JAKARTA - BPP Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) berkomitmen dalam pembangunan nasional. Ketua Umum BPP GAPENSI Andi Rukman Karumpa berharap dapat duduk bersama dengan pemerintah untuk meningkatkan kontribusi sektor jasa konstruksi.
"Adanya dialog yang konstruktif antara pemerintah dan pelaku jasa konstruksi, solusi terbaik dapat ditemukan untuk mengatasi tantangan ini sehingga sektor jasa konstruksi tetap dapat berkontribusi maksimal terhadap pembangunan nasional," ujar Andi dalam keterangan tertulisnya, Rabu 18 Juni.
Andi menyampaikan sektor jasa konstruksi saat ini mengalami sejumlah tantangan. Pertama, pelemahan nilai tukar rupiah yang juga diikuti oleh menguatnya dolar AS secara signifikan memengaruhi biaya bahan baku impor yang digunakan dalam sektor konstruksi.
"Ketika nilai rupiah melemah, harga bahan baku impor seperti besi, baja, semen, dan alat-alat berat yang diimpor akan meningkat," ucap Andi.
Andi menyebut kenaikan biaya ini berdampak langsung pada peningkatan biaya produksi secara keseluruhan. Akibatnya, margin keuntungan menjadi lebih kecil dan harga proyek bisa melonjak jika tidak ada penyesuaian anggaran.
"Kami dari GAPENSI sangat mempertimbangkan untuk mengusulkan eskalasi nilai proyek kepada pemerintah," sambung Andi.
Menurut Andi, surat Kementerian Keuangan Nomor S-940/MK/2022 tentang usulan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang penyesuaian harga (eskalasi) pada kontrak pekerjaan konstruksi tahun anggaran 2022 akibat kenaikan harga BBM dan aspal, pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) belum memberikan dampak positif kepada pelaku jasa konstruksi. Andi menilai kenaikan biaya bahan baku yang tidak terduga ini perlu diakomodasi agar proyek-proyek dapat berjalan sesuai dengan rencana tanpa menurunkan kualitas.
"Kami berharap pemerintah bisa memahami situasi ini dan memberikan dukungan melalui penyesuaian anggaran atau kebijakan yang meringankan beban kontraktor," lanjut Andi.
Selain kenaikan biaya bahan baku, ucap Andi, pelemahan nilai tukar rupiah juga membawa beberapa dampak lain yang dirasakan oleh pengusaha jasa konstruksi, mulai dari keterbatasan likuiditas, penundaan proyek, risiko kredit, dan inflasi.
Andi memaparkan kenaikan biaya impor bisa memengaruhi aliran kas perusahaan, terutama bagi kontraktor yang bergantung pada bahan baku impor dalam jumlah besar. Menurut Andi, proyek yang sudah berjalan bisa mengalami penundaan karena perlu dilakukan renegosiasi anggaran atau mencari sumber dana tambahan.
BACA JUGA:
Dari sisi risiko kredit, lanjut Andi, peningkatan biaya dapat meningkatkan risiko kredit bagi perusahaan yang sudah memiliki komitmen pembayaran kepada pihak ketiga. Sedangkan dari sisi inflasi, kenaikan harga bahan baku dan alat berat dapat berkontribusi pada inflasi, yang juga akan mempengaruhi biaya operasional sehari-hari.
"Melemahnya rupiah bisa berdampak pada peningkatan biaya konstruksi yang saat ini tengah berlangsung, hal ini pernah kita temui pada 2022 dan kami sudah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan," kata Andi.
Andi menyebut pemerintah harus menyiapkan skema untuk meredam pelemahan rupiah terhadap sektor kostruksi, salah satunya adalah eskalask atau peningkatan nilai kontrak sebuah proyek yang selanjutnya diajukan kepada Kementrian Keuangan untuk menutup pembengkakan biaya konstruksi akibat adanya pelemahan rupiah terhadap dolar AS.