Sri Mulyani Sebut Pemerintah dan DPR Buat APBN 2023 untuk Hindari Risiko Pasar
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (Foto: Dok. ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyakini anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebagai instrumen fiskal bisa menjadi bantalan untuk menghadapi potensi perlambatan ekonomi pada 2023.

Menurut dia, pemerintah bersama DPR telah membuat APBN 2023 untuk menghindari risiko dari pasar yang sangat tidak pasti akibat konflik geopolitik dan tekanan inflasi.

"Pengalaman selama pandemi, DPR bersama dengan pemerintah telah membuat APBN menjadi fleksibel dan responsif," kata Sri Mulyani dikutip dari Antara, Rabu, 12 Oktober.

Ia menjelaskan, kehadiran APBN dengan defisit anggaran yang kembali di bawah tiga persen PDB tersebut dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional pascapandemi, sehingga berpotensi menjadi penguat sektor konsumsi maupun investasi.

"Menarik capital inflow bisa menimbulkan dampak yang menetralisir dampak outflow yang disebabkan kenaikan suku bunga The Fed," kata Menkeu.

Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) terbaru, IMF memperkirakan perekonomian global berada pada kisaran 3,2 persen pada 2022, dan melambat hingga 2,7 persen di 2023, atau menurun 0,2 persen dibandingkan outlook pada Juli 2022.

Economic Counsellor IMF Pierre-Olivier Gourinchas menjelaskan, sebagian besar negara mengalami kontraksi hingga tahun depan dengan negara perekonomian terbesar seperti AS, Uni Eropa, dan China akan melanjutkan tren perlambatan.

"Terdapat tiga tantangan yang mempengaruhi perlambatan, konflik di Ukraina, tekanan inflasi, dan pelemahan ekonomi di China," kata dia.

Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menilai, ketahanan ekonomi Indonesia saat ini masih baik dan kinerja pertumbuhan berada di jalur yang benar, meski IMF menurunkan proyeksi global dalam laporan terbaru.

Penyebabnya ialah ekspor komoditas yang masih menjadi primadona serta adanya penguatan industri hilirisasi atau olahan barang hasil mineral yang berorientasi ekspor.

"Kita punya nikel, tembaga atau copper yang dulu tidak boleh ekspor karena harus melalui smelter dulu, sekarang kita sudah dapat hasilnya, dan harganya mencapai 10 kali lipat," kata Dody.