Bagikan:

JAKARTA - Galon Le Minerale menjadi bulan-bulanan kampanye negatif di berbagai lini media setelah produk dalam negeri tersebut sukses menggondol market leader yang telah merajai pasar selama beberapa dekade.

Dalam diskusi media Klub Jurnalis Ekonomi Jakarta (KJEJ) bertema 'Menyikapi Hoax dan Negative Campaign Dalam Persaingan Bisnis AMDK' di Jakarta, Kamis 15 Juni, terungkap bahwa salah satu modus negative campaign tersebut adalah mengaitkan produk perusahaan dengan isu lingkungan.

Persisnya, galon Le Minerale begitu saja dicap 'tidak peduli lingkungan' hanya karena dipasarkan dengan model penjualan beli putus. Padahal, faktanya, kemasan galon Le Minerale justru terbuat dari jenis plastik mutakhir, sama dengan plastik air mineral bermerek kemasan botolan, yang notabene lebih aman, ramah lingkungan dan bebas dari risiko senyawa kimia berbahaya Bisfenol A (BPA).

Tampil sebagai pembicara dalam diskusi, redaktur pelaksana media online Validnews.id , Faisal Rachman, mengakui banyak kasus persaingan usaha yang tak sehat yang menggunakan media massa sebagai arena tempur. Salah satu kasus yang cukup mencuat ke publik adalah persaingan antara produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) antara Aqua versus Le Minerale.

“Persaingan usaha yang tak sehat yang menggunakan media massa sebagai arena berperang tentunya lebih 'panas' lagi karena adanya media massa yang kurang jelas identitasnya,” katanya.

Menurut Faisal, dari 47.000 media massa per Januari 2023, hampir 80 persen di antaranya merupakan media "abal-abal", yang beritanya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dia melanjutkan, banjir inovasi dan kreativitas komunikasi Le Minerale memunculkan berbagai isu black campaign di sejumlah media tak jelas belakangan ini. Selain soal isu lingkungan dan keamanan produk Le Minerale, pemberitaan fitnah atas Le Minerale terus saja bermunculan dan bahkan merambah media sosial.

Hal ini menarik, karena Faisal melihat bahwa serangan negative campaign muncul justru ketika brand AMDK nasional itu sukses mencetak pertumbuhan pasar. Faisal menyitir data dari Asosiasi Produsen Air Minum Kemasan Nasional (Asparminas) yang menyebutkan bahwa volume penjualan AMDK galon bermerek meningkat 3,64 persen pada 2022 dengan total produksi mencapai 10,7 miliar liter dan penjualan Rp9,7 triliun.

Dari angka itu, volume penjualan galon berbahan kemasan plastik PET, termasuk yang diproduksi Le Minerale, meningkat pesat hingga 31 persen menjadi 818 juta liter. Ini lonjakan tajam bila dibandingkan dengan volume penjualan Danone Aqua yang justru susut 0,67 persen menjadi 6,5 miliar liter meski secara keseluruhan, Danone Aqua tercatat masih menguasai sekitar 60 persen pasar galon bermerek nasional.

Terbaru, sejumlah influencer mendadak tampil menyiarkan konten yang mendiskreditkan Le Minerale dan sejumlah brand lainnya. Contoh terbaru mudah dilihat pada konten Tiktok dari @prazteguh yang dengan jelas dan nyata memfitnah sejumlah brand yang digambarkan berasa pahit dan lain sebagainya.

Anehnya, kampanye berbayar itu hanya memuji satu brand, yakni si pemimpin pasar. Tengok pula kampanye negatif di media macam Mantra Sukabumi, yang menyebut 5 bahaya tersembunyi pada produk Le Minerale. Belakangan, media bagian dari Pikiran Rakyat Media Network ini menghapus beberapa artikelnya.

Faisal mengingatkan media untuk cermat mendeteksi upaya black campaign serupa, termasuk dalam isu lingkungan.

“Praktik 'greenwashing' perlu diwaspadai sehingga media tak terjebak mengkampanyekan hal yang justru keliru,” tegas Faisal.

