JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyayangkan adanya aturan pemidanaan korporasi yang tertuang dalam Undang-undang Kitab Hukum Pidana (UU KUHP). Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan UU KUHP pada 6 Desember 2022.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menyebut, pemidanaan sejatinya hanya berlaku kepada orang, bukan sebuah lembaga. Hal itu pun menjadi ironi, apabila orang yang melakukan tindak pidana, tetapi perusahaan juga ikut terseret hukum di dalamnya
"Yang biasanya dipidana, kan, orang. Ini organisasi masa mau dipidanain," ujar Hariyadi saat ditemui di Kantor Apindo, Jakarta, Selasa, 3 Januari.
Dia juga mengatakan, sebelum disahkannya UU tersebut, pihaknya telah mengajukan keberatan kepada pemerintah, akan tetapi masukan dari Apindo tidak diakomodir sepenuhnya.
Dengan disahkannya aturan tersebut, Hariyadi mengatakan para pelaku usaha akan berusaha ekstra hati-hati. Menurut dia, pelaku usaha yang rawan terkena aturan tersebut ialah pelaku usaha atau perusahaan yang kerap berhubungan dengan proyek-proyek pemerintah.
"Mungkin, yang harus ekstra hati-hati adalah perusahaan yang berhubungan langsung dengan pemerintah," ucapnya.
Kendati demikian, Hariyadi berharap aturan tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap penurunan investasi di Indonesia atau iklim usaha.
"Saya berharap, ketentuan tersebut tidak (sepenuhnya) bisa menurunkan investasi, ya," imbuhnya.
BACA JUGA:
Seperti diketahui, dalam beleid KUHP ditegaskan bahwa tindak pidana korporasi juga dapat dilakukan oleh pemberi perintah, pemegang kendali, atau pemilik manfaat korporasi (beneficial owner) yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan Korporasi.
Ada dua jenis sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku pidana korporasi, yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dalam korporasi adalah denda.
Sedangkan, pidana denda bagi korporasi, jika mengacu pada beleid itu, dihukum paling sedikit sebanyak Rp2 miliar untuk tindak pidana di bawah tujuh tahun, di atas tujuh tahun sampai 15 tahun sebanyak Rp5 miliar, dan pidana mati atau maksimal 20 tahun penjara Rp50 miliar.
Kemudian, "Jika pidana denda tidak dibayar dalam waktu yang tidak ditentukan, kekayaan atau pendapatan korporasi bisa disita oleh jaksa untuk melunasi pidana denda."
Sementara, jika harta bendanya tidak cukup untuk membayar denda, korporasi bisa dibekukan sebagian atau seluruhnya.
Sementara itu, pidana tambahan bisa berupa pembayaran ganti rugi, perbaikan akibat tindak pidana, pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan, pemenuhan kewajiban adat, hingga pembiayaan pelatihan kerja.