JAKARTA – Pengamat ekonomi dan pakar kebijakan publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengkritisi sikap pemerintah yang berencana melakukan perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) periode 2023.
Menurut dia, hal tersebut berpotensi memberi tekanan tambahan kepada instrumen fiskal yang saat ini tengah meredam guncangan dari ketidakpastian situasi, utamanya faktor global.
“Tidak ada urgensi melakukan penerimaan PNS disebabkan APBN 2023 memiliki kemampuan yang terbatas. Disamping itu, desain kebijakan pegawai sipil negara adalah efisiensi sebagaimana yang tertulis dalam dokumen KEM PPKF,” ujarnya melalui pesan tertulis pada Rabu, 14 Juni.
Achmad menjelaskan, pemerintah sudah mengeluarkan pernyataan jika kebijakan reformasi birokrasi pada tahun ini dilakukan dengan inovasi pelayanan publik digital, sistem pemerintahan berbasis elektronik (e-office), mekanisme reward and punishment, rightsizing organisasi dan personil pemerintahan, dan perumusan design reformasi pensiun.
“Penambahan PNS baru menyebabkan organisasi PNS tidak right sizing, terlalu gemuk dan terlalu membebani anggaran negara,” tuturnya.
BACA JUGA:
Ahmad mencatat, APBN 2023 telah disetujui pada Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023 pada september 2022 lalu. Disebutkan bahwa dalam ketentuan tersebut tidak ada anggaran untuk membayar gaji PNS baru. Ini artinya tidak ada niat pemerintah membuka penerimaan PNS baru.
Adapun APBN 2023, belanja pegawai naik menjadi Rp442,6 triliun atau 2,10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini bersumber dari belanja untuk gaji dan tunjangan sebesar Rp1.77,9 triliun, honorarium, lembur, tunjangan khusus Rp95 triliun, dan kontribusi sosial sebesar Rp169,7 triliun.
Tercatat pada APBN 2023, Belanja pegawai naik sebesar 2.10 persen PDB. Namun, kenaikan tersebut sama seperti 2020, 2021 dan 2022 (kenaikan kisaran 2,10 persen hingga 2,28 persen) dimana tahun tersebut tidak ada penambahan CPNS baru.