Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Indonesia terus mendorong pengembangan biomassa sebagai alternatif bahan bakar fosil, dengan berbagai kebijakan untuk mendukung ekspansi biomassa.

Untuk mendalami rencana tersebut CELIOS melakukan studi terkait implikasi dari rencana pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) di Indonesia, khususnya untuk keperluan biomassa, serta dampaknya terhadap tata kelola hutan, kapasitas regulasi, akses terhadap lahan, dan reforma agraria di sektor kehutanan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa besarnya kebutuhan co-firing PLTU dari pelet kayu (wood pellet) bukan hanya untuk kebutuhan domestik tapi juga ekspor, salah satunya ke Jepang.

"Pembeli terbesar pelet kayu dari Indonesia adalah Jepang dan Korea Selatan masing-masing 10 juta ton dan 64 juta ton sepanjang 2023.” kata Bhima.

Bhima menambahkan, dalam ambisi mencapai emisi karbon yang lebih rendah, pihaknya melihat tren ekspansi perusahaan Jepang khususnya mengendalikan industri hutan tanaman di Kalimantan Tengah melalui perusahaan yang mengelola dari hulu ke hilir, dengan sertifikasi longgar yang mengabaikan masalah lingkungan, konflik agraria, dan ekologi. Ambisi Jepang telah memicu deforestasi di Kalimantan.

“Komitmen dekarbonisasi Jepang melalui standar seperti Japanese Agricultural Standard (JAS), Green Purchasing Act (GPA), dan Eco Mark Program (EMP) terbukti kurang efektif dalam menangani isu rantai pasok pada PT. Korintiga Hutani, karena sertifikasi ini bersifat sukarela dan tidak mengikat," terang Bhima

Ia melanjutkan, Pemerintah Jepang hanya mengandalkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia yang bermasalah. Sementara itu, kerangka hukum Indonesia yang market-driven membuat sertifikasi lebih sebagai alat pemasaran daripada bentuk kepatuhan substansial.

Sementara itu, Muhamad Saleh, Peneliti Hukum CELIOS menjelaskan bahwa ada kerentanan regulasi HTE merujuk pada keadaan di mana aturan yang memayungi segala aspek terkait HTE, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan pelaksana, memiliki celah yang dapat menimbulkan berbagai masalah.

Misalnya terkait pengaturan Multiusaha Kehutanan, ia menilai hal emiliki kelonggaran dalam mengawasi pemegang konsesi, mulai dari proses pelaporan, evaluasi kinerja, dan konflik yang masih terjadi. Kondisi ini juga diperparah oleh lemahnya kemampuan pemerintah dalam melakukan pengawasan.

Saleh juga mengungkapkan dalam temuan studi ada indikasi kuat bahwa pemilihan PT Mutuagung Lestari (Mutu International) sebagai auditor didorong oleh hubungan kepentingan dengan Jepang. Korintiga, sebagai perusahaan joint ventureantara Korindo (Korea-Indonesia) dan Oji Holdings (Jepang), tampaknya memanfaatkan hubungan ini. Sebagai catatan, PT Mutuagung Lestari (Mutu International) telah lama terlibat dalam menyusun standar Plywood dan mensertifikasi perusahaan-perusahaan untuk pasar Jepang sejak 1991.

Menurutnya, Proyek Strategis Nasional diberikan kemudahan dalam pengelolaan Kawasan Hutan dengan prioritas dalam Pengukuhan Kawasan Hutan, memungkinkan pengecualian dari prosedur yang umum. PSN tidak diwajibkan mengikuti prosedur Penataan Batas Kawasan Hutan dan diperbolehkan melakukan pelepasan di Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi atau Kawasan Hutan Produksi Tetap.

"Usulan perubahan fungsi Kawasan Hutan sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah pusat tanpa keterlibatan pemerintah daerah. Selain itu, PSN dibebaskan dari kewajiban membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk penggunaan kawasan hutan, pembebasan kompensasi, dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS),” tandas Saleh.