Bagikan:

JAKARTA - Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, harga minyak mentah Indonesia (ICP) kemungkinan masih akan meningkat sebesar 50 persen di tahun 2022.

Saat ini harga ICP sudah mencapai sekitar 120 dolar AS per barel karena adanya konflik di Rusia dan Ukraina, sedangkan di dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) asumsi harga ICP adalah 63 dolar AS per barel.

"Jadi ini tinggi sekali karena konflik Rusia dan Ukraina semakin meningkatkan harga energi," ucap Susiwijono dikutip dari Antara, Jumat 10 Juni.

Tak hanya harga ICP, ia menyebutkan, harga gas alam di Eropa pun meningkat 10 kali lipat dibandingkan tahun 2020.

Hal itu lantaran terhambatnya pasokan yang sebagian besar berasal dari Rusia.

Terkait biaya transportasi, terjadi pula disrupsi seperti tingginya biaya terutama pengangkutan kargo melalui laut, kelangkaan kontainer, dan kesulitan di kapal laut.

Adapun konflik Rusia dan Ukraina tak hanya menyebabkan krisis energi, tetapi juga terkait pangan yang tercermin dari data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan jumlah penduduk rawan pangan meningkat dua kali lipat akibat pandemi COVID-19 dan konflik kedua negara.

Susiwijono menjelaskan, kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk dunia rawan pangan dari 135 juta menjadi 276 juta.

Bahkan, kata dia, dampak konflik Rusia dan Ukraina juga menyebabkan peningkatan kembali jumlah penduduk rawan pangan menjadi 323 juta.

"Rata-rata indeks harga makanan FAO pada Mei 2022 bahkan sudah melonjak menjadi 157,4. Jadi kenaikan harga pangan ini sudah tinggi sekali di pasar global," tambahnya.

Untuk mengatasi krisis pangan, Susiwijono menyarankan jalur produksi pangan yang ada di Ukraina dan Rusia terutama terkait pangan pokok dan pupuk harus diintegrasikan, karena masih belum ada solusi efektif di luar langkah tersebut.

Sementara terkait ketahanan energi yang perlu didorong adalah masalah menjaga pasokan energi, hingga investasi untuk beberapa energi alternatif yang saat ini sudah mulai dijajaki.

Walau skemanya sudah berjalan, namun ia menilai kebutuhannya semakin mendesak untuk beberapa energi alternatif dan beberapa kapasitas dari negara-negara dunia di dalam krisis ini.

"Political wiil yang kuat juga diperlukan di semua forum multilateral seperti GCRG, G20, hingga G7," pungkas Susiwijono.