Bagikan:

JAKARTA - Ekosistem industri baterai EV Indonesia telah berkembang sangat cepat dalam beberapa tahun terakhir dari hulu ke hilir yang dimulai dari aktivitas pertambangan hingga pembuatan paket baterai dan bahkan bisnis daur ulang baterai.

Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM, Agus Tjahajana Wirakusumah mengatakan, Indonesia saat ini mampu memainkan peran penting di sisi hulu bisnis baterai.

"Banyak perusahaan akan segera menghasilkan penerima manfaat bijih ke produk menengah seperti MHP atau nikel sulfat. Empat perusahaan sudah beroperasi. Satu sedang dibangun, satu sedang dalam proses izin, dan dua berada di di tahap uji kelayakan," ujar Agus di Jakarta, Senin, 29 Juli.

Agus bilang, jika semua perusahaan tersebut sudah beroperasi, Indonesia akan dapat memainkan peran utama dalam memproduksi 1.143 GWh bahan baterai berbasis nikel.

Menurutnya jumlah ini patut dibanggakan karena Indonesia masih tergolong pemula dalam ekosistem baterai kendaraan listrik, di mana Indonesia baru memulai mengembangkan bisnis baterai EV pada 2 tahun yang lalu.

"Prestasi pertama ini adalah peluang dan pencapaian yang sangat penting untuk mendapatkan manfaat bagi langkah -langkah proses pengembangan ekosistem berikutnya," kata dia.

Agus juga memperkirakan permintaan baterai dunia akan mencapai 5.300 GWh pada 2025 yang didominasi oleh permintaan kendaraan listrik roda empat, disusul kendaraan listrik roda dua, bus, sistem penyimpanan energi baterai, dan berbagai barang dan aplikasi elektronik.

Agus merinci, nantinya permintaan baterai kendaraan listrik nantinya sebagian besar berasal dari tiga kawasan antara lain Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Asia.

"Permintaan baterai berbasis nikel diproyeksikan akan terus meningkat mencapai 40-50 persen hingga tahun 2035," pungkas dia.