Pemerintah Perlu Mewaspadai Potensi Krisis Pangan akibat Peralihan Pola Konsumsi Dampak Gejolak Ukraina
Foto: Dok. Food Station Tjipinang Jaya

Bagikan:

JAKARTA - Bergejolaknya hubungan antara Rusia dengan Ukraina yang berdampak kepada ancaman krisis pangan di dunia. Salah satu kawasan yang merasakan dampak signifikan adalah kawasan Afrika, mengingat ketergantungan negara-negara Afrika pada Ukraina sebagai pemasok bahan pangan di negaranya. 

Ancaman krisis pangan tersebut menjadi pembahasan dalam Pertemuan Ketiga Finance Minister and Central Bank Governor (FMCBG) di Bali. Dalam pertemuan tersebut pembahasan krisis pangan juga dilakukan Menteri Sri Mulyani saat bertemu dengan Kanselir Zahawi. Dia menilai perlu ada solusi nyata untuk semua lapisan masyarakat dan pelaku bisnis yang saat ini terancam dampak inflasi tinggi, kenaikan harga pangan dan energi. 

Food and Agriculture Organization (FAO) mengatakan perang Rusia dan Ukraina juga berkontribusi dalam memicu krisis pasokan pangan, sehingga harga soft comodities (gandum, CPO, kopi, keju, kedelai, kakao dan susu) berpotensi meningkat. 

Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data bahwa produksi Gabah Kering Giling (GKG) tahun 2021 turun sekitar 0,45 persen bila di konversi menjadi meras dari 31,5 juta ton menjadi 31,3 juta ton. Sementara populasi penduduk naik dengan ratio 1,25 persen (2020), 1,22 persen (2021) dan 1,17 persen di 2022.

Adapun Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjelaskan harga gandum sepanjang Mei 2022 telah mengalami kenaikan sebesar 5,6 persen. Belum lagi kebijakan larangan ekspor bahan baku makanan yang dilakukan oleh beberapa negara seperti India menjadi penyebab naiknya harga pangan. 

Dalam acara Bimtek dan Sosialisasi Propaktani Dirjen Tanaman Pangan Kementan, Senin, 18 Juli, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB Prof. Dr. Ir. Rachmat Pambudy, M.S mengatakan saat ini terjadi peningkatan konsumsi beras per kapita per tahun dari 98 kg/tahun menjadi lebih dari 100 kg per tahun. Karena itu perlu dikaji lebih jauh mengenai peningkatan konsumsi ini. 

Dalam acara yang sama, Direktur Utama PT Food Station Tjipinang Jaya Pamrihadi Wiraryo mengatakan salah satu dampak gejolak di Ukraina yang perlu diantisipasi oleh Indonesia adalah peralihan (shifting) konsumsi dari breadatau noodle ke beras (nasi) sehingga perkirakan permintaan (demand) beras akan meningkat dan harga gabah dan beras berpotensi akan naik.

"Terjadinya kelangkaan gandum di Eropa dapatmengakibatkan terjadinya shifting konsumsi bahan pangan pokok ke beras. Sehingga permintaan beras kepada negara-negara penghasil beras akan meningkat," ujarnya dalam diskusi Webinar dengan topik Upaya mewujudkan ketersediaan beras berkelanjutan melalui pelaku perberasan nasional, Senin 18 Juli. 

Pamrihadi menjelaskan, Food Station selaku BUMD DKI Jakarta berkomitmen dan terusberupaya untuk berinovasi dalam ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan melalui program intensifikasi dengan melakukan budidaya menggunakan teknologi yang dapat meningkatkan produktifitas panen, yaitu dengan pupuk komsah (Kompos dan Seresah) dan teknologi pupuk organik cair ExtraGen. 

Menurutnya budidaya dengan metode tersebut, dapat menekan penggunaan pupuk kimia, serta pada saat yang sama juga dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian dengan ratio 20-25 persen per hektarnya. 

Selain itu hingga kini, kami sudah melakukan kerjasama contract farming dan budidaya dengan banyak Gapoktan dan Koperasi di beberapa kota dan kabupaten dengan luas lahan mencapai 8180 hektar. Adapun dari luas lahan kerja sama terebut diproyeksikan Food Station akan menyerap GKP sebanyak 46.626 ton. 

"Ini adalah aksi korporasi yang kami lakukan untuk menjaga ketahanan pangan di DKI Jakarta sekaligus juga untuk mengantipasi lonjakan peningakatan kebutuhan beras yang diakibatkan oleh shifting pola konsumsi," jelasnya.