Meski Harga dan Permintaan Naik, Ekonom Bantah <i>Booming</i> Komoditas Bakal Terjadi
Pekerja terlihat sedang melakukan aktivitas pengolahan buah sawit yang menjadi salah satu komoditas andalan Indonesia. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Department Head Industry and Regional Research Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan kenaikan permintaan sejumlah komoditas strategis yang terjadi saat ini diperkirakan hanya bersifat sementara. Menurut dia, meningkatnya sisi demand yang turut mengerek harga jual tersebut tidak didasarkan pada faktor fundamental yang kuat.

Dalam analisisnya, terdapat dua aspek kunci yang menjadikan komoditas cukup menark saat ini. Pertama adalah faktor permintaan yang meningkat.

“Meski ada peningkatan demand tetapi perlu dilihat bahwa lonjakan itu tidak terlalu tinggi dan masih dalam angka yang terbatas,” ujarnya dalam ujarnya dalam Media Gathering Virtual Economic Outlook & Industri Kuartal II 2021, Rabu, 19 Mei.

Adapun, aspek kedua yang dikemukakan ialah soal kondisi likuiditas global saat ini. Dendi mencatat, sejumlah negara maju tengah menggelontorkan insentif fiskal guna memperkecil dampak pandemi terhadap perekonomian negara masing-masing.

Hal tersebut kemudian berimbas pada kucuran dana segar ke pasar keuangan yang membuat likuiditas cukup melimpah.

Sebagai contoh dia lantas memberikan perumpamaan kebijakan fiskal Amerika Serikat (AS) yang menyetujui usulan Presiden Joe Biden untuk mengucurkan insentif sebesar 1,9 triliun dolar AS di tengah masa pandemi. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh pendahulunya, yakni Donald Trump yang menggelontorkan dana 2,2 triliun dolar AS guna menjaga kestabilan ekonomi negara itu.

Sehingga, sambung Dendi, apresiasi terhadap harga komoditas saat ini juga ditopang oleh banjirnya dolar di pasaran.

“Jadi saya pikir supercycle atau booming komoditas tidak akan terjadi, dan sangat berbeda dengan kondisi 2008 atau 2009. Saat itu permintaan benar-benar naik didorong oleh konsumsi China yang sangat tinggi dan pertumbuhan ekonomi mereka tumbuh double digit, cukup berbeda jika dibandingkan sekarang,” jelas dia.

Lebih lanjut, ekonom bank plat merah itu juga memproyeksi kilau komoditas akan redup seiring dengan perbaikan ekonomi di negara maju yang mulai mengurangi insentif fiskal mereka.

“Saya yakin koreksi pasti akan terjadi. Kalau kita optimistis (penanganan COVID-19 sukses) maka pada 2022 harga komoditas pasti akan balik ke level fundamentalnya,” tegas dia.

Untuk diketahui, saat ini beberapa komoditas telah melewati harga sebelum pandemi COVID-19 pada akhir 2019. Sejumlah produk dagang tersebut antara lain CPO menjadi sekitar 1.000 dolar AS perton dari sebelumnya hanya 740 dolar AS per ton. Lalu, batubara yang memiliki bandrol 87 dolar AS dari sebelumnya 67 dolar AS.

“Indikator lain mengapa saya percaya koreksi akan terjadi adalah kecenderungan harga minyak bumi yang stabil,” tutup Dendi.