Bagikan:

JAKARTA - Institute For Development of Economics and Finance (Indef) ungkapkan rencana Pemerintah untuk lakukan pembatasan penjualan bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite pada 1 Oktober 2024 perlu untuk dipertimbangkan kembali.

Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai kebijakan pembatasan BBM bersubsidi kurang tepat dilakukan saat ini lantaran daya beli masyarakat mengalami penurunan.

"Kalau kita lihat bahwa opsi pembatasan pertalite ini ke depannya tentu tidak tepat saat ini. Karena kita lihat kondisi daya beli masyarakat sekarang relatif menurun," ujarnya dalam diskusi virtual Indef berjudul Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat, Kamis, 12 September.

Menurut Esther dengan adanya pembatasan ini, dikhawatirkan masyarakat kelas menengah akan semakin menurun jumlahnya ditambah dengan kondisi penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih terbatas.

"Kita lihat lagi kenaikan inflasi, itu ternyata tidak sebanding dengan kenaikan upah. Nah alangkah baiknya jika policy ini seharusnya dipertimbangkan lagi.

Meski demikian, menurut Esther rencana Pemerintah dalam melakukan pembatasan pertalite akan dapat menghemat anggaran fiskal dari APBN. Tetapi jika dicermati memiliki dampak negatif bagi daya beli masyarakat dan perekonomian.

Esther menyampaikan berdasarkan hasil kajian Indef pada tahun 2023, jika pertalite dibatasi dengan berbagai opsi dan skenario. yaitu skenario pertama jika semua mobil plat hitam dibatasi menggunakan pertalite sehingga pemerintah dapat menghemat anggaran fiskal sekitar Rp34,24 triliun.

Sementara skenario kedua, jika hanya mobil saja yang dibatasi, maka pemerintah bisa menghemat sekitar Rp32,14 triliun. Sedangkan skenario ketiga, yaitu kapasitas pembelian pertalite dibatasi maksimal 60 liter per hari untuk mobil, maka anggaran fiskal dapat dihemat sebesar Rp17,71 triliun.

Selanjutnya skenario keempat, jika hanya mobil yang lebih dari 1.400 cc atau mobil-mobil besar yang mewah dibatasi maka bisa menghemat sebesar Rp14,81 triliun.