Ekonom: Negara-Negara G20 Perlu Sepakat Terapkan Proteksi Komoditas Pangan
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira . (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan negara-negara anggota G20 perlu bersepakat untuk tidak menerapkan kebijakan proteksi komoditas pangan guna mencegah krisis pangan global bertambah parah.

"Negara G20 perlu bersepakat untuk tidak lakukan proteksionisme pangan dan membuka diri bagi kerja sama pangan terutama dengan negara miskin," kata Bhima, dikutip dari Antara, Rabu 29 Juni.

Menurutnya, terdapat beberapa penyebab krisis pangan global saat ini, antara lain disrupsi rantai pasok karena perang di Ukraina, proteksionisme dagang negara penghasil pangan, cuaca ekstrem, dan kenaikan konsumsi pasca pandemi COVID-19.

"Negara-negara G20 juga perlu segera melakukan realisasi pendanaan pada peningkatan produksi pangan dengan pemberian subsidi pupuk, pendampingan petani, dan menjaga harga jual panen tetap stabil, juga meningkatkan penyaluran pinjaman ke sektor pertanian khususnya petani dengan luas lahan di bawah 2 hektare," ucapnya.

Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat-Tinggi (KTT) G7 menyerukan agar negara G7 dan G20 bersama-sama mengatasi krisis pangan yang mengancam 323 juta orang, terutama di negara berkembang.

Menurut Bhima, melalui Presidensi G20, Indonesia dapat melakukan negosiasi ke Presiden Putin agar jalur gandum dari Ukraina tetap dapat berjalan normal.

"Kemudian sebisa mungkin melalui pendekatan lobi ekonomi diyakinkan ke Rusia bahwa melanjutkan eskalasi militer hanya berdampak buruk bagi pemulihan ekonomi global, meningkatkan kemiskinan serta stagflasi. Krisis pangan bisa merugikan Indonesia dan Rusia sendiri yang sama sama negara G20," katanya.

Indonesia dengan politik bebas aktif memiliki posisi yang strategis karena bukan negara yang terlibat langsung dengan konflik antara Rusia dengan Ukraina sehingga diharapkan dapat meredam konflik kedua negara meskipun untuk sementara.

"Jika misi Presiden Jokowi berhasil, nama Indonesia akan harum di mata dunia dan meningkatkan trust bagi para investor maupun pelaku usaha karena dianggap Indonesia pro terhadap terjaganya stabilitas politik baik di dalam maupun luar negeri," ucapnya.