Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto buka suara terkait pernyataan Bank Dunia atau World Bank yang menilai program makan bergizi gratis tidak dampak efektivitas signifikan atasi masalah stunting.

Airlangga mengatakan tujuan dari program makan bergizi gratis yaitu untuk membantu pertumbuhan Program Programme for International Student Assessment (PISA).

"Kan tujuan makanan bergizi itu untuk pertumbuhan dan yang lain, supaya targetnya PISA, bukan Piza Margherita," kata Airlangga kepada wartawan di kantornya, Jumat, 28 Juni.

Melansir laman Kemendikbud, PISA merupakan sistem ujian yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), untuk mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia.

Adapun setiap tiga tahun terdapat evaluasi kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam membaca, matematika dan sains.

Keanggotaan OECD tidak hanya didasarkan pada kriteria ekonomi, tetapi juga mencakup kualitas pendidikan, kebijakan sosial, dan tata kelola yang baik. Skor PISA Indonesia yang konsisten rendah selama 23 tahun terakhir menunjukkan tantangan besar dalam memenuhi standar pendidikan OECD.

Sebelumnya, pemerintah bersama Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo - Gibran mengumumkan anggaran makan siang gratis pada 2025 sebesar Rp71 triliun.

Bank Dunia atau World Bank menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) tidak memiliki dampak efektivitas signifikan atasi masalah stunting. Hal tersebut diungkapkan dalam laporan terbaru Bank Dunia bertajuk Indonesia Economic Prospect edisi Juni 2024.

Lembaga keuangan internasional tersebut menemukan bahwa makanan sekolah dapat memiliki beberapa tujuan yaitu peningkatan kesehatan dan gizi, peningkatan kehadiran dan pembelajaran, serta perlindungan sosial.

Pada saat yang sama, tujuan pemberian makanan di sekolah terus berkembang, dengan semakin meningkatnya penekanan pada kualitas makanan, peran makanan dalam membangun ketahanan dan respons terhadap guncangan, serta memperkuat hubungan dengan pengembangan pasar lokal.

"Dengan evolusi ini muncullah kompleksitas yang lebih besar dalam desain dan implementasi. Bank Dunia menjelaskan bahwa bukti internasional menunjukkan bahwa makanan di sekolah akan paling efektif jika disandingkan dengan intervensi pendidikan, kesehatan, dan gizi lainnya, serta jaring pengaman dasar," tulisnya, dikutip Jumat, 28 Juni.

Bank Dunia mengungkapkan bukti mengenai hasil pembelajaran kurang kuat dibandingkan dengan intervensi pedagogi tradisional dengan varians yang lebih tinggi, dan lebih kuat untuk kelompok yang lebih rentan seperti siswa miskin dan anak perempuan misalnya.

Selain itu, bukti mengenai kembalinya pemberian makanan di sekolah tidak merata di seluruh tujuan, dan modalitas serta kualitas penerapannya dapat memberikan perbedaan besar pada hasil akhir.

Sementara di bidang pendidikan, terdapat bukti yang cukup kuat mengenai dampak terhadap kehadiran di sekolah di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah yang permasalahannya adalah akses pendidikan, namun manfaat makanan sekolah terhadap partisipasi sekolah kemungkinan akan terbatas di negara-negara yang sudah memiliki partisipasi sekolah sudah tinggi.

"Sehubungan dengan gizi, makanan di sekolah tidak dirancang untuk berdampak pada stunting, karena makanan tersebut tidak ditargetkan untuk 1.000 hari pertama kehidupan. Namun, makanan di sekolah mungkin berdampak pada keragaman pola makan dan anemia pada anak-anak yang bersekolah, meskipun hal ini bergantung pada komoditas spesifik yang ditawarkan," tulis Bank Dunia.

Secara umum, pemberian makanan di sekolah bisa efektif jika ada kekhawatiran terhadap ketahanan pangan. Untuk mencapai hasil gizi yang lebih baik, lebih dari 80 persen program makanan sekolah nasional menggabungkan makanan dengan penyediaan intervensi kesehatan dan gizi sekolah untuk meningkatkan hasil kesehatan dan membantu memastikan saling melengkapi dengan intervensi stunting yang ditujukan pada 1000 hari pertama.

Lebih lanjut, Bank Dunia melihat makanan di sekolah juga secara tidak langsung memberikan manfaat bagi kesejahteraan ekonomi rumah tangga penerima manfaat, dampak yang paling besar terjadi di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi dimana pengeluaran untuk makanan mewakili bagian yang lebih besar dari pendapatan rumah tangga.

Dari bukti negara-negara yang sudah menjalankan program ini, Bank Dunia menegaskan makanan di sekolah akan paling efektif jika disandingkan dengan intervensi pendidikan, kesehatan, dan gizi lainnya, serta jaring pengaman dasar.

"Oleh karena itu, penerapan atau perluasan program ini tidak boleh mengorbankan belanja yang lebih rendah atau perhatian pada intervensi modal manusia penting lainnya. Secara keseluruhan, penting untuk mendefinisikan dan menetapkan tujuan yang jelas untuk program-program tersebut. Hal ini akan memastikan pelaksanaan yang efektif dan intervensi yang didukung merupakan cara yang paling hemat biaya untuk mencapai hasil yang diinginkan," tulis Bank Dunia.

Bank Dunia menilai, keputusan mengenai penargetan makanan di sekolah dapat mempunyai implikasi terhadap efisiensi dan efektivitas program.

Adapun penargetan universal dimana makanan disediakan untuk semua siswa pada tingkat pendidikan tertentu, sering terjadi di negara-negara berpendapatan tinggi, sementara di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, penargetan geografis pada daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi atau daerah rawan pangan cukup umum dilakukan.

Meski demikian, penargetan pendapatan dimana siswa menerima makanan gratis berdasarkan penilaian kondisi sosio-ekonomi mereka tidak umum terjadi di luar konteks pendapatan yang lebih tinggi, karena kombinasi kendala kapasitas (adanya sistem untuk mendukung penargetan yang dapat diandalkan di tingkat sekolah atau individu dalam hal biaya.

"Serta kekhawatiran mengenai stigma yang membatasi pengambilan atau persepsi ketidakadilan di tingkat sekolah," ucapnya.