Bagikan:

JAKARTA - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menepis pernyataan Bank Dunia atau World Bank yang menyebut pendapatan petani Indonesia rendah.

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, rata-rata pendapatan usaha perorangan di Indonesia adalah Rp66,82 juta per tahun.

Arief mengatakan, data tersebut mengacu pada publikasi terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 Tahap II.

“Hasilnya menyebutkan rata-rata pendapatan usaha pertanian perorangan di Indonesia adalah Rp 66,82 juta per tahun,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis, 26 September.

Sementara, sambung Arief, mengacu Survei Pertanian Terintegrasi (Sitasi) tahun 2021, rata-rata unit usaha pertanian perorangan memperoleh pendapatan sebesar Rp15,41 juta dalam setahun.

“Dengan itu dapat diartikan rerata pendapatan usaha pertanian perorangan telah mengalami peningkatan sampai lebih dari empat kali lipat,” ucapnya.

“Kami di Badan Pangan Nasional bersyukur pendapatan sedulur petani masih terjaga baik dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Ini turut menandakan ekosistem pangan yang dibangun mulai dari hulu sampai hilir, berjalan cukup baik,” sambungnya.

Arief mengaku yakin apabila semangat produktivitas petani terus menggebu, tentu ketercukupan kebutuhan konsumsi pangan dari pasokan domestik mampu terwujud, sehingga kemandirian pangan nasional pun kian kokoh.

Lebih lanjut, Arief mengatakan, BPS juga melaporkan bahwa dari seluruh usaha pertanian di Indonesia pada tahun 2023, sebanyak 68,10 persen termasuk dalam kategori petani skala kecil.

Dari kategori itu, sambung dia, secara nasional di 2023, petani skala kecil di Indonesia disebutkan mampu memperoleh pendapatan sebesar 8,50 dolar AS Purchasing Power Parities (PPP) di mana 1 dolar AS PPP sama dengan Rp5.239,05 sehingga menjadi setara dengan Rp44.507 per hari kerja.

Di sisi lain, lanjut Arief, pada tahun 2023 petani yang tidak termasuk kategori petani skala kecil dilaporkan mampu memperoleh pendapatan sebesar 368,34 dolar AS PPP atau setara dengan Rp1.929.764 per hari kerja.

“Ini naik signifikan karena pada 2021, menurut hasil SITASI, petani kategori ini kala itu hanya mampu menghasilkan pendapatan sebesar 106,54 dolar AS PPP atau setara dengan Rp506.983 per hari kerja,” tuturnya.

Arief mengklaim bahwa naiknya pendapatan petani ini merupakan hasil upaya pemerintah dalam penyaluran bantuan pangan beras. Dia bilang bantuan pangan ini juga turut menjaga kesejahteraan petani dalam negeri.

“Pemerintah selama ini konsisten menjaga kesejahteraan petani dalam negeri. Badan Pangan Nasional bersama Bulog membantu penyerapan produksi beras hasil petani kita yang kemudian kita salurkan ke berbagai program intervensi, termasuk bantuan pangan beras seperti hari ini,” terang Arief.

Sebelumnya diberitakan, Bank Dunia mengatakan harga beras di Indonesia 20 persen lebih mahal dibandingkan harga beras di pasar global. Bahkan, harga beras dalam negeri merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN.

Wold Bank Country for Indonesia and Timor-Leste, Carolyn Turk mengatakan tingginya harga beras di Indonesia disebabkan beberapa kebijakan yang diteken pemerintah, salah satunya terkait dengan pembatasan impor non-tarif.

Meski bermaksud melindungi sektor pertanian, kebijakan pembatasan impor non-tarif ini justru dianggap sebagai biang kerok melejitnya harga beras dalam negeri.

“Untuk melindungi pertanian, 95 persen impor sektor pangan diatur melalui tindakan non-tarif, termasuk pembatasan kuantitatif dan tindakan non-tarif lainnya seperti tindakan sanitasi, fitosanitasi, hambatan teknis, inspeksi pra-pengiriman, dan sebagainya. Hal ini mendorong kenaikan harga beras di Indonesia,” jelas Carolyn dalam Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 di Bali Nusa Dua Convention Center, Jumat, 20 September.