JAKARTA - Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) angkat bicara terkait tren belanja kelas menengah yang disebut mengalami penurunan.
Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan, ada sejumlah kebijakan pemerintah yang membuat sejumlah segmen kelas menengah malas berbelanja.
Kebijakan yang dimaksud misalnya pemberlakuan ganjil genap dan pembatasan impor yang membuat masyarakat enggan untuk berbelanja di mal.
Budihardjo menilai, kebijakan ganjil genap di Jakarta misalnya telah menyulitkan masyarakat untuk ke mal.
"Kalau saya bilang, sih, ganjil genap bikin orang malas ke mal. Jakarta kena ganjil genap, malas. Ayo kita meeting di Grand Indonesia (GI) aduh ganjil genap, enggak jadi deh," ujar Budihardjo saat ditemui wartawan usai konferensi pers Consumer Sourcing Expo (CSE Asia) 2024 di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Rabu, 9 Oktober.
"Ayo kita ngopi, enggak jadi. Akhirnya mau ngopi, nyari malnya yang di mana," sambungnya.
Dia bahkan menyebut, bahwa salah satu restoran miliknya yang berada di Grand Indonesia akan segera tutup lantaran sepi pembeli.
"Contoh, saya juga punya restoran di GI. Tapi, mau saya tutup karena susah (pembeli). Hari Sabtu dan Minggu ramai, tapi Senin sampai Jumat sepi. Padahal, itu ada kantor," curhat Budihardjo.
Menurutnya, jika regulasi yang dibuat pemerintah tidak memudahkan, dikhawatirkan penurunan kelas menengah akan semakin signifikan.
"Karena mereka mau bidang apa susah dan larinya ke online. Terus akhirnya mal enggak bikin. Begitu investasi mal enggak ada, orang di rumah. Orang di rumah, tuh, bahaya," kata dia.
Selain itu, kebijakan pemerintah memperketat masuknya barang impor resmi telah membuat ritel sulit untuk menjual barang dan memenuhi stok. Kurangnya variasi produk dan harga barang impor yang mahal membuat masyarakat memilih berbelanja di luar negeri dibanding di Indonesia.
"Jadi kita kalah sama negara luar karena (mereka) take the opportunity daripada kebijakan-kebijakan yang melindungi UKM. Padahal, yang di mal enggak usah dilindungi. Orangnya berangkat ke luar negeri, yang UKM itu enggak akan pergi ke luar negeri, Itu yang harus dilindungi barang-barang murah," jelas Budihardjo.
Karena itu, dia mengharapkan pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi untuk meninjau ulang kebijakan ganjil genap agar masyarakat dapat meluangkan waktunya ke mal.
Sementara untuk pemerintah pusat, Hippindo mengharapkan agar kebijakan impor resmi tidak dipersulit.
Dengan demikian, peritel dapat memenuhi stok toko dan menarik lebih banyak pengunjung. Alih-alih mempersulit impor resmi, pemerintah seharusnya memperketat pengawasan produk impor ilegal.
"Jadi, enggak cuma regulasi dari pemerintah pusat, tapi juga harus sinergi sama kementerian dan pemerintah daerah," imbuhnya.
BACA JUGA:
Sebelumnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 memperlihatkan turunnya jumlah penduduk kelas menengah. Data pada 2019 memperlihatkan jumlah 57,33 juta orang yang kemudian turun menjadi 53,83 juta orang di 2021.
BPS kembali mencatat penurunan jumlah penduduk kelas menengah pada 2022 menjadi 49,51 juta orang dan 48,27 juta orang di 2023 yang kembali turun pada tahun ini menjadi 47,85 juta orang.
Pada saat bersamaan, jumlah penduduk yang masuk dalam kategori menuju kelas menengah (aspiring middle class) dari 128,85 juta orang naik menjadi 137,50 juta orang pada 2024.
Selain itu, masyarakat rentan miskin tercatat juga bertambah dari 2019 sebanyak 54,97 juta orang menjadi 67,69 juta orang.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers pada 30 Agustus 2024 mengatakan, penguatan daya beli diperlukan tidak hanya untuk kelompok miskin, tapi juga kelas menengah dan menuju kelas menengah.