Bagikan:

JAKARTA - Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), khususnya asuransi saat ini menghadapi berbagai risiko dan tantangan yang terus berkembang. Tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti ketidakpastian makroekonomi dan fluktuasi kondisi global, tetapi juga oleh faktor internal seperti tata kelola perusahaan yang semakin ketat. Dalam situasi ini, adaptasi terhadap risiko menjadi semakin krusial untuk menjaga keberlanjutan bisnis dan memperkuat peran industri asuransi dalam mendukung kestabilan sektor keuangan.

Pentingnya tata kelola perusahaan yang baik tidak dapat diabaikan. Dalam beberapa tahun terakhir, regulasi di sektor ini semakin diperketat, dan perusahaan asuransi diharuskan untuk memiliki sistem tata kelola yang mampu menjawab tantangan-tantangan terbaru. Budaya organisasi yang etis dan berorientasi pada akuntabilitas juga menjadi kunci dalam membangun kepercayaan publik dan menjaga reputasi industri.

Menanggapi tantangan tersebut IFG Conference 2024, mengusung tema “Seizing Opportunities in the Insurance Industry: Towards Risk Adaptation and Regulatory Compliance”. Acara ini diselenggarakan oleh IFG Progress, lembaga think tank Indonesia Financial Group (IFG), Holding BUMN Asuransi, Penjaminan, dan Investasi di Jakarta, pada Selasa 15 Oktober.

Hadir sebagai pembicara kunci dalam conference tersebut Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara, Asisten Deputi Bidang Jasa Asuransi dan Dana Pensiun KBUMN Hendrika Nora Osloi Sinaga, dan Direktur Utama IFG Hexana Tri Sasongko, serta sejumlah narasumber mumpuni dari kalangan akademisi serta instansi lainnya yang akan mengisi sesi di konferensi ini.

“Kami sangat mengapresiasi terselenggaranya IFG Conference 2024 ini. IFG melalui IFG Progress dapat menyediakan data dan informasi dasar di industri asuransi, yang sangat jarang dilakukan, tetapi sangat dibutuhkan oleh industri,” ujar Mirza.

Mirza mengatakan, sejalan dengan perubahan regulasi, pihaknya mengajak industri asuransi untuk melakukan transformasi melalui penguatan permodalan, tata kelola, dan manajemen risiko. Hal ini berangkat dari kondisi industri asuransi Indonesia yang masih relatif rendah dalam hal densitas, penetrasi terhadap PDB, hingga literasi dan inklusi.

Sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah baru yang cukup tinggi, peran sektor keuangan sebagai penyedia pendanaan bagi dunia usaha menjadi penting. Namun, dibandingkan negara-negara maju, pendanaan di Indonesia masih dominan dari sektor perbankan daripada asuransi, dana pensiun, dan fund manager.

“Melalui peta jalan yang disusun, densitas asuransi ditargetkan mencapai 2,4 juta rupiah pada 2027. Selain itu salah satu fokus OJK dalam penguatan dan pengembangan sektor asuransi adalah dari sisi permodal dan transformasi tata kelola di sektor perasuransian, penjaminan dan dana pensiun (PPDP) melalui penerbitan POJK Nomor 23 tahun 2023. Di samping itu, Implementasi PSAK 117 dalam rangka penguatan modal terus berjalan. Kami harapkan pada 2025 sudah sepenuhnya jalan dan kajian perhitungan RBC menjadi lebih menggambarkan tingkat solvabilitas. Hal ini demi mendorong perusahaan asuransi dapat berkontribusi lebih pada pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.

Sejalan dengan itu, Hendrika menegaskan, industri asuransi sedang menghadapi perubahan besar yang dipengaruhi oleh faktor makro ekonomi, faktor mikro, faktor teknologi, perubahan perilaku konsumen, serta risiko-risiko baru yang muncul, yang tidak terprediksi sebelumnya. Namun, di balik setiap perubahan ini, terdapat pula peluang besar yang bisa dimanfaatkan.

Hendrika menambahkan, kontribusi terhadap ekonomi nasional juga dijalankan perusahaan BUMN melalui dua fungsi, yaitu sebagai value creator dan agent of development. Perusahaan BUMN harus mewujudkan pemenuhan kepentingan publik dan dan bertindak sebagai agen perintis industri, terutama mendukung pertumbuhan ekonomi melalui penyelesaian berbagai proyek strategis nasional dan menggerakkan partisipasi aktif dalam ekonomi kerakyatan, pengembangan UMKM, dan mendukung penyaluran subsidi bagi masyarakat.

“Dalam hal ini, IFG sebagai holding memiliki berbagai tujuan. Salah satu pilar utamanya adalah peran IFG sebagai agent of development dalam peningkatan literasi keuangan. Penyelenggaraan IFG Conference ini bukti komitmen IFG untuk meningkatkan literasi keuangan,” katanya.

Senada dengan itu, Hexana menjelaskan, konferensi tahunan ketiga IFG ini adalah bentuk komitmen IFG untuk memperkuat industri asuransi agar dapat berkontribusi lebih signifikan pada perekonomian nasional. IFG menggelar acara ini sebagai wadah bagi para pembuat kebijakan, pelaku industri, asosiasi dan pemangku kepentingan lainnya, untuk berdiskusi serta memberikan solusi dalam menghadapi tantangan saat ini dan masa depan terkait pengembangan industri asuransi di Indonesia.

Sesi pertama pada konferensi ini mendiskusikan empat sub-topik utama, yaitu dampak risiko makroekonomi terhadap sektor asuransi, tata kelola asuransi, sistem layanan kesehatan, dan tantangan dalam asuransi kesehatan. Diskusi ini dimulai dengan eksplorasi risiko ekonomi makro serta dampaknya terhadap perusahaan asuransi, hingga strategi manajemen risiko yang efektif untuk mendukung UMKM dan badan usaha selama ketidakpastian ekonomi. Setelah menyoroti risiko eksternal, pembahasan selanjutnya menekankan pentingnya transformasi budaya di industri asuransi guna menciptakan keberlanjutan yang sehat dalam jangka panjang.

Selanjutnya membahas terkait tantangan dalam sistem perawatan kesehatan (health care system), seperti meningkatnya inflasi medis dan peningkatan volume klaim, terutama yang berdampak bagi penyedia asuransi kesehatan di Indonesia. Pembahasan ini diharapkan dapat mengungkap solusi strategis terkait tantangan tersebut guna meningkatkan efisiensi operasional dan mempertahankan bisnis secara berkelanjutan.

Pada Sesi kedua IFG Conference 2024 menyajikan tiga diskusi interaktif yang berfokus pada tantangan regulasi, kapasitas reasuransi dan asuransi pertanian. Diskusi pertama membahas persyaratan modal baru berdasarkan POJK No. 23/2023, mengeksplorasi implikasinya terhadap ketahanan finansial, dan mengidentifikasi peluang untuk pertumbuhan. Diskusi kedua membahas penguatan kapasitas reasuransi sebagai respons terhadap kondisi pasar dan regulasi yang terus berkembang.

"Terakhir, pada diskusi ketiga menyoroti pentingnya asuransi pertanian dalam mendukung ketahanan pangan dan mendorong keberlanjutan sektor pertanian," tutup dia.