biaya pembinaan atlet.
Karena tidak punya budget SEA Games dalam APBN maka negara melalui Setneg mengambil pinjaman dari dana reboisasi KLH. Setneg memberikan pinjaman kepada Konsorsium swasta mitra penyelenggara SEA Games XIX 1997, dengan jangka waktu 8 Oktober 1997 hingga 8 Oktober 1998 dengan konsensus Presiden dengan konsorsium.
Apabila hasil audit melebihi Rp70 miliar maka dana pinjaman tersebut akan dikonversi menjadi Bantuan Presiden (Banpres) SEA Games XIX karena event ini adalah kepentingan dan hajat negara. Namun yang terjadi, 20 Mei 1998 Presiden Soeharto mundur dari RI I.
Perubahan situasi politik nasional ini sangat mempengaruhi mekanisme yang ada. Sehingga di tahun 1998 dilakukan audit dengan hasilnya biaya SEA Games yang dikeluarkan konsorsium sebesar Rp156 miliar.
Biaya yang dikeluarkan konsorsium ini sudah dilaporkan kepada Menpora, Mensetneg dan KONI. Namun laporan ini tidak direspons hingga pada rapat dengan komisi VII DPR RI tahun 1999.
Secara kedudukan hukum tegas Hardjuno, Konsorsium Mitra Penyelenggara (KMP) SEA Games bukanlah badan hukum.
"PT Pelaksana KMP lah yang secara hukum memiliki kedudukan hukum, dalam hal ini PT Tata Insani Mukti," terangnya.
BACA JUGA:
Terkait gugatan TUN aquo, sebagai pribadi Bambang Trihatmodjo keberatan jika dianggap bertanggung jawab atas hubungan hukum secara langsung antara konsorsium dengan negara. Jika itu dianggap merupakan kewajiban maka hal tersebut adalah kewajiban PT Tata Insani Mukti sebagai subyek hukum.
Bahkan kata Hardjuno, Bambang Trihatmodjo juga telah menuntut PT Tata Insani Mukti. Putusannya telah inkrah di PN Jakarta Selatan.
Pasalnya, uang pribadi Bambang Trihatmodjo banyak dipakai sehingga layak meminta pertanggungjawaban atas penggunaan dana Rp 156 Miliar yang digunakan Konsorsium untuk pelaksanaan Sea Games XIX 1997.
"Jadi, persoalan ini harus secara komprehensif yuridis, politis, sosiologis historis ditelaah dan dikaji kembali. Mengingat SEA Games XIX adalah kepentingan dan hajat negara dan Indonesia menjadi juara umum," tegasnya.
SEA Games XIX ini kata Hardjuno, sangat istimewa jika dibandingkan dengan SEA Games lainnya. Justru negara awalnya tidak mengeluarkan dana APBN malah dicarikan dana oleh konsorsium untuk pelaksanaannya.
"Coba dibandingkan dengan SEA Games 2011. Sumber pendanaan dari APBN. Kalau dibandingkan secara proporsional, besaran dana SEA Games 2011 ini sangatlah besar dibandingkan dengan SEA Games XIX lalu," pungkasnya.