'Greenwashing', katanya, mudah dikenali dari laku perusahaan atau organisasi yang jor-joran mencitrakan dirinya ke publik sebagai perusahaan "ramah lingkungan" ketimbang meminimalkan dampak negatif produk dan aktivitas perusahaan pada lingkungan.

"Dengan greenwashing, perusahaan bisa memunculkan dirinya sebagai pahlawan lingkungan padahal, bisa jadi, dia adalah salah satu pencemar plastik di lingkungan nomor wahid,” ujar Faisal.

Pembicara lainnya dalam diskusi KJEJ, Kepala Center For Entrepreneurship, Tourism, Information and Strategy Pascasarjana Universitas Sahid, Algooth Putranto, menilai media saat ini belum maksimal dalam menyajikan berita terkait isu Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) galon, utamanya dari aspek kesehatan maupun aspek lingkungan hidup.

Dia mencontohkan masih minimnya pemberitaan yang komprehensif terkait risiko Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang

“Misalnya, jika regulator mengatakan BPA pada galon polikarbonat aman asalkan sesuai dengan kriteria Standar Nasional Indonesia (SNI), media seharusnya aktif menggali dasar pernyataan tersebut. Ini perlu dilakukan karena di Eropa dan Amerika, sejak lama sudah ada peringatan dan bahkan larangan dari orotitas keamanan pangan atas kemasan pangan yang berisiko mengandung BPA,” katanya.

Sebagai catatan, BPA adalah senyawa kimia yang dapat memicu kanker, gangguan hormonal dan kesuburan pada pria dan wanita, serta gangguan tumbuh kembang janin dan anak. Jamak digunakan sebagai bahan baku produksi galon guna ulang, senyawa tersebut diketahui mudah luruh dari kemasan galon dan rawan terminum oleh konsumen hingga ke level yang melebihi ambang batas aman.

Risiko inilah yang mendorong Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyiapkan sebuah regulasi pelabelan risiko BPA untuk mengantisipasi dampak kesehatan publik di masa datang.

Menurut Algooth, media bisa berkontribusi dalam pendidikan publik terkait risiko BPA dengan mengangkat sisi keekonomian produksi galon polikarbonat. Media, menurutnya, bisa menyajikan fakta bahwa bahan dasar galon polikarbonat sebagian besarnya impor, dengan harga 4 dolar AS per kilogram.

Sementara untuk produksi galon dengan kemasan Polietilena Tereftalat (PET), jenis plastik yang bebas BPA, bahannya cukup tersedia di dalam negeri dengan harga hanya seperempatnya, 1 dolar AS per Kg.

Lebih jauh, Algooth berharap media tuntas membuka nama produsen galon yang masih menggunakan kemasan polikarbonat yang mengandung BPA.

“Jika merujuk pada UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers , media harusnya tidak perlu takut karena ini kepentingan umum (pasal 3 dan pasal 6). Tentu harus diingat, ada hak jawab dan koreksi (pasal 1) yang harus dihormati media ketika ada pihak yang merasa perlu menggunakan hak tersebut,” lanjut Algooth.

Dalam kesempatan terpisah, Kepala Badan Pengurus Pusat Perusahaan Periklanan Indonesia (BPP P3I), Susilo Dwihatmanto, menjelaskan kepada jurnalis KJEJ melalui sambungan telepon, bahwa berbagai bentuk negative campaign harus dihentikan.

“Kami sudah menyiapkan rambu-rambu beriklan yang jelas. Dengan demikian segala upaya iklan yang menjelekkan competitor lain baik di media massa konvensional maupun di media social itu tidak etis,” ujar Susilo dengan tegas.

Susilo memaparkan, berbagai rambu terkait etika periklanan sudah dituangkan dalam panduan Etika Pariwara Indonesia Amandemen 2020.

“Meski demikian kita juga harus memahami bahwa etika lebih ke pedoman. Spiritnya adalah self regulations. Bagaimana membuat iklan secara lebih beretika,” tegas Susilo.