Bagikan:

JAKARTA - Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit kini tengah diuji dengan sejumlah kasus para anak buahnya. Terbaru muncul dugaan oknum polisi yang menjadi beking perusahaan tambang batu bara dengan inisial diduga PT BG di Sumatera Selatan.

Menanggapi isu tersebut, Pakar Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar menilai jika adanya kedekatan antara oknum Polri dengan pengusaha atau perusahaan tambang batu bara berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang.

Selain itu, menurutnya bisa berdampak negatif dengan adanya praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sehingga dirinya menyarankan harus ada sanksi administratif hingga pidana.

"Jika benar maka oknum tersebut berpotensi melakukan KKN, ini yang harus ada tindakan dari pimpinan. Bahkan seharusnya ada mekanisme yang mengatur penghukuman secara administratif. Jika alat buktinya cukup bisa dibawa ke ranah pidana," kata Fickar kepada wartawan, Selasa 19 Juli 2022.

Karena menurutnya, adanya kedekatan antara oknum Polri dengan pengusaha atau perusahaan tambang sangatlah tidak etis dan bisa mempengaruhi pekerjaan jika ada keuntungan ekonomis.

"Tidak etis, kalo mempengaruhi pekerjaan dari berkawan itu dia mendapatkan keuntungan ekonomis. Sangat berpotensi lahirnya penyalahgunaan wewenang," katanya.

Senada Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad mengatakan fenomena kedekatan oknum Polri dengan pengusaha dapat mengganggu integritas dan kewibawaan lembaga peradilan dalam menjamin keadilan masyarakat.

"Aparat penegak hukum sebagai alat negara harus mandiri, independen, profesional dan integritas agar tidak terjadi benturan kepentingan yang disinyalir dapat menyuburkan kejahatan atas nama kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh aparatur penegak hukum," kata Suparji.

Menurutnya, konsistensi dan ketegasan aparatur penegakan hukum menjadi kunci dari independensi lembaga peradilan. Ia mengatakan bahwa sikap tersebut menjadi penting untuk menjamin kesinambungan logika keadilan yang dibangun oleh masyarakat berdasarkan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan.

Selain itu, kata dia, diperlukan juga proses yang obyektif dalam setiap tahap-tahap penegakan hukum.

"Objektivitas dalam penegakan hukum hanya dapat dilakukan oleh para aparatur yang profesional, dan memiliki integritas moral yang tinggi," kata dia.

Suparji menyebut pembenahan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membatasi, bahkan mengurangi kewenangan dan kemandirian hakim. Namun, lanjutnya, yang dimaksudkan adalah pembenahan untuk memperkuat institusi (institutional capacity building) untuk menghadirkan suatu lembaga penegakan hukum yang sungguh-sungguh mengabdi kepada kebenaran dan keadilan hukum, tanpa dipengaruhi intervensi dalam bentuk apapun dari luar, termasuk motif-motif uang dan politik.

"Bukan menuduh, namun merupakan suatu konsekuensi dari suatu hubungan relasi yang saling menguntungkan dan saling bergantung satu dengan yang lain akan memunculkan persekongkolan hukum yang dapat berdampak pada penerapan hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas," ujarnya.